Memilih suatu profesi sesuai panggilan jiwa ternyata berpengaruh besar terhadap ketangguhan seseorang menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi dalam menggeluti profesi tersebut. Itulah yang dibuktikan mantan finalis Puteri (Miss) Indonesia 2006 ketika memilih profesi sebagai hakim sejak lima tahun lalu. Panggilan jiwa menjadi penegak hukum membuat Deva rela meninggalkan gemerlapnya kehidupan selebriti di Jakarta. Dia memilih menjadi hakim dan ditempatkan di daerah terpencil, Pengadilan Negeri (PN) Muarabulian, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi.
Kehidupan yang jauh dari kemewahan, orangtua dan adik-adik selama menjalani profesi hakim tiga tahun terakhir di PN Muarabulianpun tampaknya bisa dinikmati alumni Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung, Jawa Barat 2005 ini. Dia tidak terlalu banyak mengeluh kendati sudah tiga tahun tinggal di rumah sangat sederhana dan miskin fasilitas di Perumahan PN Muarabulian.
Ketika ditemui di rumahnya, Kota Muarabulian, Kabupaten Batanghari, Deva mengaku cukup kerasan tinggal di daerah yang bebas dari kebisingan dan gemerlapnya kota demi menunaikan panggilan tugas. Anak pertama dari lima bersaudara ini bisa menjalani profesi sebagai hakim yang penuh tantangan di daerah terpencil karena sejak kecil sudah bercita-cita menjadi penegak hukum.
Hakim wanita berdarah Jawa, Palembang dan Belanda ini tertarik menjadi penegak hukum karena sering membaca cerita-cerita heroik perjuangan penegak hukum kaum wanita di majalah anak-anak semasa sekolah dasar (SD). Ketika sekolah di SMP, SMA sampai kuliah pun, Deva mengaku tetap suka membaca-baca cerita detektif, berita tentang hukum, terutama tentang perjuangan kaum wanita dalam menggapai keadilan. Kemudian carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia juga selalu menggugah hati gadis yang ramah dan bersahabat ini menjadi penegak hukum.
“Cita-cita menjadi penegak hukum terpatri dalam diri saya sejak kecil karena kerap membaca kisah penegak hukum di majalah anak-anak. Bahkan sangkin kuatnya cita-cita itu dalam diri saya, saya selalu kagum melihat pakaian seragam dan simbol-simbol penegak hukum. Karena itu setelah tamat SMA, saya memilih jurusan hukum di perguruan tinggi,”katanya.
Dunia Hiburan
Deva mengaku tertarik juga dengan dunia hiburan (entertain) sejak sekolah di SMA Negeri 14 Jakarta hingga kuliah di Fakultas Hukum Unpad Bandung. Dunia entertain yang pernah dikecapnya antara lain menjadi pembawa acara (Master Ceremony/MC), penyiar radio. Karena itu sejak lulus menamatkan studi di Unpad Bandung tahun 2005, Deva langsung menggeluti dunia hiburan dan menyiar di radio swasta.
Kemudian tahun 2006 Deva menjajal kemampuan mengikuti pemilihan Miss Indonesia mewakili Jawa Barat. Alhasil, dia berhasil lolos menjadi finalis. Berbekal modal tersebut, Deva pun mulai mengarungi hidup di dunia hiburan. Namun ternyata Deva akhirnya terpaksa berlabuh di meja pengadilan.
“Saya orangnya tomboy, jadi mudah saja untuk mengikuti acara-acara hiburan. Karena itu setelah selesai kuliah, saya banyak menggeluti dunia hiburan. Mama sebenarnya setuju kalau saya untuk terjun di hiburan karena modal sebagai finalis Puteri Indoensia sudah ada. Namun ayah melarang. Ayah meminta saya menjadi pegawai negeri sipil (PNS),”ujar gadis semampai ini.
Deva mulai menekuni profesi penegak hukum setelah lulus seleksi penerimaan hakim di Jakarta tahun 2007. Sebelum terjun menjadi hakim di PN Muarabulian tahun 2009, Deva terlebih dahulu menjalani magang di PN Bale Bandung. Selama menjalani magang tersebut, Deva pun melanjutkan pendidikan ke jenjang pascasarjana (S2) di Fakultas Hukum Unpad Bandung dan lulus tahun 2011.
Penilaian Miring
Deva Indah mengaku sering mendapat sorotan dari berbagai kalangan terkait profesi sebagai hakim yang ditekuninya. Penilaian terhadap hakim masih cenderung bernada miring atau negatif akibat ulah oknum-oknum aparat penegak hukum, termasuk oknum hakim yang terlibat dalam kasus-kasus mafia hukum.
Deva tak menampik adanya penegak hukum yang terlibat suap dan mafia hukum dalam melakukan penegakan hukum di Indonesia hingga kini. Namun hal itu bukan berarti bahwa institusi hukum di negara ini identik dengan suap dan mafia hukum. Pelanggaran-pelanggaran hukum yang terajadi dalam penegakan hukum di Indonesia hanya ulah oknum-oknum penegak hukum.
“Jadi tidak bisa disamaratakan bahwa semua penegak hukum identik dengan suap dan mafia hukum. Jangan gara-gara ulah oknum tersebut insitusi hukum juga dinilai rusak.
Kasihanlah teman-teman penegak hukum yang jujur dan berjuang menegakkan keadilan bagi orang papa di berbagai daerah terpencil bila mereka juga turut dicap buruk seperti oknum-oknum penegak hukum yang terlibat mafia hukum,”katanya.
Tidak Sebanding
Deva mengaku, beban moral, risiko dan sanksi sosial yang diterima para hakim dalam menjalankan tugas sebenarnya tidak sebanding dengan upah yang mereka dapatkan.
Pendapatan dan kesejahteraan hakim tidak seperti dibayangkan banyak orang. Orang sering menilai bahwa hakim bergelimang uang, padahal tidak.
“Ketika saya pulang ke Jakarta setelah menjadi hakim di PN Muarabulian, orang-orang menganggap saya berpenghasilan besar. Padahal gaji saya sekarang dengan golongan III B hanya Rp 2,8 juta. Itu belum dipotong uang koperasi dan berbagai potongan lainnya,”katanya.
Hakim sebenarnya pegawai fungsional. Namun pendapatan hakim tidak sama dengan PNS umum. Kadang ketika gaji PNS umum naik, gaji hakim tidak naik. Hakim baru mendapat tunjangan fungsional setelah 11 tahun masa kerja. Itulah kenyataan hidup yang dihadapi hakim.“Jadi saya prihatin juga melihat kesejahteraan hakim di Indonesia saat ini,”paparnya.
Deva berprinsip, minimnya kesejahteraan tidak menyurutkan niat hakim untuk tetap berjuang menegakkan keadilan bagi semua orang. Pendapatan yang sebenarnya pas-pasan tidak bisa menjadi alasan bagi hakim gampang menerima suap atau semacamnya.
“Orang memang kerap menuding seorang hakim leluasa menerima suap dalam memutuskan suatu perkara. Tudingan itu tentu tidak beralasan. Sebab dalam mengambil keputusan sidang, para hakim harus mengadakan musyawarah mufakat. Jadi putusan yang diambil harus betul-betul adil dengan penuh pertimbangan,”katanya.
Bagi Depa, uang bukanlah menjadi tujuan utama dan ukuran kepuasan batin dalam menjalani profesi sebagai hakim. Kendati gaji relatif pas-pasan, Deva tetap bisa menikmati profesi sebagai hakim. Melalui profesi tersebut Dia bisa memperjuangkan keadilan bagi setiap orang, khususnya orang-orang kecil yang kerap menjadi korban ketidakadilan.
“Harapan saya sebagai hakim, ya, meningkatnya penegakan hukum bagi semua warga negara, termasuk rakyat kecil,”katanya.
Pilihan Sulit
Memperjuangkan keadilan bagi kaum papa di daerah terpencil seperti kota kecil Muarabulian terkadang sulit bagi hakim. Masalahnya tindakan melanggar hukum yang dilakukan wong cilik sering kali bukan karena unsur kesengajaan, melainkan untuk memperjuangkan “perut sejengkal”.
Dalam penanganan kasus pembalakan liar dan pencurian sawit yang sering Deva tangani di PN Muarabulian misalnya, penentuan putusan atau vonis sangat sulit. Masalahnya orang-orang kecil banyak terlibat kasus pencurian tersebut karena kondisi kehidupan yang sulit.
Rakyat kecil memang sering terbukti melakukan pelanggaran hukum. Namun mereka melakukan itu hanya sekadar memperjuangkan hidup sehari-hari karena kesulitan ekonomi keluarga. Menghadapi dilema penegakan hukum bagi kaum papa tersebut, para hakim kerap mengambil keputusan benar-benar berdasarkan hati nurani, rasa kemanusiaan yang sangat tinggi dan penuh dengan doa.
Deva mengaku hatinya sering bergetar ketika hendak mengambil putusan dalam perkara kasus pencurian yang melibatkan orang kecil di dareah ini. Pilihannya sulit karena penjatuhan vonis bagi rakyat kecil sering sangat dilematis. Mereka memang salah, tetapi hal itu mereka lakukan menemui jalan buntu mengatasi kesulitan hidup.
“Saya bahkan pernah sampai melakukan sholat tahajud tengah malam untuk menentukan putusan dalam kasus pencurian kelapa sawit yang melibatkan rakyat kecil yang memang tidak berdaya,”katanya.
Kejujuran
Hal menarik yang banyak ditemui Deva dalam mengadili perkara-perkara yang melibatkan orang-orang kecil di daerah, yaitu kebersahajaan dan kejujuran mereka. Orang-orang kecil yang terlibat pencurian di daerah bisanya sangat jujur. Mereka berbicara apa adanya ketika ditanya penegak hukum di ruang sidang.
“Kejujuran itu tidak hanya nampak dari kesesuaian tuntutan jaksa dengan pengakuan mereka. Kejujuran orang kecil di hadapan penegak hukum dapat juga saya rasakan dan saya lihat dari cara maupun nada bicara mereka,”katanya.
Sebagai seorang hakim wanita, Deva mengharapkan agar proses pengadilan dan pemberian vonis hukuman bagi warga masyarakat yang melakukan pelanggaran hukum dapat memberikan efek psikologis agar mereka tidak mengulangi perbuatannya.
Kemudian proses hukum tersebut juga diharapkan bisa menjadi bahan pelajaran bagi orang lain agar lebih memiliki kesadaran hukum. Dengan demikian mereka akan semakin mampu melaksanakan tugas kehidupan sehari-hari tanpa melanggar hukum.
Deva mengaku merasa prihatin melihat kenyataan masih seringnya penegakan hukum di Indonesia tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat. Para penjahat kelas kakap sering lolos dari jerat hukum. Sedangkan rakyat kecil yang melakukan pelanggaran kecil dampai dijebloskan ke penjara. Namun demikian hal itu tidak bisa dijadikan ukuran untuk menjastifikasi bahwa bahwa hukum di Indonesia hanya berbihak kepada orang beruang dan berkuasa.
Hukum, tegas Deva selalu berpihak bagi setiap orang benar. Tidak ada keberpihakan terhadap orang atau kelompok tertentu dalam penegakan hukum. Namun dalam penegakan hukum tersebut tetap ada pertimbangan-pertimbangan yang berpatokan pada nilai-nilai hati nurani, kejujuran, kebenaran dan keadilan.
“Kalau memang terbukti bersalah, siapa pun dia, ya, harus diproses secara hukum, termasuk rakyat kecil. Penguasa dan pengusaha pun bisa tidak kebal terhadap hukum danbisa dijebloskan ke penjara jika memang terbukti secara sah melakukan tindak kejahatan,”katanya.(Sumber /Suarapembaruan-Radesman Saragih)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar