Jumat, 30 Januari 2009

Potensi Cadangan Karbon Hutan Adat Guguk Jambi Milyaran Rupiah

Jambi, Batak Pos

Potensi cadangan karbon hutan adat Desa Guguk, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi mencapai Miliaran Rupiah. Kominitas Konservasi Iindonesia Warung Konservasi (KKI-Warsi) dengan di dukung ICRAF kini mengukur potensi cadangan karbon di hutan Adat Desa Guguk tersebut. Dengan metodologi RaCSA (Rapid Carbon Stock Assessment) atau Kaji Cepat Cadangan Karbon cukup banyak menyimpan potensi karbon.

Seperti metodologi yang dilakukan. Dari studi yang dilakukan diketahui cadangan karbon hutan adat Desa Guguk sebesar 261,25 ton per hektar (ha). Jika karbon ini dijual dengan asumsi perton karbon 10 USD dengan luas hutan adat guguk 690 ha, maka pertahun bisa menghasilkan 1,8 juta USD, jika dirupiahkan dengan kurs Rp 11,000, maka hutan adat Guguk akan menghasilkan Rp 19,8 milyar.

Demikian dikatakan Direktur Eksekutif KKI Warsi-Jambi, Rahmat Hidayat kepada Batak Pos, Jumat (23/1). Disebutkan, sejak didengungkan pada UNFCC di Bali akhir 2007 lalu, skema perdangan karbon mulai dibangun.

Indonesia selaku penggagas perdangan karbon melalui skema REDD masih belum menentukan mekanisme dan metodologi yang tepat untuk pengukuran potensi karbon. Untuk itulah perlu dikembangkan metodologi sederhana dengan hasil perhitungan akurat serta mampu dilakukan masyarakat.

Metodologi penghitungan karbon ini menjadi sangat penting untuk menentukan nilai yang akan diterima masyarakat, sebab metodologi ini akan menjadi pembanding metodologi yang dikembangkan broker karbon, yang menggunakan metodologi sulit, tidak akomodatif terhadap kondisi lokal, serta hanya orang tertentu saja yang bisa memanfaatkan.

“Hal ini penting diketahui, karena broker juga punya banyak kepentingan dalam transaksi karbon yang akan mereka lakukan. Dengan mengetahui perhitungan karbon bisa ditentukan nilai financial yang akan diterima masyarakat. Dilihat dari manfaat ini, hutan tidak lagi dipandang sebagai sumber kayu semata, yang akibat pemanfaatannya juga menimbulkan kerusakan hutan,”ujarnya.

Menurut Rahmat Hidayat, penghitungan nilai karbon ini, merupakan upaya awal untuk meyakinkan para pihak, bahwa dengan memelihara hutan dan tidak merubahnya menjadi perkebunan skala besar, pertambangan, HTI dan lainnya, hutan juga bisa memberikan manfaat ekonomi yang nilainnya jauh lebih besar serta tidak menimbulkan kerusakan lingkungan, multimanfaat bisa didapatkan masyarakat.

Disebutkan, hutan Adat Guguk yang dikukuhkan dengan SK Bupati Merangin No 287 Tahun 2003, selama ini dijaga masyarakat karena merupakan sumber mata air. Secara ekologi hutan ini penting untuk pencegah longsor dan banjir, serta kaya keanekaragaman hayati.

Dari penelitian Warsi dihutan ini ditemukan ditemukan 89 jenis burung, 37 jenis diantaranya dilindungi seperti Rangkong Gading (Baceros vigil), Kuau Raja (Argusianus argus). Juga ditemukan 22 jenis mamalia beberapa diantaranya dilindungi seperti Tapir (Tapirus indicus) dan Beruang (Helarctos malayanus).

“Di Hutan ini juga ditemukan 84 jenis kayu seperti Meranti, Balam dan Marsawa mempunyai diameter lebih dari 55 cm. Dengan akan dimulainya perdagangan karbon ini, pemerintah daerah juga harus menyiapkan aturan untuk melindungi kawasan hutan tesisa yang potensial untuk perdagangan karbon,”katanya.

Disebutkan, selain itu Pemda Merangin juga harus menyiapkan dukungan terhadap pengakuan hak-hak adat dalam skema perdangan karbon, serta memperkuat kelembagaan rakyat yang akan menjadi lembaga perwalian perdagangan karbon nantinya.

Hasil studi metodologi penghitungan karbon yang dilakukan KKI Warsi ini, akan dilokakaryakan pada 28 Januari nanti bertempat di balai adat Desa Guguk. Lokakarya ini akan dihadiri pemerintah daerah, kelompok pengelola hutan adat, NGO dan masyarakat. ruk

1 komentar:

janes mengatakan...

pak sya mau mengadakan penelitian tentang hutan karbon,
potensi meranti dalam memproduksi karbon. metode pengujian yang cocok seperti apa ya pak.