Halaman

Rabu, 12 Maret 2014

Ketika Kepala SKPD Terbelenggu Politik Praktis


Deklarasi Gerakan Pendukung HBA di RCC Jambi Selasa 11 Maret 2014-Foto Asenk Lee Saragih

PNS DILARANG BERPOLITIK PRAKTIS

Apa jadinya jika Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sudah menjadi regulasi politik praktis secara terselubung. Tentunya kinerja dalam birokrasi sangat mengganggu. Namun demikian ada modus jual beli jabatan SKPD jika terlibat secara masif dalam berpolitik praktis. Hal ini kerap terjadi jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Sejarah mencatat, birokrasi di Indonesia menunjukkan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) selalu merupakan obyek politik dari kekuatan partai politik (parpol) dan aktor politik. 

MURABIL FADIL, Jambi

PNS berpolitik praktis jumlahnya cukup signifikan dan fungsinya yang strategis dalam menggerakkan anggaran keuangan negara selalu menjadi incaran tiap parpol untuk menguasai dan memanfaatkan PNS dalam aktivitas politik.

Saat-saat menjelang pemilu, aktivitas politik partisan PNS menjadi kian intensif karena partisipasinya untuk mendukung kampanye secara terbuka maupun terselubung amat efektif.

Bisa saja bagi parpol, keterlibatan PNS akan amat membantu dan mempermudah pelaksanaan kampanye yang sering terjadi melalui pemanfaatan fasilitas negara (mobil, gedung, dan kewenangan), yang menguntungkan salah satu parpol. Apalagi misalnya figur dan pilihan PNS akan menjadi referensi bagi pilihan masyarakat.

Nah, partai maupun aktor politik itu sendiri, yakni caleg, kaitannya dengan PNS dalam pemilu tidak saja menguntungkan sisi politik, tetapi juga PNS itu sendiri. Keberpihakan PNS dalam pemilu kepada parpol atau caleg untuk dibutuhkan untuk promosi dan karier jabatan.

(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 12 MARET 2014)
Dalam sistem birokrasi di Indonesia kini, di mana promosi dan karier jabatan tidak ditentukan oleh kompetensi dan kinerja, tetapi oleh afiliasi politik. Nah pertanyaannya netralitas PNS sulit ditegakkan. Hal inilah yang dapat menyumbangkan terjadinya blunder dalam pelaksanaan pemilu.

Pada 9 April 2014 mendatang, akan serentak diadakan pemilihan legislatif di seluruh Indonesia. Netralitas PNS itu sendiri harus dijaga. Demikian rangkuman pendapat dari sejumlah pengamat politik, pemerintahan dan tokoh masyarakat Jambi yang dihimpun Harian Jambi, Selasa (11/3).

Sejarawan dan juga Budayawan Jambi, Junaidi T Noor mengatakan, keterlibatan Kepala SKPD dan PNS dalam politik praktis, tidak dibolehkan. Karena melanggar aturan-aturan yang ada. Kemudian juga soal PNS, kecuali TNI/ Polri, lingkup PNS ialah memiliki hak hak politik yang mana memberikan hak suara dalam pemilihan itu sendiri.

“PNS itu tidak boleh terjun masuk kedalam parpol, apalagi kemudian yang bersangkutan ikut mengkampanyakan parpol atau seseorang,” kata Junaedi T Noor.

Ketua Fatayat NU Provinsi Jambi Dr Fadillah menambahkan, PNS tidak dibolehkan terlibat dalam politik praktis. PNS harus netral, karena ada aturan aturanyang tidak membolehkan PNS ikut terlibat. “PNS harus mengikuti peraturan, ada aturan turannya,” katanya.

Sementara Dr Kemas Imran Rasadi sebagai Dosen IAIN STS Jambi mengatakan, Kepala SKPD dan PNS berhak memilih dan memberikan suaranya pada pemilihan tersebut.

Kemudian juga di luar jam kerjanya, saat memakai pakaian bebas boleh saja menghadiri dan melihat mana calon yang akan dipilihnya. Terus juga yang tidak dibolehkan ialah masuk ke dalam kepengurusan partai, menjadi jurkam (juru kampanye). 

“Sebagai warga negara  PNS tentu mempunyai hak pilih. Tetapi soal mendukung salah satu pasangan tertentu setidaknya harus proposional. Berbeda dengan TNI dan Polisi yang tidak menggunakan hak pilih. Artinya, meskipun PNS mempunyai hak pilih hendaknya jangan sampai terlibat dalam politik praktis,” kata Dosen IAIN itu.

Terpisah, Anggota DPRD Provinsi Jambi Gusrizal menegaskan, bahwa tidak dibenarkan PNS ikut terlibat dalam politik praktis, ataupun politik langsung. Kemudian tergabung ke dalam tim sukses secara langsung dan terlibat secara formil di dalam kepengurusan parpol itu sendiri.

“Secara aturan, PNS tidak dibolehkan ikut terlibat dalam politik praktis, baik itu tim sukses. Politik langsung maupun secara formil masuk ke dalam kepengurusan parpol. Dalam menyalurkan politik , memberikan hak suara tidak apa-apa selagi mengikuti aturannya,” katanya.

Anggota DPRD Provinsi Jambi dari Fraksi PAN, Madian mengatakan, PNS harus netral, tidak boleh ikut terlibat dalam politik praktis itu. Karena akan banyak menimbulkan polemik dan persaolan nantinya, apalagi hal itu betul betul menyalahi aturan yang telah ada. (*/lee)

***
Catatan Ketua CEPP (Central Election Political Party)
Oleh : Drs, As’ad Isma, M. Pd

Pada tahun 2014, merupakan tahun politik secara nasional, karena tahun ini ada pemilu legislatif dan pemilihan Presiden. Namun untuk Provinsi Jambi, tahun politik ini berlanjut hingga tahun 2015, karena pada tahun depan akan ada  pemilihan Gubernur Jambi periode 2015-2020. 

Sekarang ini di Provinsi Jambi, semua warga Jambi diberbagai lapisan sosial, mulai dari kota hingga pedesaan. Mulai dari kaum terpelajar sampai rakyat di setiap sudut negeri Jambi.

Hampir semua terlibat secara emosional dalam pembicaraan dan diskusi tentang pemilu, baik tentang partai politik, tentang figur calon anggota legislatif, hingga prediksi siapa caleg yang bakal terpilih dan duduk dikursi DPRD Kabupaten, DPRD Provinsi hingga DPR RI Di senayan. 

Begitu juga rakyat, punya prediksi sendiri, dengan melakukan survey ala mereka sendiri, siapa siapa yang tidak bakal terpilih pada tanggal 9 April nanti. Prediksi masyarakat ini, tentunya berdasarkan asumsi yang terbangun dalam pikiran mereka, ada yang obyektif, namun tidak sedikit yang menilai secara subyektif, karena tentunya dipengaruhi hubungan emosional dan kekerabatan dengan sang sang caleg itu sendiri.  

Di sisi lain, tahun politik ini, tidak hanya para caleg yang berkompetisi secara ketat dalam menggalang suara. Warga masyarakat justru terkotak kotak sebagai akibat dukungan yang diberikan kepada caleg yang berbeda. 

Polarisasi yang muncul di tengah masyarakat ini sedikit mengganggu kohesi sosial, malahan relasi sosial menjadi tegang, akibat pengkutuban politik di atas. Merenggangnya relasi sosial tentu disebabkan karena belum matangnya pemahaman demokrasi baik di tingkat calon anggota legislatif.

Maupun rendahnya pemahaman demokrasi di tingkat masyarakat. Kesemuanya itu berawal dari lemahnya edukasi poliitik yang didapatkan oleh caleg maupun kurangnya edukasi politik yang didapatkan masyarakat. 

Partai politik di Indonesia memang masih belum maksimal menjalangkan fungsi edukasinya. akibatnya, yang terjadi masyarakat tidak terdorong partisipasi. Politiknya, justru yang terjadi adalah aktivitas mobilisasi masyarakat, tanpa diimbangi kesadaran politik. 

Implikasi lain dari mobilisasi politik ini adalah, pilihan politik masyarakat tidak lagi berdasarkan landasan obyektif, tidak lagi mempertimbangkan integritas  mempertimbangkan integritas, lapabilitas dan komitmen sang caleg.                           
          
Lemahnya pemahaman masyarakat tentang demokrasi, serta rendahnya pemaknaan tentang pemilu, juga mempengaruhi perilaku politik warga. Masyarakat cenderung pragmatis, dan melihat politik sebagai media transaksi, dan akibatnya uang dan materi menjadi ukuran bagi warga dalam memilih.

Oleh karenanya politik uang bukan lagi menjadi isu, tapi menjadi fakta nyata. Inilah yang membuat pemilu seakan menjadi pesta tanpa makna, demokrasi tanpa substansi. Demokrasi dalam konteks pemilu bukanlah demokrasi substansial, demokrasi bersifat prosedural dan terkesan hanya seremonial dan formalitas belaka.      

Cacat demokrasi ini juga dipengaruhi oleh perilaku elit politik. Terutama para pemimpin politik, yang secara terbuka mempertontonkan penyalahgunaan aturan dan kekuasaan.  Hal ini dapat dibuktikan ketika setiap even pemilukada, termasuk pemilu legislatif ini.

Para kepala daerah, yang sekaligus menjadi ketua partai politik memobilisasi pegawai negeri sipil untuk mendukung partai yang dipimpin oleh kepala daerah tempat dia bertugas.

Biasanya mobilisasi PNS ini dilakukan menggunakan sistem sel, di mana para kepala SKPD, diberi perintah untuk menggerakkan stafnya dalam menggalang dukungan politik. Padahal dalam Undang Undang Kepegawaian dengan tegas mengatur tentang netralitas pegawai negeri sipil terhadap partai politik, termasuk netralitas pegawai negeri sipil dalam konteks Pemilu legislatif, pemilihan bupati, pilkada Gubernur dan Pemilihan Presiden. 

Persoalan ini bila kita uraikan, tentu berpangkal dari lemahnya pemahaman tentang UU kepegawaian, juga lemahnya sanksi terhadap pegawai negeri sipil yang melanggar Undang Undang tersebut.
Sejak zaman Zulkifli Nurdin jadi Gubernur kala itu, para PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi, dan SKPD diarahkan untuk mendukung PAN, sehingga pada tahun 2004, PAN menjadi pemenang pemilu. 

Begitu juga dilingkungan Pemkab Tanjung Jabung Timur, semua pegawai negeri sipil diarahkan untuk mendukung PAN, sehingga PAN di Tanjabtim menang telak sampai 14 kursi. Suatu kemenangan spektakuler, tidak ada partai lain yang menjadi pemenang melebih 6 kursi di Kabupaten lain yang ada di Provinsi Jambi. 

Pertanyaannya adalah, apakah HBA selaku Ketua DPD Demokrat Provinsi Jambi dan beberapa bupati yang juga ketua partai demokrat, akan menggerakkan PNS untuk mendukung partai demokrat?
Atau apakah Walikota Jambi, SY Fasya yang juga petinggi Golkar dan Cek endra Bupati Sarolangun yang juga Wakil Ketua Golkar Provinsi Jambi akan menggerakkan PNS untuk memenangkan partai Golkar ? 

Atau juga apakah Zumi Zola selaku Bupati  Tanjung Jabung Timur yang juga Ketua Barisan Muda Partai Amanat Nasional Provinsi Jambi akan menggerakkan PNS dilingkungan Pemkab Tanjabtim untuk memenangkan PAN?

Nah, jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Namun hasil pemilu legislatif pada 9 April nanti mencerminkan hal itu. Kita tunggu jawabannya  9 April 2014 nanti.

Kemudian pertanyaan berikutnya, apakah perilaku elite politik yang menjadi ketua partai politik, mulai dari zaman Zulkifli Nurdin itu salah? Tentu jawabannya terpulang kepada subyektifitas penilaian publik. Apakah gaya Zulkifli Nurdin ini akan diikuti oleh HBA dan Bupati lainnya, sejarahlah yang akan mencatatnya.(*/lee)
***
Tercium "Aroma" Kadis PU di Acara Deklarasi GPH


Kadis PU Prov Jambi Ivan Wirata (kanan) dan Kepala SKPD lainnya di Deklarasi Gerakan Pendukung HBA di RCC Jambi Selasa 11 Maret 2014-Foto Asenk Lee Saragih

Berpolitik praktis kini terselubung dan kasat mata dilakukan Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Jambi. Dengan konsekuensi jabatan, kerap kepala SKPD mencari “muka” terhadap kepala daerah. Bahkan kepala SKPD turut perintah atasan jika jabatan itu aman untuk dipegang.

Suksesnya Deklarasi Gerakan Pendukung HBA (GPH) di Gedung Ratu Convention Centre (RCC) Selasa (11/3) yang dihadiri sejumlah kepala SKPD lingkungan Provinsi Jambi, tercium peran serta Kepala Dinas PU Provinsi Jambi, Ivan Wirata.

Menurut sumber Harian Jambi, dukungan dana acara itu, disinyalir dari Kadis PU Provinsi Jambi dengan mengalirkannya lewat LSM dan organisasi kepemudaan lainnya. Bahkan massa yang hadir merupakan massa bayaran nasi bungkus dan pengganti undangan Rp 25 ribu per orang.

Jelang Pilgub Agustus 2015 mendatang, kini Kepala (SKPD) mulai terbelenggu regulasi politik praktis secara terselubung. Setiap kepala SKPD kerap mendapatkan perintah dari tim sukses atau atasan untuk mendukung calon incumbent.

Pengamatan Harian Jambi di acara Deklarasi Gerakan Pendukung HBA, Ivan Wirata mendapat kursi paling depan. Bahkan program-program lewat slide monitor proyektor menayangkan program Gubernur Jambi HBA yang selalu berdampingan dengan Ivan Wirata.

Sudah menjadi rahasia umum, jika kepala SKPD dan stafnya kerap dikerahkan untuk mendukung calon incumbent. Bahkan kini Gubernur Jambi HBA menempatkan sejumlah Kepala SKPD di lingkup Provinsi Jambi yang notabene memiliki massa dan finansial. (lee) (HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 12 MARET 2014)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar