Halaman

Senin, 30 Januari 2017

Ketika Semua Berlomba Untuk Memberdayakan Orang Rimba Jambi




Pdt COR Silaban, STh, Kepala Biro Sending HKBP (ketiga dari kiri) dan Anton Panjaitan, tokoh masyarakat (pakai jaket), menyaksikan Kepala Suku SAD, Buyung, meletakkan batu pertama pembangunan rumah tinggal pelayan Sending HKBP dan Sanggar Belajar SAD di Desa Pemayongan, Kabupaten Muaratebo, Provinsi Jambi 13 Juni 2012. Foto kanan Guru P Situmorang, perintis Sanggar Belajar dari Sending HKBP, di antara anak-anak Suku Anak Dalam di Desa Pemayongan, Kabupaten Muaratebo, Provinsi Jambi, Januari 2012.

Oleh: Rosenman Manihuruk

BERITAKU-Keberadaan Suku Anak Dalam (SAD) atau biasa dikenal dengan sebutan Orang Rimba, kini sudah mendunia. Bahkan seluruh elemen masyarakat, lembaga agama, pemerintah dan organisasi massa berlomba-lomba untuk memberdayakan masyarakat SAD dari kebodohan dan ketertinggalan.

Lembaga Gereja Hurian Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) juga ikut berpartisipasi memberdayakan masyarakat SAD di wilayah Provinsi Jambi. Pemberdayaan kedua lembaga Gereja ini dengan Misi mengajarkan menulis, membaca dan berhitung (Calinstung) dan juga soal kesehatan.

Kunjungan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke permukiman SAD di Desa Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi, Jumat (30/10/2015) sore lalu menjadi peneguhan kalau keberadaan SAD harus dilakukan secara manusiawi. Bahkan Jokowi satu-astunya Presiden RI yang kali pertama mengunjungi SAD.

Sementara Film Sokola Rimba yang menceritakan tentang perjuangan Butet (Marsaulina) Manurung (diperankan oleh Prisia Nasution) selama menjadi pengajar bagi masyarakat Suku Anak Dalam yang dikenal dengan sebutan Orang Rimba atau lebih populer dengan sebutan Orang Kubu di pedalaman hutan Bukit Duo Belas, Jambi.

Kisahnya berawal saat Butet hendak pergi mengajar lalu mendadak terkena demam malaria di tengah hutan dan diselamatkan oleh seorang anak Orang Rimba. 

Selanjutnya diketahui anak tersebut bernama Nyungsang Bungo,berasal dari Hilir Sungai Makekal yang jauh dari tempat di mana Butet mengajar yakni di hulu sungai. Bungo ini ternyata diam-diam sering mengintip kegiatan Butet ketika mengajar baca tulis bersama anak-anak Orang Rimba di hulu sungai.

Film Drama Indonesia Sokola Rimba dirilis pada 21 November 2013. Film ini dibintangi oleh Prisia Nasution dan Nyungsang Bungo. Filim Sokola Rimba mendapat Penghargaan Film Terbaik Piala Maya 2013, Pemeran Utama Wanita Terfavorit Indonesian Movie Awards 2014 dan Nominasi Pemeran Anak Terbaik Indonesian Movie Awards 2014. Filim Sokola Rimba Disutradarai oleh Riri Riza, Produser        Mira Lesmana, Pemeran               Prisia, Nasution, Rukman Rosadi, Nadhira Suryadi, Nyungsang Bungo. Distributor   Visi Lintas Films, Durasi 90 menit.

Organisasi yang sudah lama memberdayakan SAD adalah KKI Warsi. Namun seiring perjalanan waktu, lembaga lain juga ikut memberdayakan SAD untuk kebaikan. Butet Manurung adalah salah satu Guru SAD yang berbakti untuk SAD sejak lama.

Melalui Yayasan Sinalsal, GKPS juga memberdayakan SAD di Kabupaten Sarolangun, Merangin empat tahun terakhir ini. Bahkan GKPS menempatkan empat orang tenaga pengajar relawan (Guru) untuk SAD di sana. Bahkan juga ada ditempatkan Pendeta untuk memberdayakan SAD.

Melalui Yayasan Sinalsal, GKPS juga memberdayakan SAD di Kabupaten Sarolangun, Merangin empat tahun terakhir ini. Bahkan GKPS menempatkan empat orang tenaga pengajar relawan (Guru) untuk SAD di sana. Bahkan juga ada ditempatkan Pendeta untuk pemberdayaan mereka.
Sementara Biro Sending Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah membuka sanggar belajar untuk SAD atau komunitas Orang Rimba di Desa Pemayongan, Tebo, Provinsi Jambi sejak tahun 2010 lalu. Program tersebut menorehkan bahwa HKBP juga peduli dengan insan sesama, khususnya suku terpencil di pedalaman Provinsi Jambi.

Pdt Bernat Siagian MTH per
nah mengatakan, peletakan batu pertama pembangunan sanggar belajar itu telah dilakukan oleh Kepala Biro Sending HKBP, Pdt COR Silaban, STh di Desa Pemayongan, Kabupaten Muaratebo, Provinsi Jambi, 13 Juni 2012 lalu.

Acara peletakan batu pertama pembangunan sanggar belajar khusus SAD guna sarana belajar membaca, menulis dan berhitung (Calinstung) Orang Rimba, dihadiri Anton Panjaitan, tokoh masyarakat (pakai jaket) setempat dan Kepala Suku SAD, Buyung.

Pada lokasi yang sama juga dibangun pembangunan rumah tinggal pelayan Sending HKBP dan Sanggar Belajar SAD Tebo. Dirinya juga mengajak yang lain untuk turut serta mendukung dan mendoakan. Karena masih banyak  kebutuhan dan rintangan untuk kelanjutan pelayanan di sanggar belajar tersebut. 

Pada Maret 2013 lalu, saat itu Sekretaris Jenderal (Sekjen) HKBP, Pdt Mori Sihombing MTh didampingi Kepala Departemen Marturia HKBP, Pdt Marolop P Sinaga MTh dan Kepala Biro Sending (PI) HKBP, Pdt. C.O.R Silaban, STh meninjau sanggar belajar Suku Orang Rimba di Desa Pemayongan Tebo, Provinsi Jambi, (15-16/3/2013). Sanggar belajar itu diprakarsai HKBP Distrik XXV Jambi untuk memberdayakan suku Orang Rimba dari keterbelakangan sosial.

Pdt Mori Sihombing MTh mengatakan, di Jambi ada Suku Anak Dalam sudah tertinggal sejak ratusan tahun lalu. “Di Jambi ini ada SAD sejak ratusan tahun silam. Mereka sangat tertinggal dengan etnik lain. Kalau tidak ada yang menyentuh, memperhatikan dan memperjuangkan mereka, maka satu abad lagipun keadaan mereka akan tetap demikian. Justru itulah HKBP terpanggil. Bukan untuk mengkristenkan tetapi mencoba sekuat mungkin, sekecil apapun daya, dana HKBP, tapi HKBP mau menunjukkan kepeduliannya kepada mereka,”katanya.

Disebutkan, HKBP mau mendidik mereka lewat Biro Sending HKBP membuka sanggar belajar untuk SAD atau lebih dikenal dengan komunitas Orang Rimba di Desa Pemayongan, Tebo, Provinsi Jambi.
Program tersebut menorehkan bahwa HKBP juga peduli dengan insan sesama, khususnya suku terpencil di pedalaman Provinsi Jambi. Program pemberdayaan lewat sanggar belajar merupakan langkah awal terhadap komunitas SAD di Provinsi Jambi.

“Jika komunitas SAD itu terpelajar, maka hidup mereka akan berobah. Suatu saat satu atau hingga sepuluh orang SAD ada yang terpelajar, tidak mustahil mereka akan bisa masuk PNS atau pejabat nantinya. Maka etniknya oleh mereka yang terpelajar akan dibawa ke alam yang lebih maju. Sehingga di Indonesia ini tidak ada lagi suku yang tertinggal,”katanya.

Menurut Pdt Mori Sihombing MTh, SAD juga adalah warga Indonesia yang serupa haknya dengan etnik lain dan mereka juga merupakan anak bangsa asset dari Negara tercinta ini.

“Itu sebabnya HKBP bukan konteks penginjilan untuk mengkristenkan, tapi mission empower atau misi untuk memberdayakan mereka. Supaya mereka menjadi orang-orang terpelajar dan terhormat suatu saat. Nanti kalau mereka memutuskan mau masuk agama Kristen abtudate, dan mereka memutuskan masuk agama Islam itupun keputusan meraka jika mereka sudah terpelajar,”katanya.

Disebutkan, memang sudah banyak pihak-pihak yang memberdayakan SAD seperti Warsi dan bahkan dari Luar Negeri. Namun HKBP ingin berbuat untuk SAD semampu HKBP.

“Butet (Marsaulina) Manurung itu terkenal, dan beliau sudah meninggalkan SAD mungkin ada tugas yang lain yang sama. Kita sangat hormat dengan Butet Manurung. HKBP bukan mau menjadi seperti Butet Manurung, tidak sama sekali. Tapi HKBP ingin berbuat. Maka itu sebabnya ada mimpi kami saat ini, bagaiman agar SAD menjadi orang terpelajar. HKBP dengan sekuat tenaganya akan mencoba untuk membangun Sekolah Dasar di  komunitas SAD di Desa Pemayongan Tebo,”kata Pdt Mori Sihombing MTh.

Guru-guru akan dikirim oleh HKBP. Kelanjutannya juga tergantung kesediaan Pemerintah Kabupaten Tebo dan Pemerintah Provinsi Jambi. “Nanti kalau ada koordinasi kerjasama selama 6 tahun mereka SD, SAD bisa ditompangkan mengikuti ujian di SD yang lain, walaupun mereka sekolah di hutan-hutan. Nanti kalau ada SAD yang cerdas bisa lanjut ke SMP, SMA, Perguruan Tinggi. Itu hitungannya hanya 16 tahun yang akan datang,”katanya.

Pdt Mori Sihombing MTh juga membantah kalau ada pihak yang menilai kalau HKBP ingin mengkristenkan SAD di Jambi. “Itu tidak benar, HKBP pemberdayaan pendidikan formal dan non formal agar SAD terpelajar dan bisa hidup lebih maju kelak,”katanya.

Sementara Kepala Biro Sending HKBP, Pdt. COR Silaban, STh mengatakan, peletakan batu pertama pembangunan sanggar belajar itu telah dilakukan Biro Sending HKBP di Desa Pemayongan, Kabupaten Muaratebo, Provinsi Jambi, 13 Juni 2012 lalu.

Pdt. COR Silaban, STh juga mengucapkan apresiasi kepada Pdt Bernat Siagian MTh (kini melayani di Jaya Pura) yang berjuang merintis  sanggar belajar Suku Orang Rimba di Desa Pemayongan Tebo.

Masuk Agama Islam

Dalam hal religius, SAD diberikan kebebasan untuk memilih sendiri Agamanya. Tidak ada unsur pemaksaan soal keyakinan kepada SAD selama ini. Sebanyak 404 warga Suku Anak Dalam (SAD) atau Orang Rimba Jambi yang berada di pedalaman Provinsi Jambi masuk Agama Islam.

Syaratnya mereka mengucapkan Ikrar dua kalimat Syahadat yang akan berlangsung di Balai Adat Tanah Pilih Pusako Batuah Kota Jambi, Senin (30/1/2017). Pengucapan  ikrar dua kalimat Syahadat itu akan dipimpin Walikota Jambi Syarif Fasha dan Ustad Syekh Ali Jaber.

Jumlah warga SAD yang bersama-sama akan masuk Islam terdiri dari 124 laki-laki dewasa, 114 wanita dewasa. Sementara sisanya anak-anak usia 7 - 12 tahun yang terdiri dari 90 orang anak laki-laki dan 76 orang anak wanita.

Kata Wali Kota Jambi H Syarif Fasha awalnya ia mendapat informasi dari Lembaga Adat Kota Jambi. Selaku Pemangku Adat, dirinya menyatakan kesanggupannya untuk memfasilitasi kegiatan itu secara pribadi sesuai dengan aturan agama dan perundang-undangan yang berlaku. Fasha juga minta agar kegiatan itu dikerjasamakan dengan pihak-pihak terkait lainnya.

Masih Terpinggirkan


Aktifitas Orang Rimba di Bukit 12, Kabupaten Batanghari Jambi.
Orang Rimba Jambi hingga kini masih mempertahankan tradisi yang diturunkan nenek moyang mereka. Mereka tinggal di Taman Nasional Bukit 12 Provinsi Jambi, namun kini keberadaannya dikabarkan semakin terpinggirkan akibat perambahan habitat mereka oleh perkebunan skala besar.

Dalam hidup berkelompok, Orang Rimba memiliki aturan adat. Kendati demikian, mereka juga bisa berbaur dengan masyarakat umum dan yang di luar suku. Tetapi, sekarang keberadaan mereka tampak terpinggirkan. Terlebih lagi saat adanya perubahan status wilayah Bukit 12 menjadi Taman Nasional pada 2000.

Pemerhati Suku Anak Dalam Bukit 12, Willy Marlupi, mengatakan, saat ini ada beberapa permasalahan yang melingkari kehidupan Suku Anak Dalam. Salah satunya adalah belum diakomodasikannya kehidupan mereka yang memiliki kebudayaan dan adat istiadat dalam mempertahankan hidup.

“Dalam bertahan hidup di Bukit 12, mereka terbiasa untuk berburu dan berladang. Namun sejak dijadikan Taman Nasional, mereka tidak tampak tidak punya pilihan selain keluar. Ini merupakan pengusiran secara halus," ujarnya.

Kata Willy, pemerintahan harus mencari akar permasalahan tersebut. Misalnya, memberikan hunian, namun bukan sekadar tempat tinggal. Di lokasi itu mesti ada sarana bagi mereka dalam bertahan hidup sesuai adat istiadat yang sudah diwariskan oleh nenek moyang seperti berladang dan berburu.

“Saat ini terjadi benturan antara aturan dengan kultur Orang Rimba dan ini harus segera diakomodasi. Jangan sampai pembangunan hunian yang dibangun oleh pemerintah di lima titik menjadi mubazir karena tidak ditempati mereka karena tidak adanya sarana bagi mereka untuk bertahan hidup seperti berladang dan berburu," kata Willy.

SAD  Dalam Belajar


Pemerhati Suku Anak Dalam Bukit 12, Willy Marlupi berswafoto dengan SAD di Kota Jambi, Sabtu 29 Januari 2017.
Samiaji Sapto Wibowo, guru asal Bandung sejak 2015 mengajar anak-anak di Suku Anak Dalam, Jambi. Tak mudah baginya untuk mengajar anak-anak di sana. Pada awal kedatanganya, dia mengaku stres dan bingung bagaimana cara agar anak-anak tersebut mau belajar.

Menurutnya, anak-anak setempat kesulitan mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah formal. Selain karena tak terbiasa duduk diam di kursi, warga sekolah juga kerap memandang mereka sebelah mata.

“Mereka tidak bisa masuk sekolah formal. Alasannya karena banyak masyarakat sekitar yang membully mereka. Saat masuk, masyarakat transmigrasi banyak yang membully. Batin Suku Anak Dalam enggak terima. Mereka diperlakukan seperti anak yang sangat bodoh," ujar dia.

Atas dasar itu, anak-anak Suku Anak Dalam memilih tak memasuki sekolah formal. Di samping memang, masalah pendidikan belum menjadi prioritas kebutuhan mereka seperti pangan.

Sebelum kegiatan belajar dimulai, anak-anak yang terbagi dalam dua kelompok yakni Taman Kanak-kanak (usia 3-6 tahun) dan paket A (6 tahun ke atas) mendapatkan sarapan sekira pukul 07.00 WIB.

“Meningkatkan minat belajar mereka ibarat kerja keras. Kebutuhan dasar mereka itu bagaimana perut kenyang. Salah satu alternatifnya, saya setiap hari memberi makan anak-anak. Agar mereka bisa terima materi, saya harus penuhi perut mereka," jelas Aji.

Setelah itu, mereka yang belum bisa mandi sendiri, dimandikan dan diberi seragam layaknya anak-anak yang belajar di sekolah formal. Aji mengaku tak mengikuti kurikulum yang diterapkan pemerintah, namun lebih menyesuaikan pada kebutuhan anak-anak di sana.

“Proses belajar, anak-anak bisa sambil tiduran, asal mereka fokus belajar. Ada meja tetapi tidak ada kursi. Karena mereka tidak nyaman, tidak terbiasa. Sekolah harus dibuat nyaman untuk mereka. Saya pernah masukan anak-anak di sekolah formal, mereka enggak bisa duduk diam," kata dia.

Inovasi Aji berbuah manis. Selain membuat anak-anak setempat mau belajar dan perlahan memahami cara membaca, menulis dan berhitung, dia berhasil mendulang rezeki. Belum lama ini sebuah perusahaan yang memfokuskan salah satu program CSR-nya pada pendidikan mengganjar inovasi Aji dengan penghargaan untuk kategori Inovasi Karya Guru dan uang sebesar Rp15 juta.

Gandeng Kampus

Bantuan hunian tetap (huntap) kepada SAD yang ditinggalkan warga SAD di Desa Muara Kilis, Tengah Ilir Program Dinas KSPM Provinsi Jambi Tahun 2008.
Sementara Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa saat melakukan kunjungan kerja ke Jambi mengatakan bahwa berbagai intervensi pemerintah disiapkan untuk mengatasi berbagai permasalah terkait Suku Anak Dalam. Di antaranya, memberi tawaran hidup menetap dengan memberikan bantuan hunian tetap (huntap).

Hal itu disebutkan Sosial Khofifah Indar Parawansa disela-sela Peluncuran Layanan e-Warong Kelompok Usaha Bersama (Kube)-PKH Koperasi Masyarakat Indonesia Sejahtera dan Peluncuran Bantuan Sosial Non Tunai Program Keluarga Harapan (PKH) oleh Menteri Sosial Republik Indonesia, Khofifah Indar Parawansa bertempat di Griya Mayang Mangurai Rumah Dinas Walikota Jambi, Jumat (27/1/2017) siang lalu.

Disebutkan, terkait penyediaan tanah komunal segera dikoordinasikan dengan pihak terkait, yaitu Kementerian Agraria dan Kementerian Kehutanan. Selain itu, berdasarkan peraturan presiden akhir tahun lalu, pemberdayan KAT di kabupten penanggungjawabanya bupati, di provinsi gubernur, dan di pusat menteri sosial.

“Kami berharap mereka berkenan berintegarasi secara sosial, sebab dalam pertemuan di KAT di Kabupaten Meranti, Riau, ada perwakilan Suku Anak Dalam yang menyatakan siap menerima huntap,” tandasnya. 

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa juga mengungkapkan, pihaknya akan menggandeng kampus-kampus agar program pemenuhan kesejahteraan terhadap masyarakat adat terpencil terealisasi dengan baik. Salah satunya kepada masyarakat Suku Anak Dalam.

Dia mengatakan, pihak kampus dan juga kampus yang ada di Provinsi Jambi juga bisa dilibatkan untuk membangun persektif yang lebih baik antara masyarakat sekitar dengan Suku Anak Dalam.

“Pendampingan untuk membangun perspektif dari masyarakat setempat terhadap Suku Anak Dalam harus terbangun, ini loh saudara mereka. Sementara untuk membangun perspektif baru terhadap masyarakat, kita membutuhkan waktu dan perlu dilakukan secara terus menerus. Maka dari itu, keterlibatan pihak kampus menjadi hal yang cukup utama,” katanya.

“Makanya pendampingan menjadi penting. Mudah-mudahan, ini kami mendapatkan tim dari kampus. Saya menyebut kampus karena ada tim KKN (Kuliah Kerja Nyata). Kalau KKN di situ terus bersambung-sambung," ungkapnya.

Selama ini, kata Mensos, pendamping itu orang setempat. Maka dari itu, lanjut dia, pihaknya meminta dewan pakar karena mereka semua orang kampus.

Khofifah Indar Parawansa menambahkan, pemenuhan kesejahteraan terhadap masyarakat adat terpencil berdasarkan Perpres 186 Tahun 2014 tentang pemberdayaan sosial terhadap komunitas adat terpencil. Perpres itu kemudian diturunkan dalam Permensos Nomor 12 Tahun 2015 tentang pelaksanaan Perpres 186 Tahun 2014. (Berbagai Sumber/ Penulis Redpel Jambipos Online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar