Halaman

Selasa, 22 Juli 2014

Dari Tukang Mebel Menuju Istana Negara

Jokowi saat konser Dua Jari di Gelora Bung Karno. [Google]
Jokowi saat konser Dua Jari di Gelora Bung Karno. [Google]

Mencari profil Joko Widodo di internet tidaklah susah. Sekali Anda mengklik kata “profil Jokowi,”  dalam hitungan 0,25 detik muncul sekitar 2.400.000 link yang membahas tentang kisah hidup Jokowi.   

Dari jutaan link tersebut, ada satu tulisan yang menarik yakni dari terdapat pada link https://www.facebook.com/joko.widodo.presiden.republik.indonesia/posts/493130327379382   

Di sini diceritakan secara detail tentang masa kecil Jokowi hingga menjadi Gubernur DKI Jakarta. Diceritakan, masa kecil Jokowi bukanlah orang yang berkecukupan, bukanlah orang kaya.   

Ia anak tukang kayu, nama bapaknya Noto Mihardjo, hidupnya amat prihatin. Dia besar di sekitar Bantaran Sungai. Ia tahu bagaimana menjadi orang miskin dalam artian yang sebenarnya.   

Bapaknya penjual kayu di pinggir jalan, sering juga menggotong kayu gergajian. Ia sering ke pasar, pasar tradisional dan berdagang apa saja waktu kecil.
  

Ia melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana pedagang dikejar-kejar aparat, diusiri tanpa rasa kemanusiaan, pedagang ketakutan untuk berdagang. Ia prihatin, ia merasa sedih kenapa kota tak ramah pada manusia.   

Sewaktu SD, Jokowi kecil  berdagang apa saja untuk dikumpulkan biaya sekolah. Ia mandiri sejak kecil, tak ingin menyusahkan bapaknya yang tukang kayu itu.   

Ia mengumpulkan uang receh demi receh dan ia celengi di tabungan ayam yang terbuat dari gerabah.   

Kadang ia juga mengojek payung, membantu ibu-ibu membawa belanjaan, ia jadi kuli panggul. Sejak kecil ia tau bagaimana susahnya menjadi rakyat, tapi disini ia menemukan sisi kegembiraannya.   

Ia sekolah tidak dengan sepeda, tapi jalan kaki. Ia sering melihat suasana kota, di umur 12 tahun dia belajar menggergaji kayu, tangannya pernah terluka saat menggergaji, tapi ia senang dan ia gembira menjalani kehidupan itu, baginya “Luwih becik rengeng-rengeng dodol dawet, tinimbang numpak mercy mbrebes mili”. 

Keahliannya menggergaji kayu inilah yang kemudian membawanya ingin memahami ilmu tentang kayu.   

Lalu ia berangkat ke Yogyakarta, ia diterima di Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), jurusan kehutanan.   

Ia pelajari dengan tekun struktur kayu dan bagaimana pemanfaatannya serta teknologinya. Di masa kuliah ia jalani dengan amat prihatin, karena tak ada biaya hidup yang cukup.   

Kuliahnya disambi dengan kerja sana sini untuk biaya makan, ia sampai lima kali indekost karena tak mampu biaya kost dan mencari yang lebih murah.   

Hidup dengan prihatin membawanya pada situasi disiplin, Jokowi mampu menerjemahkan kehidupan prihatinnya lewat bahasa kemanusiaan, bahwa dalam kondisi susah orang akan menghargai tindakan-tindakan manusiawi, disinilah Jokowi belajar untuk rendah hati.   

Setamat kuliah ia tetap menjadi tukang gergaji kayu, tapi ia sudah memiliki wawasan, ia melihat industri kayu berkembang pesat, ia mendalami mebel.   

Di sini ia pertaruhkan segalanya, rumah kecil satu-satunya bapaknya ia jaminkan ke Bank. Dan ia berhasil, ia bukan saja tapi ia juga pengambil resiko yang cerdas, ia berhasil dari sebuah bengkel mebel dengan gedek disamping pasar yang kumuh berhasil dikembangkan. Ia menangis ketika pekerja-pekerjanya bisa makan.   

Suatu saat ia kedatangan orang Jerman bernama Micl Romaknan. Orang Jerman ini kebetulan tidak membawa grader (ahli nilai) kayu, ia ngobrol dengan Jokowi.   

Kata orang Jerman itu, “Wah, di Jepara saya ketemu orang namanya Joko, baiklah kamu kunamakan saja Djokowi, kan mirip Djokovich.”  Akhirnya terciptalah sebuah nick name atau nam apanggilan Jokowi yang melegenda itu.   

Perkembangan bisnisnya bagus, ia dipercaya karena ia jujur. Orang Jerman suka dengan orang yang jujur dan pekerja keras.   

Jokowi hanya tidur  3 jam sehari, selebihnya adalah kerja. Ia tak pernah makan uang dari memeras atau pungli, ia makan dari keringatnya sendiri.   

Dengan begitu hidupnya berkah. Jokowi berhasil mengekspor mebel puluhan kontainer dan ia berjalan-jalan di Eropa.   

Tidak seperti kebanyakan orang Indonesia yang mengunjungi Eropa dengan cara hura-hura atau foto sana, foto sini tanpa memahami hakikat masyarakatnya.   

Jokowi di Eropa berpikir reflektif. Kenapa kota-kota di Eropa, kok sangat manusiawi, sangat tinggi kualitasnya baik kualitas penghargaan terhadap ruang gerak masyarakat sampai dengan kualitas terhadap lingkungan.   

Lama ia merenung, akhirnya ia menemukan jawabannya  bahwa “Ruang Kota dibangun dengan Bahasa Kemanusiaan, Bahasa Kerja dan Bahasa Kejujuran”.   

Tiga cara itulah yang kemudian dikembangkan setelah ia menduduki jabatan di Solo.   

Setelah sukses di bisnis, Jokowi berpikir  bagaimana ia bisa berterima kasih pada bangsanya,   lalu ia mendapatkan jawabannya, bahwa contoh terbaik untuk berterima kasih adalah menjadi pemimpin rakyat yang bertanggung jawab.   

Lalu ia masuk ke dalam dunia politik dengan seluruh rasa tanggung jawab. Pertanggung jawaban politiknya adalah pertanggungjawaban moral, bukan karena ia mencari hidup dalam dunia politik, ia ikhlas dalam bekerja, baginya inilah cara berterima kasih pada bangsanya.   

Ia masuk ke dalam dunia politik, awalnya tidak dipercaya, karena sosoknya lebih mirip tukang becak alun-alun kidul, ketimbang seorang gagah yang hebat.   

Dalam masyarakat kita, sosok dengan bleger yang besar lebih diambil hati ketimbang orang dengan sosok kurus, ceking dan tak berwibawa. 

Itulah yang dialami Jokowi. Tapi beruntung bagi Jokowi, saat itu masyarakat Solo sedang bosan dengan pemimpin lama yang itu itu saja, mereka mencoba sesuatu yang baru. Akhirnya Jokowi menang tipis.   

Masyarakat mempercayainya dan ia menjawabnya dengan  kerja. Ia siang malam bekerja untuk kotanya, ia datangi tanpa lelah rakyatnya, ia resmikan gapura-gapura pinggir jalan, ia hadir pada selamatan-selamatan kecil, ia terus diundang bahkan untuk meresmikan pos ronda sebuah RW sekalipun. Ia bekerja dari akarnya sehingga ia mengerti anatomi masyarakat.   

Suatu hari Jokowi didatangi Kepala Satpol PP. Kepala Satpol itu meminta pistol karena ada perintah pemberian senjata dari Mendagri.   

Jokowi meradang dan menggebrak meja.  “Gila apa aku menembaki rakyatku sendiri, memukuli rakyatku sendiri…keluar kamu…!!”   

Kepala Satpol PP itupun dipecat dan diganti dengan seorang perempuan. Pesan Jokowi pada kepala Satpol PP perempuan itu, “Kerjalan dengan bahasa cinta, karena itu yang diinginkan setiap orang terhadap dirinya, cinta akan membawa pertanggungjawaban, masyarakat akan disiplin sendiri jika ia sudah mengenal bagaimana ia mencintai dirinya, lingkungan dan Tuhan.”   

Dari hal-hal inilah Jokowi membangun kota-nya, membangun Solo dengan bahasa cinta.   

Ketika dipanggil Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri untuk menjadi calon gubernur DKI Jakarta, banyak orang yang meragukan Jokowi.   

Banyak yang menyindir bahwa Solo bukan Jakarta. Tapi apa kata Jokowi,  “Hidup adalah tantangan, jangan dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan hanya menghasilkan alasan”   Jokowi berangkat dalam alam paling realistisnya. Kepemimpinan yang realistis, bertanggung jawab dan kredibel. 

Beruntung Indonesia masih memiliki Jokowi. Pada Jokowi Merah Putih ada harapan berkibar kembali dengan rasa hormat dan bermartabat sebagai bangsa.   

Semoga dengan bahasa cinta pula Jokowi-JK membangun Indonesia menjadi lebih baik. [L-8]/(www.suarapembaruan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar