Halaman

Rabu, 20 Mei 2015

BI Rate Tetap 7,50% Kebijakan Makroprudensial Dilonggarkan


JAMBI-Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 19 Mei 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku bunga Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%. Keputusan tersebut sejalan dengan stance kebijakan moneter yang cenderung ketat untuk menjaga agar inflasi berada dalam sasaran 4±1% pada 2015 dan 2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat dalam kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah.

Sementara itu, untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia melonggarkan kebijakan makroprudensial melalui revisi ketentuan GWM-LDR, ketentuan LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). Bank Indonesia juga terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah tidak saja dalam mengendalikan inflasi dan defisit transaksi berjalan, tetapi juga dalam mempercepat stimulus fiskal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Demikian diterangkan Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI, Tirta Segara. Menurutnya, untuk itu, Bank Indonesia mendukung upaya Pemerintah untuk mempercepat realisasi proyek-proyek infrastruktur dan melanjutkan berbagai kebijakan struktural untuk menumbuhkan optimisme pelaku ekonomi terhadap perbaikan prospek ekonomi Indonesia.


Pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan risiko di pasar keuangan global yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak secepat perkiraan semula seiring lebih rendahnya prakiraan pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok. Prakiraan ekonomi AS tersebut didorong oleh melambatnya kegiatan produksi, terutama akibat menurunnya permintaan eksternal sejalan dengan penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia.

Perkembangan ini telah mendorong berlanjutnya ketidakppastian waktu dan besarnya kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) di AS dan tekanan pembalikan modal portfolio dari emerging markets. Perlambatan ekonomi juga dialami Tiongkok yang ditandai oleh terus melemahnya sektor perumahan dan sektor produksi manufaktur, walaupun berbagai kebijakan pelonggaran telah dilakukan untuk menahan perlambatan ekonomi.

Sebaliknya, perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik ditopang pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta dampak penurunan harga minyak. Perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga komoditas internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia mulai kembali mengalami kenaikan.

Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 melambat, namun diperkirakan akan membaik pada triwulan-triwulan mendatang. Pertumbuhan pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 4,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,0% (yoy). Hal ini terutama didorong lemahnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik terutama konsumsi pemerintah dan investasi pada sektor bangunan.

Belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru serta masih terbatasnya belanja modal terkait dengan implementasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah mengakibatkan lemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi bangunan. Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I 2015 terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil komoditas sumber daya alam.

Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik terutama pada semester II-2015, didukung oleh meningkatnya konsumsi dan investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi pengeluaran fiskal oleh pemerintah serta meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan.

Ke depan, percepatan realisasi belanja Pemerintah baik di kementrian/lembaga dan untuk implementasi proyek-proyek infrastruktur menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 2015.

Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2015 mencatat surplus, terutama ditopang oleh menurunnya defisit transaksi berjalan. Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 3,8 miliar dolar AS (1,8% PDB) pada triwulan I 2015, lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS (2,6% PDB) dan triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,1 miliar dolar AS (1,9% PDB).

Peningkatan kinerja transaksi berjalan terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan migas, seiring dengan menyusutnya impor minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah dan turunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai implikasi positif dari reformasi subsidi energi.

Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia pada April 2015 menunjukkan perkembangan yang positif dengan mencatat surplus sebesar 0,45 miliar dolar AS, ditopang oleh kenaikan surplus neraca nonmigas. Di sisi lain, transaksi modal dan finansial tetap mencatat surplus triwulan I 2015, di tengah meningkatnya ketidakpastian di pasar keuangan global.

Surplus transaksi modal dan finansial tersebut terutama ditopang oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio dan investasi langsung. Dengan perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir April 2015 tercatat sebesar 110,9 miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko peningkatan defisit transaksi berjalan seiring kenaikan impor menjelang lebaran, serta pola musiman pembayaran Utang Luar Negeri dan dividen.
Nilai tukar rupiah mengalami tekanan seiring penguatan dolar AS terhadap hampir semua mata uang. Pada triwulan I 2015, rupiah secara rata-rata melemah sebesar 4,4% (qtq) ke level Rp12.807 per dolar AS.

Penguatan dolar AS yang terjadi terhadap mayoritas mata uang dunia ditopang oleh ekonomi AS yang membaik dan kebijakan QE ECB. Namun, rupiah kembali menguat di bulan April 2015 sejalan dengan koreksi dolar AS dan persepsi risiko perekonomian domestik yang membaik. Rupiah secara rata-rata menguat 0,95% (mtm) ke level Rp12.944 per dolar AS.

Ke depan, Bank Indonesia terus menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga dapat mendukung stabilitas makroekonomi yang terjaga dan penyesuaian ekonomi ke arah yang lebih sehat dan berkesinambungan.

Inflasi pada April 2015 tetap terkendali dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2015 yakni 4,0±1%. Inflasi IHK bulan April 2015 tercatat sebesar 0,36% (mtm) atau 6,79% (yoy), meningkat dari 0,17% (mtm) dan 6,38% (yoy) di bulan sebelumnya. Peningkatan tekanan inflasi bersumber dari kenaikan kelompok barang dan jasa yang harganya diatur Pemerintah (administered prices), sementara tekanan inflasi yang bersumber dari kelompok inti dan bahan makanan bergejolak (volatile food) relatif masih terjaga.

Peningkatan inflasi administered prices terutama didorong oleh kenaikan harga bensin premium dan bensin solar di akhir bulan Maret 2015, tarif angkutan dalam kota, serta bahan bakar rumah tangga. Sementara itu, kelompok volatile food secara bulanan masih mencatat deflasi seiring dengan masa panen.

Di sisi lain, inflasi inti relatif terjaga dan tercatat sebesar 0,24% (mtm) atau 5,04% (yoy), seiring dengan permintaan domestik yang masih moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali. Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati berbagai faktor risiko yang memengaruhi inflasi, khususnya terkait dengan perkembangan harga minyak dunia, penyesuaian administered prices, serta faktor musiman menjelang Ramadhan dan lebaran.

Stabilitas sistem keuangan tetap solid ditopang oleh ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan. Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat.

Pada Maret 2015, rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 20,7%, jauh di atas ketentuan minimum 8%. Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah dan stabil di kisaran 2,4% (gross). Kondisi likuiditas cukup memadai sebagaimana tercermin pada pertumbuhan DPK pada Maret 2015 tercatat sebesar 16,0% (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya sebesar 15,2% (yoy). Sementara itu, pertumbuhan kredit masih rendah yaitu tercatat 11,3% (yoy), menurun dari bulan sebelumnya sebesar 12,2% (yoy).

Ke depan, Bank Indonesia meyakini pertumbuhan kredit akan meningkat dan diperkirakan dapat mendekati kisaran 15%-17% didukung oleh cukup memadainya kondisi likuiditas perbankan, meningkatnya aktivitas ekonomi sejalan dengan ekspansi keuangan Pemerintah, serta pelonggaran kebijakan makroprudensial. Bank Indonesia segera merevisi ketentuan GWM-LDR dan berkoordinasi dengan OJK melakukan revisi ketentuan LTV untuk Kredit Kepemilikan Rumah (KPR), serta ketentuan pembayaran uang muka (down payment) untuk Kredit Kendaraan Bermotor (KKB). (Lee)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar