TNKS |
Jambi- Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (Sporch) mengapresiasi
masyarakat Desa Lempur Lekuk 50 Tumbi, Kabupaten Kerinci yang berupaya mengejar
dan menangkap perambah hutan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Perambahan itu dilakukan oleh pendatang dari beberapa provinsi
tetangga di sebelah selatan Jambi yang mulai melakukan ekspansi ke hutan TNKS
di Kabupaten kerinci.
“Kita sangat menghargai tingginya tingkat kesadaran
lingkungan dan pentingnya menjaga kelestarian hutan seperti yang ditunjukkan
tokoh adat, masyarakat dan pemuda Desa Lempur Lekuk 50 Tumbi yang mengejar
perambah," kata Komandan Spoch Brigade Harimau Jambi-Sumbar Irvan di
Jambi, Rabu (17/12).
Ia mengharapkan kesadaran lingkungan yang menjadi sikap dan
gaya hidup masyarakat Desa Lempur itu juga tumbuh berkembang di desa-desa
lainnya di sekitar TNKS.
Dengan demikian kasus konflik lingkungan, sosial, ekonomi
dan budaya seperti yang terjadi di Sungai Tebal Kecamatan Lembah Masurai dan
Jangkat Kabupaten Merangin sekarang ini tidak akan pernah terjadi dan berkembang.
“Tapi sayangnya masyarakat Jangkat dan Masurai Merangin
sangat berbeda kulturnya dengan masyarakat Lempur Kerinci yang hingga kini
masih memegang teguh adat istiadatnya, ditambah kesadaran lingkungan akan arti
pentingnya melestarikan hutan yang terus tumbuh di dalam sanubari masyarakat
Lempur," katanya.
Ia menilai di masyarakat Jangkat dan Masurai Kabupaten
Merangin, keberadaan adat dan hukum-hukumnya itu sudah terkikis dan hilang
akibat tergerus dan tenggelam dalam gaya hidup baru dan pola pikir masyarakat
hedonis yang hanya memikirkan dirinya sendiri.
Kasus pencegatan dan penangkapan terhadap kelompok perambah
dari selatan di hutan TNKS dekat Desa Lempur itu terjadi pada September 2014
atas 11 perambah pendatang dari selatan.
Setelah ditangkap, selanjutnya para perambah itu dihukum
secara adat, sehingga sejak kejadian itu para perambah selatan itu jera dan
tidak pernah berani kembali lagi ke Kerinci, kata Ivan.
Ia mencontohkan, saat ini ada satu desa tradisional lain
yang berada di tengah kawasan inti TNKS di Madras, yakni Desa Koto Rawang yang
juga masih memelihara dan berpegang teguh pada adat dan tradisinya dalam
mempertahankan keberadaan kehidupannya.
Sama seperti Desa Lempur di Kerinci, masyarakat Koto Rawang
yang hanya sebuah desa tradisional kecil terisolir dengan jumlahnya 200-an jiwa
ternyata ampuh menjaga kelestarian hutan TNKS yang ada di sekitarnya, sekalipun
ada desakan dari masyarakat perambah yang terus mencoba membujuk mereka agar
dapat kesempatan mengolah lahan di desa mereka.
“Hingga saat ini, Desa Koto Rawang justeru tampil ke depan menjadi pagar dan benteng utama bagi TNKS dengan kuatnya hukum adat yang meraka anut dalam mencegah masuknya orang luar berbaur ke dalam komunitas mereka," katanya.
“Hingga saat ini, Desa Koto Rawang justeru tampil ke depan menjadi pagar dan benteng utama bagi TNKS dengan kuatnya hukum adat yang meraka anut dalam mencegah masuknya orang luar berbaur ke dalam komunitas mereka," katanya.
Kelompok perambah dari selatan itu datang dengan berbagai
cara termasuk dengan cara menikahi warga, sehingga mereka diterima dan mendapat
hak untuk bergerak merambah hutan yang telah dijaga selama ratusan tahun secara
turun temurun oleh masyarakat adat tersebut.
Ditegaskannya, ancaman terhadap perambahan TNKS oleh kelompok perambah dari selatan yang merupakan warga eksodus dari tiga provinsi tetangga Jambi seperti Bengkulu, Lampung dan Sumsel, saat ini terus meningkat menyusul semakin tak terkendalinya jumlah warga pendatang yang eksodus ke Merangin pascakedatangan kelompok awal mereka yang hanya beberapa orang pada 2006.
Ditegaskannya, ancaman terhadap perambahan TNKS oleh kelompok perambah dari selatan yang merupakan warga eksodus dari tiga provinsi tetangga Jambi seperti Bengkulu, Lampung dan Sumsel, saat ini terus meningkat menyusul semakin tak terkendalinya jumlah warga pendatang yang eksodus ke Merangin pascakedatangan kelompok awal mereka yang hanya beberapa orang pada 2006.
“Saat ini kelompok para perambah ini jumlahnya sudah
mencapai 3.000 jiwa, jauh lebih banyak dari penduduk asli yang tidak sampai
2.000 jiwa sehingga kini putra daerah ini menjadi minoritas yang tak kuasa
menyikapi prilaku perambah yang semakin berani masuk ke kawasan hutan
TNKS," katanya.
Akibatnya, saat ini sedikitnya sudah 20 persen atau sekitar
200 hektare hutan TNKS di kawasan Jangkat dan Lembah Masurai telah dibabat perambah
dalam kurun waktu cuma satu tahun, padahal di tahun-tahun sebelumnya mereka
sudah menghabiskan hutan-hutan HP dan HPH hingga seluas 6.000 hektare.
Jumlah ini akan terus bertambah hingga akhirnya seluruh
hutan TNKS yang luas seluruhya mencapai 1,4 juta hektare ini akan habis jika
penanganan serius dan komprehensif terhadp kelompok perambah ini tidak
ditangani dengan tepat oleh pemerintah.
Bahkan, saja masalah lingkungan yang muncul tapi juga
merembet ke masalah-masalah lainnya seperti masalah sosial, kriminal, ekonomi
dan budaya.
“Karena itu, kesadaran masyarakat perlu direvitalisasi atau
ditumbuhkan lagi dengan mengembalikan mereka kepada adat istiadatnya yang telah
terbukti ampuh seperti halnya yang telah ditunjukkan masyarakat Lempur Lekuk 50
Tumbi dan masyarakat Koto Rawang itu," kata Irvan.(ant/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar