Harga
Diri Berakhir Dibalik Jeruji
FOTO: COVER TEMATIK/HARIAN JAMBI |
HARIAN JAMBI (TEMATIK-JUSTISIA)
Fenomena pejabat
korupsi sudah menggurita di seluruh negeri. Bahkan pejabat tak lagi malu
berpakain tahanan korupsi. Pejabat korup juga ternyata masih dielu-elukan sebagian
masyarakat yang bergantung rejeki darinya.
Vonis 1,2 tahun penjara denda Rp 50 juta terhadap Bupati nonaktif Batanghari Abdul
Fattah, ternyata cukup untuk membuka mata publik, bahwa sederetan pejabat di
Provinsi Jambi berujung karier di balik jeruji besi alias hotel prodeo.
Kasus korupsi pengadaan
mobil pemadam
kebakaran (Damkar) tahun 2004 lalu, menyeret sejumlah kepala daerah dan mantan kepala
daerah untuk reuni di hotel prodeo. Majelis hakim pengadilan tindak
pidana korupsi (tipikor) Pengadilan Negeri Jambi telah memberikan “hadiah” vonis kepada mereka pejabat
yang tersandung korupsi.
Melihat proses
persidangan Abdul Fattah selama ini, massa pendukung kerap membuat jalan di
depan PN Jambi macet dan harus mendapat pengawalan khusus aparat.
Sekelompok massa yang kerap
mengelu-elukan pejabat korup, merupakan fenomena baru dinegeri ini.
Beberapa
tahun terakhir, publik disuguhkan
dengan ditangkapnya para pejabat dan mantan pejabat terkait kasus korupsi. Sebut
saja, mantan Wakil Gubernur
Jambi Antony Zeidra Abidin, mantan
Sekda Provinsi Jambi Chalik Saleh dan AM Firdaus, mantan Bupati Muarojambi As’ad Syam, mantan Bupati Tanjabtim
Abdullah Hich, mantan Bupati Tebo Madjid Muaz.
Kemudian
mantan
Walikota Jambi Arifin Manap, mantan
Bupati Kerinci Fauzi Siin, mantan Wakil
Bupati Muarojambi
Mukhtar Muis, dan yang baru-baru ini ada Kepala Dinas Peternakan Provinsi Jambi
Sepdinal serta masih banyak pejabat
korup lainnya.
Sekretaris Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Provinsi Jambi Edi Purwanto mengatakan, bahwa korupsi itu seolah-olah sudah menjadi budaya di negeri ini. Pertama negara ini harus membentuk sistem yang bisa meminimalisir terjadinya tindakan koruptif.
Sekretaris Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Provinsi Jambi Edi Purwanto mengatakan, bahwa korupsi itu seolah-olah sudah menjadi budaya di negeri ini. Pertama negara ini harus membentuk sistem yang bisa meminimalisir terjadinya tindakan koruptif.
“Selama
ini kita lihat walaupun dengan adanya KPK,
tetapi
tingkat korupsi juga terus meningkat.
Jadi memang sistemnya yang harus diperbaiki,” katanya.
Kedua
adalah persoalan kesadaran dalam kehidupan bernegara. Negara ini katanya sudah
sistem demokrasi akan tetapi menjadi negara maling yang menjadi suatu kesatuan
untuk kepentingan individu dan golongan.
“Partai
politik harus menjadi media untuk menciptakan kader yang sebaik mungkin supaya
menjauhi korupsi. Parpol
perannya sangat penting agar bisa me-warning
dalam hal ini. Jika
ada kader yang bermasalah ya jangan dicalonkan. Dan juga track record orang itu juga penting. Kredibilitas dan kapabilitasnya juga
menjadi acuan dalam menilai seorang calon. Itu salah satu cara untuk
memperbaiki masalah korupsi,” katanya.
Ketiga,
masalah
sistem pelaksanaan pemilu kita yang memerlukan biaya besar. Ini tentunya menjadi
permasalahan baru lagi. Ketika seseorang terpilih menjadi kepala daerah
misalnya, harus berfikir kembali bagaimana bisa mengembalikan uang yang telah
dikeluarkan tentunya dengan berbagai
macam
cara, salah satunya dengan korupsi.
“Masyarakat
juga senang dan menginginkan sistem tersebut.
Padahal seharusnya masyarakat ikut memantau dan menyortir calon-calon
pemimpin dan wakil rakyat yang mereka pilih sehingga tercipta pemimpin-pemimpin
yang berkualitas serta jauh dari korupsi,”katanya.
Belum lagi masalah deal-deal politik yang dilakukan oleh para elite, baik melalui jalur dinasti politik maupun perkawinan politik yang marak terjadi belakangan ini. PDI Perjuangan sendiri tidak merasa sebagai partai yang bersih, ada juga kader PDI yang terkena masalah korupsi.
Belum lagi masalah deal-deal politik yang dilakukan oleh para elite, baik melalui jalur dinasti politik maupun perkawinan politik yang marak terjadi belakangan ini. PDI Perjuangan sendiri tidak merasa sebagai partai yang bersih, ada juga kader PDI yang terkena masalah korupsi.
“Tapi
mari bersama-sama kita mulai berbenah dari semua sisi sehinga kualitas dari
pemimpin kita semakin baik dan harapan masyarakat dapat terus terjaga untuk
memajukan negeri ini,”ujarnya.
Sementara Ketua
Umum DPW Partai Kebangkitan Bangsa Sofyan Ali mengatakan, bahwa PKB tetap
berkomitmen untuk memberantas korupsi. “Ini
dibuktikan dengan dipecatnya kader-kader PKB yang terlibat korupsi. Jadi ketika
berkaitan dengan kasus hukum apalagi korupsi tidak ada tebang pilih,”katanya.
Korupsi bukan
hanya dilakukan oleh orang parpol,
namun yang lebih banyak lagi
terjadi di birokrasi. “Akan
tetapi yang terlihat saat ini oknum parpol
banyak yang terlibat kasus korupsi, sejatinya parpol tidak pernah menyuruh kadernya
untuk korupsi,”katanya.
Terkait
banyaknya pejabat dan mantan pejabat yang terkena kasus korupsi, Sofyan beranggapan ini
dikarenakan sistem yang berlaku saat ini. “Pada
saat reformasi terjadi kebuntuan politik sehingga masyarakat menginginkan
pemilihan secara langsung. Akan tetapi menurut evaluasi yang dilakukan oleh PKB
sistem ini cost politiknya terlalu
besar sehingga mengakibatkan keinginan pejabat yang terpilih melakukan korupsi
semakin besar. PKB sendiri ke depannya menginginkan pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi
kepada dewan,”katanya. (Berita Ini Sudah Naik di HARIAN JAMBI-TEMATIK JUSTISIA EDISI RABU 27 NOVEMBER 2013) (www.harianjambi.com)
Hampir 3.000 Anggota DPRD
Terjerat Hukum
Sejak
dihelat Pemilukada pada 2004, hampir 3.000 anggota DPRD provinsi
serta kota/kabupaten di seluruh Indonesia terjerat hukum. Tindak pidana korupsi
mendominasi kasus hukum yang menjerat anggota DPRD.
Sebanyak 431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum. Berdasarkan surat izin pemeriksaan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada akhir 2012, sebanyak 137 (35,49 persen) orang diperiksa kepolisian dan 294 orang (64,51 persen) diperiksa kejaksaan. Dari 431 kasus, sebanyak 83,76 persen terjerat kasus korupsi, dan lainnya kasus pidana, pemerasan, dan perzinahan.
Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang terseret kasus hukum lebih besar lagi mencapai 2.545 orang. Namun, hingga kini aparat kepolisian dan kejaksaan baru memeriksa 994 orang saja. Dari 2.545 anggota dewan, terdapat 1.050 orang (40,07 persen) teridentifikasi kasusnya adalah korupsi. Dengan kata lain, selama delapan tahun terakhir, setidaknya 2.976 anggota dewan terjerat kasus hukum yang didominasi kasus korupsi.
"Jumlah data itu terus bertambah karena anggota dewan yang tersangkut kasus hukum, ada saja setiap harinya," kata Staf Ahli Mendagri Reydonnyzar Moenek.
Untuk kepala daerah, kata dia, sejak diberlakukannya pemilukada langsung hingga awal 2013, kepala daerah yang terbelit kasus hukum mencapai 291 orang. Dari jumlah itu, 70 persen diantaranya akibat terlibat praktek tindak pidana korupsi.
Sesuai analisis dan kajian tim Kemendagri, kata Reydonnyzar, salah satu alasan maraknya anggota dewan dan kepala daerah tersangkut kasus hukum lantaran pelaksanaan pemilukada langsung. Model rekrutmen terbuka, alias siapa saja bisa menjadi anggota dewan dan kepala daerah membuat orang terjerumus melakukan pelanggaran.
Apalagi dana kampanye untuk pencalonan sangat tinggi, sambungnya, sehingga biasanya mereka bakal mencari cara untuk mengembalikan modalnya. Menurut Reydonnyzar, artis, pengusaha, alim ulama, sejauh mendapat dukungan parpol bakal bisa mencalonkan diri dalam pemilihan langsung.
"Meski populer, namun minim kapasitas, kapabilitas dan kualitas, serta integritas bisa terpilih menjalankan pemerintahan di legislatif dan eksekutif," ujarnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan Kemendagri untuk mengatasi maraknya praktik korupsi tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada terkait pemilihan gubernur oleh DPRD. Selain bisa menghemat biaya, juga meminimalisasi pelanggaran politik uang yang dilakukan anggota DPRD provinsi.
Adapun karena tidak ingin mencederai pelaksanaan otonomi khusus, kata Reydonnyzar, pemilihan bupati/walikota tetap dipilih rakyat dengan mekanisme kontrol ketat. (net/HARIAN JAMBI)
Sebanyak 431 anggota DPRD provinsi terjerat kasus hukum. Berdasarkan surat izin pemeriksaan yang dikeluarkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) pada akhir 2012, sebanyak 137 (35,49 persen) orang diperiksa kepolisian dan 294 orang (64,51 persen) diperiksa kejaksaan. Dari 431 kasus, sebanyak 83,76 persen terjerat kasus korupsi, dan lainnya kasus pidana, pemerasan, dan perzinahan.
Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota yang terseret kasus hukum lebih besar lagi mencapai 2.545 orang. Namun, hingga kini aparat kepolisian dan kejaksaan baru memeriksa 994 orang saja. Dari 2.545 anggota dewan, terdapat 1.050 orang (40,07 persen) teridentifikasi kasusnya adalah korupsi. Dengan kata lain, selama delapan tahun terakhir, setidaknya 2.976 anggota dewan terjerat kasus hukum yang didominasi kasus korupsi.
"Jumlah data itu terus bertambah karena anggota dewan yang tersangkut kasus hukum, ada saja setiap harinya," kata Staf Ahli Mendagri Reydonnyzar Moenek.
Untuk kepala daerah, kata dia, sejak diberlakukannya pemilukada langsung hingga awal 2013, kepala daerah yang terbelit kasus hukum mencapai 291 orang. Dari jumlah itu, 70 persen diantaranya akibat terlibat praktek tindak pidana korupsi.
Sesuai analisis dan kajian tim Kemendagri, kata Reydonnyzar, salah satu alasan maraknya anggota dewan dan kepala daerah tersangkut kasus hukum lantaran pelaksanaan pemilukada langsung. Model rekrutmen terbuka, alias siapa saja bisa menjadi anggota dewan dan kepala daerah membuat orang terjerumus melakukan pelanggaran.
Apalagi dana kampanye untuk pencalonan sangat tinggi, sambungnya, sehingga biasanya mereka bakal mencari cara untuk mengembalikan modalnya. Menurut Reydonnyzar, artis, pengusaha, alim ulama, sejauh mendapat dukungan parpol bakal bisa mencalonkan diri dalam pemilihan langsung.
"Meski populer, namun minim kapasitas, kapabilitas dan kualitas, serta integritas bisa terpilih menjalankan pemerintahan di legislatif dan eksekutif," ujarnya.
Salah satu solusi yang ditawarkan Kemendagri untuk mengatasi maraknya praktik korupsi tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada terkait pemilihan gubernur oleh DPRD. Selain bisa menghemat biaya, juga meminimalisasi pelanggaran politik uang yang dilakukan anggota DPRD provinsi.
Adapun karena tidak ingin mencederai pelaksanaan otonomi khusus, kata Reydonnyzar, pemilihan bupati/walikota tetap dipilih rakyat dengan mekanisme kontrol ketat. (net/HARIAN JAMBI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar