Senin, 09 November 2015

Penegakan Hukum Karhutla Jangan Hanya Gertak Sambal

Kabut Asap di Kota Jambi 27 Oktober 2015. Gambar diabadikan dari Hotel Novita Jambi Lantai 6. Selama 70 Hari Sejak 20 Agustus 2015, Jutaan Masyarakat Jambi Terpapar Asap. FT Asenk Lee Saragih.
Jambi- Aparat penegak hukum perlu bertindak tegas terhadap perusahaan atau korporasi yang terlibat kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Jambi. Sanksi hukum yang dijatuhkan kepada perusahaan pembakar hutan harus maksimal. Kemudian jajaran direksi perusahaan pembakar hutan dan lahan juga perlu diproses secara hukum hingga ke pengadilan. Dengan demikian para pengusaha tidak lagi melakukan pembakaran hutan dan lahan dalam kegiatan pembukaan maupun pembersihan perkebunan dan kehutanan.


"Penerapan hukuman untuk pelaku pembakaran hutan dan lahan harus dilakukan dengan maksimal dan menyentuh jajaran direksi perusahaan yang terlibat kebakaran hutan dan lahan. Baik kebakaran hutan dan lahan yang mereka lakukan secara sengaja maupun akibat kelalaian. Penegajan hukum yang tepat, tegas, dan maksimal tersebut penting untuk memberi efek jera kepada pelaku pembakaran hutan dan lahan," kata Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warung Informasi Konservasi (Warsi) Jambi, Rudi Syaf kepada SP di Jambi, Kamis (5/10).

Menurut Rudy Syaf, penegakan hukum terhadap para pelaku pembakaran hutan dan lahan tidak bisa dilakukan hanya sebagai upaya menakut-nakuti atau gertak sambal. Bila para pelaku pembakaran hutan dan lahan tidak dijatuhi hukuman maksimal dan para pimpinan perusahaan pembakar hutan dan lahan tidak diseret ke pengadilan, maka perusahaan tersebut akan melakukan pembakaran hutan dan lahan kembali di masa mendatang.

"Hal tersebut sudah terbukti selama ini. Beberapa perusahaan yang terlibat kasus pembakara hutan di Jambi tahun ini juga melakukan pembakaran hutan dan lahan tahun-tahun sebelumnya. Kondisi demikian terjadi karena penanganan kasus kebakaran hutan dan lahan kurang maksimal. Ketika terjadi bencana asap, kasus kebakaran hutan seolah-olah ditangani serius. Setelah bencana asap berakhir, kasus kebakaran hutan dan lahan hilang begitu saja, tak ada pengusaha yang ditahan," katanya.

Rudy Syaf mengatakan, berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelaku pembakaran lahan diancam hukuman minimal tiga tahun penjara, maksimal 10 tahun penjara dan denda minimal Rp 3 miliar, maksimal Rp 10 miliar. Penegak hukum semestinya menjatuhkan sanksi maksimalnya, supaya memberi efek mendalam terhadap pemilik perusahaan.

Tidak hanya itu, lanjut Rudy, sanksi administratif juga harus segera diberlakukan oleh kementerian terkait terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan. Dengan demikian, penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan tidak terkesan hanya gertak sambal atau menakut-nakuti.

"Tindakan tegas terhadap pembakar hutan dan lahan harus dilakukan agar kasus kebakaran hutan dan lahan di Jambi tidak menguap seiring dengan hilangnya asap dari Sumatera dan Kalimantan," tegasnya.

Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Hubungan Masyarakat (Humas) Polda Jambi, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Kuswahyudi Tresnadi menjelaskan, penyidik Polda Jambi sudah menetapkan empat orang manajer perusahaan atau korporasi terkait kasus kebakaran hutan dan lahan di Jambi. Namun, para tersangka belum ditahan karena pemberkasan kasusnya belum lengkap. Penyidik masih meminta keterangan saksi ahli. Setelah keterangan saksi ahli dan bukti lengkap, maka berita acara pemeriksaan (BAP) akan dilimpahkan kepada pihak kejaksaan dan tersangka langsung ditahan.

Dijelaskan, empat unsur pimpinan perusahaan yang telah ditetapkan Polda Jambi sebagai tersangka pelaku pembakaran hutan, yakni, manajer operasional PT ATGA berinisial Pl, manajer operasional PT DHL, Tr, manajer operasional PT TAL, Sp dan manajer operasional PT RKK, Mn. Keempat unsur pimpinan perusahaan perkebunan dan kehutanan tersebut sudah diperiksa namun belum ditahan.

"Keempat manajer perusahaan ditetapkan jadi tersangka karena mereka dinilai menjadi orang yang paling bertanggung jawab terkait kasus kebakaran di lahan perusahaan mereka. Kebakaran lahan di areal PT RKK mencapai 600 hektare (ha), areal PT ATGA (1.000 ha) dan areal PT TAL sekitar 200 ha," paparnya.

Menurut Kuswahyudi, perusahaan perkebunan dan kehutanan yang saat ini masih diperiksa terkait kebakaran hutan dan lahan antara lain, PT Kasuari, PT Tebo Mandiri Argo (TMA), PT BKS, PT Lestari Alam, PT Mukti, PT Manggis, PT Persada Alam Hijau (PAH), PT Wirakarya Sakti (WKS) dan PT BMA.(Suara PembaruanRadesman Saragih/PCN-Suara Pembaruan)

Tidak ada komentar: