Halaman

Sabtu, 19 Juni 2021

Aksi Perlawanan Tanpa Kekerasan Ajak Tutup PT Toba Pulp Lestari

Semangat “Mudar” Sisingamangaraja XII Membawa Aktivis Toba Jalan Kaki Menuju Istana Presiden di Jakarta



(Matra, Jambi)-Perjuangan dengan aksi damai dengan semangat “Mudar” Sisingamangaraja XII, Tim 11 Aktivis Lingkungan Toba melakukan aksi jalan kaki menuju Istana Negara di Jakarta. Aksi damai yang mengusung ajakan menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL) yang dinilai telah merusak tatanan kelestarian alam di sekeliling Danau Toba, Sumatera Utara. 

Tiga Icon Aktivis “AJAK TUTUP TPL” ini adalah Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung (ONI), Irwandi Sirait. Tiga aktivis ini didampingi 8 Tim Logistik yang terdiri dari Cristian Gultom, Erwin Hutabarat, Ishak Aritonang, Agustina Pandiangan, Bumi Simorangkir, Lambok Siregar, Yman Munthe dan Jevri Manik.

Togu Simorangkir, bersama rekan-rekan melakukan aksi nekat sejak Senin 14 Juni 2021 mulai jalan kaki dari Toba menuju Jakarta. Niatnya jelas, meminta pemerintah segera menutup PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Tim AJAK Tutup TPL, juga terasa special karena momen long-march ini berdekatan dengan kenangan akan wafatnya Sisingamangaraja XII, tokoh yang menjadi simbol perlawanan masyarakat Batak.

Momentum 114 tahun Sisingamangaraja XII gugur menjadi semangat bagi Tim AJAK Tutup TPL untuk terus melakukan perlawanan tanpa kekerasan terhadap perusakan lingkungan hidup.
 
“Semangat Sisingamangaraja XII selalu ada dinafas perjalanan dari Toba ke Jakarta ini. Peristiwa sejarah yang dirujuk Togu Simorangkir memang punya makna tersendiri. Sebagaimana diketahui pada 17 Juni 1907, Sisingamangaraja XII gugur dalam pertempuran Si Onom Hudon, desa kecil di perbatasan Tapanuli Utara dan Dairi saat ini,” ujar Togu Simorangkir, Kamis (17/6/2021), saat timnya telah mencapai wilayah Sipirok, Tapanuli Selatan.

Dikisahkan, pada nafas terakhirnya, raja Bakkara yang 29 tahun gigih melawan Belanda itu menyeru lantang, “Ahu Sisingamangaraja” (Akulah Sisingamangaraja). Dalam pemaknaan khas Batak, sang pahlawan bukan sekedar berebut wilayah atau posisi, namun gigih mempertahankan tanah air, adat kebiasaan, keyakinan, hukum, kemerdekaan dan kesetaraan – yang menyatu utuh sebagai identitas dan kesehariannya.

Semangat inilah yang diharapkan oleh Tim Ajak Tutup TPL juga mewujud dalam perjuangan masyarakat Toba dan sekitarnya untuk merawat lingkungan serta tatanan masyarakat Batak.

Seruan mereka disambut positif oleh banyak orang disepanjang jalan dan juga menyaksikan siaran live oleh Facebook Jevri Manik sepanjang perjalan hingga memasuki hari ke 6 Sabtu (19/6/2021).

Anita Martha Hutagalung (ONI), wanita yang sudah nenek ini tampak tegar dan semangat disepanjang perjalanan. Di sejumlah desa mereka disambut dan dijamu dengan simpatik oleh banyak sahabat. Ini membuatnya seolah dapat kekuatan besar meski menempuh perjalanan yang terbilang berat.

Anita Martha Hutagalung yang juga Inang Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Binjai, Sumut ini Anita menyebut alasannya ikut aksi Ajak Tutup TPL adalah kerinduannya agar keindahan Danau Toba bisa dinikmati generasi mendatang, jauh lebih baik dari kondisi sekarang. 

“Sekarang hutannya rusak, air surut dan ini sudah jadi masalah global. Saya ingin cucu saya kelak bisa menikmati alam Danau Toba dengan asri. Meski saya sudah nenek, semangat perlawanan tanpa kekerasan ini adalah jalan terbaik untuk menggugah Presiden RI Joko Widodo untuk menutup PT TPL di sekitar Danau Toba,” kata Oni, sapaan medsos Anita Martha Hutagalung.

Ajak Tutup TPL merupakan kolaborasi dari sejumlah aktivis lingkungan, masyarakat adat dan pegiat pemberdayaan masyarakat di wilayah kitaran Danau Toba. Mereka merupakan konsolidasi dari bertahun-tahun gerakan protes atas izin dan praktik operasi yang dikerjakan perusahaan perintis pabrik kertas pertama di Indonesia itu.

Sejak saat masih bernama PT Inti Indorayon Utama, perusahaan ini kerap diprotes karena permasalahan tanah masyarakat adat serta dampak pada lingkungan terutama surutnya air dan pembuangan limbah. Sempat ditutup pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, perusahan kini kembali beroperasi dengan nama PT TPL.

Catatan Sepanjang Perjalanan

Aksi jalan kaki ini juga dituliskan Anita Martha Hutagalung lewat laman sosial media Facebooknya. Juga perjalanan rutin disiarkan langsung (Live) FB Jevri Manik dan dibagikan di FB Anita Martha Hutagalung (ONI) serta Togu Simorangkir.

Dibawah ini sejumlah tulisan dikutip dari laman sosial media Facebook Anita Martha Hutagalung. “HARI KE  5”. Meskipun tadi malam Oni tidur larut, tapi paginya harus segera bangun untuk bersiapsiap.  

“Dan pagi ini disediakan sarapan soto ayam. Sudahlah kami menginap gratis di Hotel Maninjau, makan malam dan sarapan disediakan. Dapat hadiah jam tangan pulak dari ownernya. Luar biasa memang. Cuaca cerah,” tulis Oni. 

“Sebelumnya  kami memulai langkah kaki, pengurus GAMKI memberikan Ulos supaya kami dalam perjalanan sehat-sehat  dan tetap semangat. Aku pikir mereka hanya menghantarkan sampai disitu saja. Ternyata mereka ikut berjalan kaki menemani kami. Masih seperti biasa dukungan selalu kami dapatkan,” ujar Oni. 

Cerita Oni, KPA Forester Tabagsel yang member 2 buah pepaya, 3 sumpit salak Sidempuan dan sekotak air mineral. Ada juga bapak Hasibuan yang memberikan selembar uang Rp 20 ribu. “Cuma beli sebotol air minum yang bisa ku kasi, semangat terus ya,  sehat-sehat dalam perjuangan," ujar pak Hasibuan, seperti ditirukan Oni. 

“Bagi kami bukan soal jumlahnya, tapi perhatiannya itu yang membuat kami terharu. Bahkan ada perempuan yang mengejar kami hanya mau menyerahkan 2 botol air minum. Sehat-sehat ya tulang, kupikir aksi kalian tidak betul-betul, ternyata memang ada,” katanya dengan mata berkaca-kaca. 

Oni menceritakan, panas terik tak menyurutkan langkah mereka. Sampai akhirnya waktu makan siang tiba. Mereka dijamu makan oleh Pangeran Edison Rambe  di Istana Hasadaon anggota DPRD  Tapsel. 

“Meskipun Pangeran masih dalam perjalanan dari luar kota, menuju pulang, tapi beliau "memaksa" kami untuk menginap malam ini di rumahnya. Supaya bisa bertemu dengan Tim 11. Akhirnya Togu Simorangkir  mengiyakan undangan sang Pangeran, dengan syarat kami selesaikan dulu target perjalan kami sampai batasnya. Lalu kami kembali lagi ke Istana Pangeran,” ujar Oni. 

“Dan lagi-lagi perjalanan kami masih tetap dikawal Ito Bonardo Ap Marpaung  ketua GAMKI Tapsel dan Sekretaris GMKI Charles Kulon Panjaitan sampai ke pemandian Aek Sijorni. Bagus sekali. Airnya sangat jernih langsung dari mata air. Segarrrr. Hilang segala letih saat berjalan kaki di terik matahari tadi. Sehabis mandi-mandi kami balik arah ke Istana. Dan benar sekali Pangeran dan Namora (istrinya) sangat humble dan ramah. Lalu kami kaget ternyata salah satu korban di Natumingka dengan TPL itu adalah bapa udanya Namora,” cerita Oni. 

Oni kembali menceritakan perjalana mereka. “Jadi, bagi Oni tak ada hal yang kebetulan di dunia ini. Sampai saat aku mengetik postingan ini, Pangeran, pengurus GMKI dan beberapa dari tim 11 masih ngobrol di luar. Kalau Oni sih tidur aja ya. Udah ngantuk. Oni emang kek gitu orangnya. TutupTPL, #TIO AJAK TutupTPL,” tulis Oni menceritakan perjalanan hari ke 5 menuju Istana Negara, Jumat (18/6/2021).

Hari Ke II dan III

Masih dari laman sosial media, serba-serbi kegiatan Tim 11 Ajak Tutup TPL hari ke III, Lokasi Gereja HKBP Pangaloan - Pahae (Taput). Anita Martha Hutagalung bersama Jevri Manik dan Tim 11 berbagi foto dan video perjalanan.

Pada hari ke II, bangun pagi-pagi seperti biasa Oni senam PSG selama 30 menit. Lalu mandi, kemudian mendengarkan arahan dari komandan kami yang ganteng Jevri Manik. Pukul 06 lewat dikit kami sudah mulai start jalan kaki di hari ke 2. Cuaca masih berkabut tapi kami tetap semangat. 

“Belumpun jauh kami berjalan tiba-tiba ada bapak-bapak menemui kami di jalan memberikan "amplop" sebagai dukungan kepada TIO AJAK Tutup TPL. Kami sarapan pagi di tepi sungai Aek Sigeaon. Sesudah itu lanjut perjalanan, aku liat ada ODGJ dan kami beri mi goreng. (seperti yang udah Oni share videonya),” tulis Oni. 

“Perjalanan lanjut ditemani oleh ito Paul Lumbantobing menyusuri jalan sampai Hutagalung. Ada bapak muda mencegat kami dijalan, sambil menggendong anaknya. Beliau memberikan 3 pepaya dan sebotol besar air mineral. Dia menitipkan semangatnya pada kami untuk perjuangan kami. Cepat-cepat kuhapus air mataku, aku tak mau terlihat cengeng. Nanti dia tak percaya pulak awak sanggup jalan kaki sejauh itu,” ucap Oni.

Kata Oni, ketulusan banyak orang yang mendukung mereka, sebagai tanda bahwa benar banyak orang yang marah, banyak orang yang kecewa, banyak yang ingin "berteriak" sampai kelelahan.

“Jadi begitu tau aksi kami, mereka-mereka seperti merasa terwakili. Kami tidak pernah meminta atau merengek-rengek pada sahabat atau teman, meskipun dana kami minim. Puji Tuhan banyak hati yang digerakkan untuk membantu kami. Dan selalu ada,” ujar Oni. 

“Sedang berjalan tiba-tiba ada perempuan menegur dengan ramah. Aku tanya siapa? Oni tak kenal karena dia pakai masker. Saat dia buka, ternyata eda Tiurma Silitonga. Si eda mengantarkan Bu Sarma Hutajulu  yang kemarin kasi jaket parasut ke Oni. Kali ini Sarma ngasi amplop buat mensuport tim. Baik-baik kali kawan-kawan Oni semua, Veryanto Sitohang  dan Jenny Solin  pun ikutan transfer ke Oni. Sepanjang perjalanan ada saja ODGJ yang kami temui. Dan tetap kami berikan makanan. Memberi dan menerima kami rasakan silih berganti,” tulis Oni menceritakan perjalanan mereka. 

Tim 11 sempat istirahat di kuburannya Opungnya Togu. Di Makam Purnama Rea Sinambela putri Sisingamangaraja ke XII. Jadi si Togu ini cicitnya Sisingamangaraja. 

Disitu Oni dikusuk/pijat oleh tutur opungnya Togu beliau Boru Sibarani. Katanya kaki Oni bagus tidak ada urat-urat atau otot yang kaku. Peredaran darah bagus. Alhamdullilah hanya pegal kelelahan karena kakinya dipake jalan panjang.

“Perjalanan lanjut lagi. Sepanjang jalan banyak yang memberi semangat sambil mengepalkan tangan kiri tanda perlawanan. Ada yang tiba-tiba nongol ngasi sekotak air mineral. Ada yang kasi jeruk, ada yang kasi kopi. Macam-macamlah. Kasian mobilnya jadi keberatan penuh sesak. Memasuki daerah ntah hapalah namanya tadi, Kami berhenti di  warung karena sudah pada lapar. Makan siang sambil istirahat, eh...ada lagi yang nyamperin kami dan ngasi duit buat minum,” cerita Oni.

“Sayang hujan deras tiba-tiba turun. Kami tunggu reda, tapi tak reda juga, akhirnya kami putuskan untuk lanjut jalan kaki. Hujan tak mampu mengendurkan semangat. Hati Oni masih penuh oleh kehangatan orang-orang yang mengasihi kami. Sehingga 40 km terlampaui sudah,” ucap Oni. 

Tim 11 kemudian menginap di Gereja HKBP Pangaloan Pahae Jae. Atas rekomendasi Pdt Siburian. Sebelum mata hari terbenam Oni mandi air hangat. Dari sumber air belerang yang “marjullak-jullak”.
 
“Apanya weii bahasa Indonesianya marjullak-jullak?. Kayak masak air gurgur gitu. Makan malam disediakan Pangulu  dari Happung Desa Silangkitan, Pahae Jae. Pokoknya untuk hari ke 2 ini berlangsung baik. Oni sehat, tidak flu atau pilek meskipun kena hujan. Dan perut Oni agak sakit, karena kekenyangan. Begitulah dulu cerita Oni ya. Bentar lagi kayaknya mau tertidur nih. Oni emang kek gitu orangnya,” tulis Oni menutup cerita hari kedua menuju Istana Negara.


Dukungan Masyarakat

Jejetobing Sumuntul juga menceritakan Tiga Icon Aktivis “AJAK TUTUP TPL” ini yakni Togu Simorangkir, Anita Martha Hutagalung (ONI), Irwandi Sirait. Tiga aktivis ini didampingi 8 Tim Logistik yang terdiri dari Cristian Gultom, Erwin Hutabarat, Ishak Aritonang, Agustina Pandiangan, Bumi Simorangkir, Lambok Siregar, Yman Munthe dan Jevri Manik.

“Pertama sekali, saya mengucapkan terimakasih buat Ces ku, rekan ku Putra Sigurung-gurung Pahae, dengan sabar menunggu dan menemui rombongan Togu Simorangkir, Bang Rait , Jevri Manik dan kawan-kawan di Pangaloan. Sekecil apapun peran kita, namun hemat saya sungguh merupakan sebuat bentuk dukungan  moril dari kita utk perjuangan mereka, demi  menyelamatkan alam dan lingkungan serta demi "Keutuhan Ciptaan',” tulis  Jejetobing Sumuntul.

“Sesungguhnya, apa yang mereka suarakan bukan saja  soal tutup Tepeel, bukan pula hanya menyangkut kelestarian di wilayah Toba sekitarnya, tetapi menyangkut kelestarian alam di wilayah Taput, karena konsesi Tepeel, juga lumayan luas di kawasan Taput. Salam Hormat ku buat para pejuang lingkungan hidup di Wilayah Pahae, karena kalian sudah ikut ambil bagian dalam perjuangan ini,” ujar Jejetobing Sumuntul.

Kata Jejetobing Sumuntul, dan bagi para rekan di wilayah Pahae, silahkan bergabung dan merapat malam ini di Gereja Pangaloan Pahae, karena selain mengenal sosok Togu dan kawan-kawan, saya yakin akan ada tambahan wawasan terhadap alam dan keutuhan ciptaan dari seorang Togu Simorangkir. Salam Perjuangan dalam Kegembiraan.

Jufri Jhonny Panjaitan juga menayangkan siaran langsung perjalanan Tim 11 AJAK Tutup TPL. Bung Togu Simorangkir beserta Tim mampir di Gereja HKBP PANGALOAN untuk melepas Penat. Besok pagi akan melanjutkan perjalanan menuju Jakarta untuk bertemu langsung dengan Bapak Presiden Jokowidodo. Menyampaikan Aspirasi Masyarakat Toba "Tutup TPL".

Kemudian Togu Simorangkir juga menayangkan siaran langsung Sarapan hari ke 6 “AJAK TUTUP TPL” Panjang Umur Perjuangan, Sabtu 19 Juni 2021.

“Setelah 8 KM jalan kaki dari Kota Sidempuan, dibuat mewek oleh seorang bapak bengkel. Beliau memberikan uang Rp 20.000 untuk membeli air minum katanya. Langsung berkaca-kaca mata ini. Dan saat aku tanya marga apa, Hasibuan katanya. Langsung awak cium tangan dan bilang Horas Opung,” ujar Togu Simorangkir.

Siapa Mereka?

Seorang Penulis Seeword.com, bernama Ifani menuliskan sosok Aktivis “AJAK TUTUP TPL”. Berikut ini tulisannya dikutip Matra. 

Panjang Umur Perjuangan. One fine day, hari ini, mereka mulai perjalanan panjang 1700 km lebih Toba - Istana Negara Jakarta berjalan kaki mencari keadilan untuk tanah Batak. Togu Simorangkir - Anita Martha Hutagalung dan Irwandi Sirait beserta tim logistik. Misinya Tutup TPL (Toba Pulp Lestari).

Siapa blio? Blio orang gilak. Lulusan S2 dari Inggris. Yang malah pulang ke kampung urus Orang Dengan Gangguan Jiwa, urus anak-anak biar ada perpustakaan, ada sekolahnya, urus bebek, urus sawah. Ia dikenal dengan berbagai ide-ide kreatif dan aksi "gila" dalam kegiatan-kegiatan sosial yang ia lakukan.

Togu Simorangkir adalah pendiri Yayasan Alusi Tao Toba. Ia pernah berenang sebanyak dua kali di Danau Toba 9 km dari Parapat - Tuktuk dan 18 km dari Onanrunggu - Balige. Waktu itu untuk menggalang dana bagi pengadaan kapal belajar di Danau Toba.

Ia juga pernah berjalan kaki sejauh 305,65 kilometer mengelilingi Danau Toba, melewati tujuh kabupaten di sekitar Danau Toba untuk menggalang dana bagi biaya operasional Sopo Belajar (Rumah Belajar) dan Kapal Belajar yang dikelola oleh Yayasan Alusi Tao Toba.

Blio Cicit Raja Sisingamangaraja XII seorang raja di Negeri Toba, Sumatra Utara. Pahlawan Nasional yg berjuang di Tanah Batak 30 tahun melawan Belanda dan akhirnya tewas. Semangat perjuangan untuk rakyat itu tetap bergelora di darah cicitnya ini terhadap pendidikan dan lingkungan hidup di Danau Toba kemudian mengantarkannya terpilih sebagai salah satu Kick Andy Heroes pada tahun 2019.

Saat ini blio dan team, sahabat saya juga eda Anita Martha Hutagalung dan Bang Rait telah start dari Makam Sisingamangaraja XII, Senin (14/6/2921) dilepas dengan upacara adat dan saat kabar ini ditulis sudah menempuh 14 KM jalan kaki.

Jarak yang akan ditempuh lebih dari 1700 KM jalan kaki dari Toba ke Istana Negara untuk bertemu Pakde tercinta Presiden Joko Widodo. Misi yang dibawa adalah tutup TPL (Toba Pulp Lestari) korporasi besar dulu namanya Indorayon yang sudah 30 tahun menempati tanah Batak dan telah banyak menyebabkan gesekan-gesekan dengan masyarakat baik dalam soal rebutan tanah, lingkungan yang tercemar, tanggung jawab sosial dll. Ini perjuangan untuk tanah Batak.

Untuk misi ini bang Togu tidak mau galang dana karena blio gak mau orang kira nanti mau ngumpulin donasi, dikira mau jalan-jalan pake uang donasi. Blio hanya mau terima kiriman dari orang-orang yang  dikenalnya atau yang dipercaya atau direkomen dari lingkarannya. Gak mau donasi2an. Modal sendiri dan dari orang2 dekat sahabat dan kerabat dekat saja. Ada yang kasi sepatu, tenda, kompor kecil, pisang, kopi, minyak urut dll.

Kemaren blio menjual ratusan bebek pliharaannya, untuk perjuangan ini. Untuk belanja keluarga yang akan ditinggalkannya 1,5 bulan nanti jalan kaki ke Jakarta. Ia serahkanlah uang hasil jual bebek itu Rp 8 Juta untuk istri dan anak2 nya selama ditinggalkan dan Rp 2 Juta untuk bikin tempat barang di mobil dan ganti kaca depan mobil avanzanya yang udah retak kacanya, mobil ini akan mengiringi di jalan nanti bawa logistik.

Mata kami berkaca-kaca melihat potonya kemaren jual bebeknya. Panjang umur perjuangan. Saat ini sudah berjalan 14 km ada masyarakat kasi bantuan kerupuk untuk bekal di jalan. Masih jauh perjalanan ini. Semoga tiba dengan sehat dan selamat di Itana Merdeka In shaa Allah dalam 45 hari. Berkahilah kawan-kawan kami ini dalam perjuangannya ya Allah, amin YRA.

Awal Indorayon Berdiri

Seorang Dosen Sosiologi Agama IAKN Tarutung bernama Dian Purba pernah menuliskan sebuah artikel awalnya berdirinya Indorayon dan menjadi masalah bagi masyarakat di sekeliling Danau Toba.

“Pada 26 April 1983, masyarakat Porsea di pinggiran Danau Toba, sebuah kota kecil di Sumatra Utara yang berjarak 215 kilometer di selatan Medan, bergolak. Mereka kedatangan “tamu” dari pemerintah pusat yang akan membuat hari-hari mereka berubah drastis hingga hari ini. “Tamu” itu adalah PT Inti Indorayon Utama, sebuah perusahaan pabrik yang memproduksi pulp (bubur kertas) dan rayon (bahan untuk membuat serat kain). Tahun-tahun itu adalah saat orde baru gencar-gencarnya memeratakan pembangunan hingga ke daerah-daerah,” kata Dian Purba dalam artikelnya.

Menurut Dian Purba, Indorayon di awal kehadirannya sudah memunculkan kontroversi sekaligus mendapat penolakan dari warga Porsea. Tiga tahun setelah berdiri, perusahaan ini mulai beroperasi dengan menebangi pohon-pohon pinus di pinggir Danau Toba. 

“Namun, hasil tebangan itu tidak dimaksudkan sebagai bahan-bahan produksi pulp, melainkan untuk dijual kepada perusahaan-perusahaan korek api, sumpit, dan tusuk gigi di Pematang Siantar. Indorayon meraup laba Rp 10,79 miliar pada 1988 dari hasil penebangan itu. Tentu saja masyarakat curiga dan protes. Mengapa Indorayon diizinkan menebang dan menjual kayu-kayu pinus yang tidak ditanaminya sendiri?,” ujarnya.

Kata Dian Purba, kontroversi lain adalah tentang pemberian izin pendirian perusahaan. Beberapa pejabat yang berwenang dengan itu sebenarnya sangat menolak pendirian Indorayon. Penolakan ini karena letak Indorayon tertelak di kawasan hulu Sungai Asahan di Desa Sosorladang. 

“Alasan yang disampaikan pejabat itu adalah desa itu tidak cocok tempat berdiri Indorayon karena fasilitas yang dibutuhkan sebuah pabrik tidak memenuhi. Desa Sosorladang belum dilalui jalan yang bisa digunakan untuk mengangkut bahan baku yang terletak di kawasan hulu desa itu. Opsi yang ditawarkan kemudian adalah memindahkan Indorayon ke hilir sungai,” sebut Dian Purba.

Pejabat lain juga tidak sepakat. Menurut mereka limbah buangan Indorayon dipandang bisa mengancam kelestarian Dam Siruar Sigura-gura dan Tangga. Dam ini dibangun dan difungsikan oleh PLTA milik PT Inalum. Limbah itu akan membuat korosi baling-baling yang digunakan untuk memutar turbin PLTA. Namun, pemerintah tetap melanjutkan pembangunan.

Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie bersikukuh untuk tetap membangun Indorayon karena memang proyek besar ini sudah mendapat persetujuan dari Presiden Suharto. Kemudian Badan Koordinasi Penanaman Modal memberikan Surat PersetujuanTetap Nomor 269/PMDN/1983 kepada Indorayon, disusul dengan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Sumatera Utara Raja Inal Siregar Nomor 593/3085/1984 tentang penetapan lokasi dan luas tanah untuk keperluan pembangunan PT Inti Indorayon Utama.

Surat persetujuan itu dikeluarkan bahkan sebelum berbagai persayaratan lingkungan yang harus dipenuhi Indorayon belum memenuhi syarat. Inilah awal malapetaka bagi warga Porsea. Aksi korporasi Indorayon pertama adalah penyediaan lahan. Tanah Porsea adalah tanah adat yang dimiliki tidak oleh perseorangan, tetapi dimiliki secara komunal. Protes pun terjadi oleh sepuluh orang inang-inang (ibu-ibu). Mereka menolak tanah adat diserahkan ke Indorayon.

“Kasus ini bermula ketika Indorayon, lewat perantaraan kepala desa dan camat berhasil membujuk beberapa warga untuk menyerahkan tanah adat seluas 51, 36 hektare untuk dijadikan areal PIR, perkebunan inti rakyat, yang akan ditanami eucalyptus,” terang Dian Purba.

“Penyerahan tanah adat itu oleh Indorayon dianggap sudah sesuai prosedur, karena kepala desa dan camat sudah menerima uang pago-pago (uang damai) dari Indorayon. Namun, beberapa warga desa yang merupakan keturunan langsung dari raja pendiri kampung tempat tanah adat itu berada tidak pernah merasa memberikan persetujuan untuk menyerahkan tanah itu. Kesepuluh inang-inang itu mencabuti tanaman eucalyptus sebagai bentuk protes. Mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, Pengadilan Negeri Tarutung memvonis mereka enam bulan penjara,” kata Dian Purba dalam artikelnya itu.

Lebih jauh Dian Purba menjelaskan, beberapa titik resistensi terus bermunculan. Masyarakat adat menolak kehadiran Indorayon. Mereka terus berlawan hingga memasuki dekade 1990-an. Bahkan gerakan mereka semakin membesar dan juga semakin terjalin dengan jaringan yang lebih besar dan luas. 

Sesaat setelah Soeharto mundur dari posisinya sebagai presiden pada 21 Mei 1998, masyarakat Porsea mendapatkan hasil dari perjuangan keras mereka. Pengganti Soeharto, BJ Habibie, pada 19 Maret 1999, menghentikan sementara kegiatan operasional Indorayon seraya menunggu hasil audit.

Dampak Indorayon

Masyarakat Porsea mayoritas petani. Mereka menanam padi untuk kebutuhan rumah tangga, dan juga untuk dijual ke pasar. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai nelayan di Danau Toba.
Danau terbesar di Asia Tenggara itu menjadi ladang penghidupan utama karena ikan di sana sangat melimpah. Kehadiran Indorayon membawa perubahan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. 

Dampak paling terlihat dan terasa dari kehadiran pabrik bubur kertas itu adalah menurunnya debit air di Danau Toba. Kemudian, sungai-sungai tempat mereka selama ini melakukan aktivitas mandi, bahkan dari sungai itu pula mereka mengambil air untuk dijadikan air minum, kini tak jernih lagi. Hujan asam menyerbu atap rumah mereka sehingga yang dulunya atap rumah bisa bertahan puluhan tahun, setelah kehadiran perusahaan itu hanya bertahan beberapa tahun saja.

Dampak lain adalah berkurangnya ikan di danau. Dengan demikian nelayan danau berganti profesi menjadi petani di darat. Namun, rupa-rupanya, kesuburan tanah juga sangat berkurang karena hujan asam itu.


Bukan Gerakan Elitis

Saat itu orde baru masih berkuasa. Atas nama pembangunan, siapa saja yang tidak berjalan pada rel pembangunan itu akan dianggap membangkang pada negara. Akibatnya bermacam-macam. Yang kerap terjadi adalah penghancuran “para pembangkang” dengan mengerahkan kekuatan negara. Masyarakat Porsea sadar betul akan hal itu. Sepuluh inang-inang itu juga demikian. Saat mencabuti tanaman hutan Indorayon mereka sadar akibat yang akan mereka terima setelah itu.

Aktivitas Indorayon menghancurkan kehidupan pertanian mereka. Namun, hal pokok yang menyebabkan sepuluh inang-inang itu mencabuti tanaman hutan Indorayon adalah karena tanah itu adalah tanah adat. Kepemilikan tanah di sana adalah kepemilikan komunal. Bagi mereka, tanah adalah bagian dari identitas kebatakan.

Di samping itu, bagi masyarakat Batak, bertani bukanlah semata-mata memenuhi kebutuhan subsistensi. Mereka menghubungkan tanah dan perjuangan menyekolahkan anak-anak mereka setinggi mungkin, sehingga melahirkan satu perumpamaan boleh disebut sebagai ideologi orang Batak: anakhon hido hamoraon di au (anak adalah sumber kekayaan). Artinya, mereka bekerja siang dan malam di tanah mereka untuk menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin. Karena itulah, kehilangan tanah bagi mereka tak sekadar kehilangan tanah semata tapi juga kehilangan ideologi kebatakan.

Di samping itu juga, kehadiran Indorayon ikut menghancurkan salah satu bidang perkerabatan. Berbagai jenis ikan mas, yang bagi orang Batak menjadi sumber protein hewani yang bebas kolesterol, maupun untuk pesta adat, pesta pernikahan, kematian, atau pesta memindahkan tulang-belulang leluhur, hampir punah.

Yang menarik dari kasus ini, seperti ditulis oleh George Junus Aditjondro (2006), adalah gerakan ini berbeda dengan kebanyakan perlawanan rakyat pada umumnya. Gerakan perlawanan rakyat menghadapi perusahaan Indorayon selama periode 1983-2000 adalah gerakan yang lahir bukan dari para intelektual kota. Atau juga oleh laki-laki, tetapi petani perempuan.

Keunikan berikutnya adalah gerakan ini menciptakan jaringan solidaritas se-Sumatera Utara—bahkan nasional—untuk mendukung pembebasan kesepuluh inang-inang itu dari penjara. Keunikan terakhir adalah gerakan rakyat di Porsea didukung oleh tokoh-tokoh gereja di Sumatera Utara, terutama Huria Kristen Batak Protestan, gereja Protestan terbesar di Indonesia. 

Mereka memandang dirinya tidak terpisah dari umatnya. Karena itulah, gereja menunjukkan tempatnya dalam masyarakat melalui keberpihakan kepada masyarakat. Selama masa-masa protes massif masyarakat menolak Indorayon, banyak pendeta dan pastor ditahan polisi karena ikut membantu masyarakat. (Matra/Asenk Lee Saragih/Berbagaisumber)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar