SIDANG DPR RI |
Sehari sebelum Pemilu, revisi undang-undang MD3 disahkan oleh DPR. Apapun partainya, siapapun kandidat presidennya, ini 10 alasan untuk menolak revisi tersebut:
1.
DPR menghapus kewajiban fraksi melakukan evaluasi kinerja (anggotanya)
dan melaporkan kepada publik #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
2. DPR tdk wajib lg lapor pengelolaan anggaran keuangan pada publik di lap kinerja tahunan #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
3. DPR (masih) mempertahankan rapat2nya berlangsung tertutup #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
4. Kewenangan MPR ditingkatkan - dan anggaran bengkak mainly untuk kepentingan sosialisasi #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
5.
Mekanisme Pemilihan Pimpinan DPR yang tidak konsisten (Pasal 84) dan
melanggar prinsip keterwakilan #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
6. Dihapusnya ketentuan Keterwakilan Perempuan padahal jumlahnya di DPR turun terus #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
7a. Proses penyidikan DPR untuk pidana (tertentu) perlu persetujuan Mahkamah Kehormatan #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
7b. Pdhl Mahkamah Kehormatan anggota DPR juga - ga independen & konflik kepentingan #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
8. Butuh 30 hari izin utk menyidik DPR - bisa dipake utk menghilangkan bukti ato lari #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
9. Hilangnya Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dalam alat kelengkapan DPR #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
10. DPR bs usul program “pembangunan dapil' tanpa penjelasan yg transparan dan akuntabel #10AlasanTolak #RevisiUUMD3
Untuk informasi lebih lanjut, kamu bisa baca petisinya. Kalau setuju, langsung tanda-tangani dan sebar ya!
Melany Tedja
Dimalam
sebelum PEMILU, saat kita semua sedang menanti-nanti hari dimana kita
sebagai rakyat punya hak untuk ber-SUARA dan menentukan nasib bangsa,
sebagian besar anggota DPR RI telah bersepakat untuk mengubah
Undang-Undang yang menjadi dasar berdemokrasi dan prinsip keterwakilan
rakyat di DPR RI.
Berdasarkan
analisa dari beberapa dokumen dan pemberitaan media yang tersedia
secara publik (sampai dengan 10 Juli 2014), revisi atas Undang-Undang
MD3 No. 27 Tahun 2009, memiliki 4 poin penting:
1.
Mengubah ketentuan kuorum dalam hak untuk menyatakan pendapat dari 3/4
menjadi 2/3. (Menurut pernyataan Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3
Mei 2014, tetapi tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi
Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
2.
Anggota DPR tidak bisa dipanggil untuk diperiksa untuk penyidikan
tindak pidana (termasuk kasus korupsi) tanpa izin Presiden. (Menurut
pernyataan dalam Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014;
Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU MD3 di Kompas 6 Juli
2014 dan Berita Satu 8 Juli 2014, tetapi tidak ditemukan dalam Naskah
terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10 Juli 2014.)
3.
Wakil partai yang menjadi pemenang suara terbanyak tidak lagi otomatis
menjadi Ketua DPR, melainkan akan dipilih dengan suara terbanyak
berdasarkan paket yang bersifat tetap. (Menurut pemberitaan di perbagai
media nasional, dan menurut Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3
versi 10 Juli 2014.)
4.
Dihapusnya ketentuan yang menekankan pentingnya keterwakilan perempuan,
khususnya terkait dengan Alat Kelengkapan DPR (AKD). (Menurut
pernyataan Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 Mei 2014, dan betul
tidak ditemukan dalam Naskah terbaru Revisi Undang-Undang MD3 versi 10
Juli 2014.)
Berdasarkan Naskah terbaru dari Revisi Undang-Undang MD3 yang di-upload pagi ini (11 Juli 2014) di situs http://parlemen.net, tampaknya poin
1 dan 2 tidak lagi tercantum dalam naskah yang disahkan oleh Sidang
Paripurna DPR. Pun begitu, poin ke 3 dan 4 tetap menjadi masalah karena
melanggar prinsip keterwakilan rakyat di DPR RI.
Apa akibatnya:
DPR mengganti Ketentuan yang mengatur Keterwakilan rakyat di posisi Pimpinan DPR RI setelah kita memilih dalam Pileg 2014. Kenapa?
Karena rakyat memilih partai di pemilihan legislatif, dengan dasar UU
MD3 versi sebelum direvisi - dimana rakyat mengasumsikan bahwa wakil
dari partai pemenanglah yang akan menjabat Ketua DPR dan posisi pimpinan
DPR lainnya. Prinsip keterwakilan ini sudah pernah dimenangkan di
Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011 karena sejalan dengan Pasal 27 ayat
(1) UUD 1945 yang mempersamakan kedudukan semua warga negara sehingga
penentuan komposisi kepemimpinan DPR/DPRD secara proporsional
berdasarkan urutan perolehan kursi masing-masing Parpol peserta Pemilu
di seluruh Indonesia maupun daerah yang bersangkutan. Prinsip
keterwakilan ini adalah ketentuan yang adil, karena perolehan peringkat
kursi juga menunjukkan konfigurasi peringkat pilihan rakyat Indonesia.
Revisi
UU MD3 justru mengubah prinsip keterwakilan rakyat ini dengan
menggunakan musyawarah mufakat yang bila tidak terpenuhi, dilakukan
dengan sistem voting berdasarkan paket yang bersifat tetap. Hal ini,
malah memperbesar peluang politik transaksional yang selama ini kita
lawan.
Karena
hilangnya prinsip keterwakilan di atas, akibat berikutnya adalah
semakin sempitnya peran perempuan di posisi strategis di DPR. Sebagai
catatan, dengan adanya ketentuan mengenai kewajiban keterwakilan
perempuan, maka perempuan dapat melawan stigma dan diskriminasi di
kehidupan bermasyarakat dan mendapatkan tempat yang strategis di Alat
Kelengkapan DPR (AKD). Revisi UU MD3 justru menghapus ketentuan ini
sebagai akibat dari hilangnya prinsip keterwakilan, dan ini berarti
mengurangi keterwakilan dan peranan perempuan dalam proses politik di
parlemen.
Dengan
sistem yang diatur dalam Revisi UU MD3 ini, suara rakyat menjadi tidak
berpengaruh dalam keterwakilan dalam komposisi kepemimpinan DPR hingga
ke level AKD yang sangat mempengaruhi proses pengambilan keputusan di
DPR RI. Suara kita rakyat biasa yang sudah memilih pada Pileg 2014 tidak
lagi ada harganya.
Betapa
cerdiknya mereka yang mengajukan Revisi UU MD3 secara diam-diam tanpa
pengawasan dari rakyat, karena di saat yang bersamaan media sedang
disibukkan dengan pembahasan PEMILU. Revisi UU MD3 ini terkesan
dipaksakan untuk disahkan oleh DPR RI lewat Sidang Paripurna pada malam
menjelang Pilpres 2014 (8 Juli 2014). Fraksi PDIP, PKB dan Hanura telah
bersuara dan meminta penundaan pengesahan UU ini sampai setelah Pilpres
2014 berlangsung agar dapat mempelajari lebih dalam - namun permintaan
ini ditolak. Sebagian besar kelompok elit di DPR RI tetap memaksakan
diri untuk mengesahkan Revisi UU MD3, walaupun Fraksi PDIP, PKB dan
Hanura memutuskan untuk melakukan walk-out.
MAKA DARI ITU:
1.
Kami tidak bisa menerima jika ada kelompok elit di DPR RI yang
memaksakan dan secara tidak transparan mengganti Undang-Undang yang
begitu krusial bagi prinsip keterwakilan dan demokrasi di Indonesia
seakan hanya untuk mempermudah jalan mereka dalam mengontrol kekuasaan
di DPR RI – rakyat dalam hal ini, seolah tidak lagi punya suara.
2.
Kami tidak bisa menerima jika sebagian besar rakyat Indonesia tidak
diberitahu adanya masalah sebesar ini - padahal ini terjadi di masa-masa
di mana kampanye berlangsung dan wakil rakyat seharusnya aktif bicara
pada rakyat soal masalah ini.
3.
Kami menolak jika hanya dilibatkan saat wakil rakyat mau dipilih lewat
Pileg 2014, tapi tidak dilibatkan saat ada perubahan dalam prinsip
keterwakilan dan demokrasi yang mendasar dan strategis seperti Revisi UU
MD3 ini.
4.
Kami menginginkan wakil-wakil rakyat yang menghargai suara rakyat yang
memilihnya, bukan wakil rakyat yang tidak menghargai suara rakyat yang
memilihnya.
5.
Sebagai perwakilan masyarakat sipil, kami meminta kepada Fraksi dan
Pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi dan Pimpinan
Partai Kebangkitan Bangsa, Fraksi dan Pimpinan Partai Hanura, dan
Pimpinan Partai Nasdem untuk berkonsolidasi dan memperjuangkan penolakan
atas Revisi UU MD3 melalui judicial review di Mahkamah Konsititusi.
Kita
tidak bisa berhenti bersuara hanya karena Pemilu Legislatif dan
Presiden 2014 sudah kita lewati. Kita tidak bisa lagi bersikap acuh tak
acuh pada politik. Sudah saatnya kita membuka mata dan turun tangan
dalam mengawal Indonesia.
Demokrasi
bukan hanya pesta yang dilakukan 5 tahun sekali. Demokrasi harus dijaga
setiap saat. Kembali ke Orde Baru bukan pilihan buat kita semua.
Menatap ke depan dengan prinsip keterwakilan dan demokrasi yang sehat
lah yang seharusnya menjadi masa depan kita.
Tunjukkan kalau rakyat siap untuk terus mengawasi politik yang terjadi di negeri ini!
-----
Sumber berita untuk analisa diatas:
Naskah Dengar Pendapat Revisi UU MD3 versi Mei 2014 2014: http://parlemen.net/ sites/default/files/dokumen/ Naskah%20Kapolri%20RDPU% 20Pansus%20RUU%20MD3% 2019Mei14.pdf
Naskah terbaru dari Revisi UU MD3 versi 10 Juli 2014 -- http://www.parlemen.net/ articles/2014/07/11/naskah- rancangan-undang-undang- tentang-mpr-dpr-dpd-dan-dprd- berdasarkan
Tanggapan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Revisi UU MD3 di Berita Satu 8 Juli dan Kompas 6 Juli: http://www.beritasatu. com/nasional/195457- diskriminatif-pembahasan-ruu- md3-dianggap-layak-dihentikan. html dan http://nasional. kompas.com/read/2014/07/06/ 15292091/Revisi.UU.MD3. Dinilai.Persulit.Anggota.DPR. Disentuh.Hukum
Rencana PDIP Mengajukan Revisi UU MD3 untuk Judicial Review
Foto
diambil dari detikNews 8 Juli 2014 dengan artikel berjudul "Partai
Pengusung Prabowo-Hatta Deklarasi Pembentukan Koalisi Permanen"
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar