Halaman

Rabu, 23 April 2014

Paskah dan Kesetiakawanan Sosial



 Oleh : Radesman Saragih, SSos
Ibadah subuh Paskah di GKPS Jambi, Minggu (20/4) pukul 05.00 WIB. Foto insert Vik Pdt Parulihan Sipayung STh saat menyampaikan pesan Paskah pada ibadah itu. Foto Rosenman M/HARIAN JAMBI


 Seluruh umat Kristen di dunia memperingati wafatnya Tuhan Yesus Kristus atau Jumat Agung, Jumat (18/4/2014) dan dilanjutkan dengan peringatan bangkitnya Tuhan Yesus dari kematian atau Paskah, Minggu (20/04/2014). Seluruh ritual ibadah Jumat Agung dan Paskah yang dilaksanakan umat Kristen di berbagai belahan dunia mendapat antusiasme tinggi.

Baik itu ritual drama atau fragmen penyaliban Yesus Kristus maupun ritual lainnya. Antusiasme tersebut nampak dari membludaknya jumlah umat Kristen yang mengikuti ibadah-ibadah atau misa Tri Suci Paskah, yakni Kamis Putih, Jumat Agung dan Paskah, terutama di gereja-gereja yang berada di perkotaan.



Ibadah subuh Paskah di GKPS Jambi, Minggu (20/4) pukul 05.00 WIB. Foto insert Vik Pdt Parulihan Sipayung STh saat menyampaikan pesan Paskah pada ibadah itu. Foto Rosenman M/HARIAN JAMBI

Secara hakiki, umat Kristen menyambut antusias kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus karena dua peristiwa tersebut merupakan puncak iman umat Kristen. Kalau Tuhan Yesus tidak menjalani sengsara di Kayu Salib dan bangkit dari kematian, niscaya tak ada maknanya iman Kristen.

Berkat kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus, manusia yang percaya pada Yesus Kristus pun mendapatkan keselamatan, yakni kehidupan kekal. Kebangkitan Yesus dari kematian mengalahkan kuasa maut, sehingga orang-orang yang percaya kepada-Nya pun mendapat anugerah keselamatan hidup kekal.

Pemahaman secara rohani kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus tersebut sudah cukup mendalam bagi umat Kristen, sehingga peringatan Jumat Agung dan Paskah pun menjadi suatu peristiwa sakral yang dirayakan melalui ibadah yang senantiasa khusyuk dan khidmat. Berbeda dengan perayaan Natal atau kelahiran Yesus yang dirayakan dengan rasa suca cita.

Namun dari sisi pemahaman rasa kemanusiaan atau sosial, umat Kristen masih sering melupakan makna kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus. Dikatakan demikian karena sering kali umat Kristen hanya merayakan kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus secara ritual semata tanpa diikuti aksi nyata dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat, gereja dan keluarga.

Salah satu makna kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus yang terlupakan dalam ritual Jumat Agung dan Paskah ialah aksi sosial dengan memperhatikan dan menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan, baik di lingkungan masyarakat, gereja dan keluarga. Umat Kristen masih kerap melupakan orang-orang yang terpinggirkan dalam kehidupan, termasuk di masa Jumat Agung dan Paskah karena kurangnya pemahaman mengenai makna kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus Kristus dalam kehidupan sehari-hari.

Pengorbanan Yesus


Bunda Theresa yang berjuang dan menghabiskan hidupnya untuk menolong anak-anak miskin/ terlantar dan orang miskin di Kota Calcutta, India. (Foto IST  Warna/ Harian Jambi)

Kematian Tuhan Yesus di Kayu Salib dan kebangkitan-Nya dari kematian merupakan salah satu wujud dari jiwa pengorbanan yang tulus ikhlas Tuhan Yesus untuk menyelamatkan manusia dari belenggu dosa dan maut. Pengorbanan Tuhan Yesus tersebut juga disertai dengan kesetiakawanan dan rasa solider terhadap manusia yang terjerat dosa dan terancam maut yang kekal.

Menyikapi makna sosial kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus tersebut, tentunya umat Kristen pun perlu mengembangkan dan mewujudkan pengorbanan dan kesetiakawanan sosial dalam kehidupan sehari-hari, baik di tengah masyarakat, gereja dan keluarga.

Pengorbanan yang tulus ikhlas dan kesetiakawanan sosial tersebut penting dihidupkan di tengah umat Kristen karena belakangan ini jiwa pengorbanan dan kesetiakawanan sosial di tengah kehidupan masyarakat, termasuk gereja cenderung semakin menipis. Kehidupan sosial belakangan ini semakin sarat dengan gaya atau pola hidup individualis, egois dan ekslusif. Sikap kontra sosial tersebut juga turut menerpa kehidupan umat Kristen.

Sikap individualis, egois dan ekslusif tersebut bahkan telah menjadi gaya hidup masyarakat saat ini. Warga masyarakat semakin banyak menonjolkan dan mengutamakan kepentingan diri – sendiri, keluarga sendiri dan kelompok sendiri.

Yang lebih memprihatinkan, sikap kontra sosial tersebut bahkan kerap disertai perilaku mengganggu, meresahkan hingga mengorbankan orang lain, keluarga lain dan kelompok masyarakat lain.

Gaya hidup individualis, egois dan eksklusif yang juga sering disertai sikap materialis dan hedonis menyebabkan rasa solidaritas social atau kesetiakawanan sosial di tengah masyarakat semakin menipis. Orang tak lagi peduli terhadap kesusahan hati, kesulitan hidup sesama. Ironisnya, menipisnya rasa kesetiakawanan sosial ini juga menjalar di tengah kehidupan umat Kristen.

Pengaruh Materialisme Hidup 

Kealpaan umat Kisten untuk membangkitkan rasa kesetiakawanan soaial dipengaruhi terjebaknya pada gaya hidup yang lebih mengutamakan peningkatan kebutuhan materi dalam hidup ini. Perjuangan hidup (struggle for life) manusia di era modern ini terkadang menyebabkan manusia lebih mengutamakan gaya hidup homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi sesamanya). Fenomena ini Nampak dari sifat manusia yang cenderung individualis, egosentris dan ekslusif.

Manusia lebih mementingkan diri sendiri, kelompok sendiri tanpa peduli orang lain. Bahkan untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan sendiri manusia tega mengorbankan dan mencelakai sesama. Mencelakai bukan hanya dalam bentuk tindakan semata, tetapi juga dalam bentuk perkataan – perkataan yang menyakitkan hati sesama. 

Padahal sebagai makhluk sosial yang beragama, bermartabat dan berhati nurani, setiap orang dituntut memiliki prinsip hidup homo homini socius, yakni menganggap manusia adalah teman atau sahabat bagi sesama. Prinsip hidup seperti ini mampu menjadi landasan bagi setiap orang untuk mengasihi, memperdulikan dan menolong sesama.

Membangun Kesetiakawanan

Dalam kondisi kehidupan masyarakat seperti ini, tentunya umat Kristen/Gereja perlu terus membangun rasa kesetiakawanan sosial dan jiwa pengorbanan seperti yang telah ditunjukkan Tuhan Yesus melalui pengorbanan-Nya di Kayu Salib.

Pertanyaannya, mampukah umat Kristen/Gereja menjadikan membangkitkan kesetiakawanan sosial dan jiwa pengorbanan di tengah kehidupan sosial yang semakin egosentris? Sebagai orang percaya dan senantiasa mampu meneladani Tuhan Yesus Kristus, tentunya tidak ada kata mustahil bagi umat Kristen/Gereja untuk mengembangkan atau membangun kembali kesetiakawnan sosial di tengah masyarakat kita.

Pemerintah Indonesia sendiri pun turut merasa penting pengembangan kesetiakawnan sosial tersebut. Hal itu tercermin dari kebijakan Pemerintah Republik Indonesia (RI) menetapkan Hari Kesetiakawanaan Sosial Nasional setiap tanggal 20 Desember sejak Pemerintahan Orde Baru. Sebelum dicanangkannya Hari Kesetiakawanan Sosial  itu, Pemerintah RI telah mencanangkan Hari Bakti Ssosial tahun 1948.

Adanya perhatian pemerintah itu juga menunjukkan bahwa kesetiakawanan sosial merupakan hal yang sangat penting disemaikan kembali di tengah kehidupan manusia, termasuk di lingkungan Gereja. Gereja dan umat Kristen mampu menjadi pelopor kesetiakawanan sosial karena telah terlebih dahulu mendapatkan kelepasan dari belenggu roh-roh ketakutan, kebodohan, kemalasan dan berbagai kesulitan hidup berkat iman dan kepercayaan kepada Tuhan Yesus Kristus. 

Selain itu, umat Kristen harus lebih mampu menunjukkan kesetiakwanan sosial sebagai teladan bagi masyaakat umumnya, sebab, kesetiakawanan merupakan salah satu ciri kehidupan umat Kristen. Betapa berkembang pun pembangunan fisik Gereja, betapa banyak pun kekayaan materi yang dimiliki umat Kristen, hal itu tak akan berarti untuk menunjukkan kesaksian terhadap Kasih Kristus jika tak disertai rasa kesetiakwanan sosial. 

Landasan Iman 

Firman Allah menjadi landasan iman bagi umat Kristen untuk mengutamakan kesetiakawanan sosial dalam hidup ketimbang mengejar materi dalam menjalani hidup ini. Sebagai makhluk sosial yang beragama, bermartabat dan berhati nurani, setiap orang dituntut memiliki prinsip hidup homo homini socius, yakni menganggap manusia adalah teman atau sahabat bagi sesama. Prinsip hidup seperti ini mampu menjadi landasan bagi setiap orang untuk mengasihi, memperdulikan dan menolong sesama.

Prinsip hidup seperti ini penting dikembangkan dalam gaya hidup masyarakat sekarang dan di masa depan, termasuk di lingkungan Gereja (umat Kristen) untuk menunjukkan/menyaksikan bahwa Allah yang dipercaya orang Kristen memang penuh belas kasihan.

Tuhan Yesus sebagai Juru Selamat dan Teladan Hidup umat Kristen dalam Mateus 5 : 42 mengatakan : “Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam padamu”.

Firman tersebut mengharapkan orang percaya (umat Kristen) selalu hidup berbelas-kasihan. Kemudian dalam Yohannes 15 : 13disebutkan, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabt-sahabatnya. Ayat ini mengingatkan orang percaya agar senantiasa bersikap setia kawan dalam hidup ini. Sedangkan Galatia 6 : 2 menyebutkan :“Bertolong-olonganlah menanggung bebanmu!” dan ayat 9 : “Janganlah kita jemu-jemu berbuat baik…”.

Belas kasihan yang diharapkan Yesus Kristus tersebut hendaknya dapat diwujudkan orang-orang percaya terhadap sesame tanpa memandang muka, kelas sosial, suku, ras, agama dan antar kelompok (SARA). Belas kasihan itu dapat dilakukan melalui kepedulian/kesetiakawanaan sosial. Kesetiakawanan sosial ini tidakhanya dilaksanakan dengan memberikan sedekah kepada orang tidak mampu seperti sering dilakukan di tengah masyarakat dan Gereja selama ini.

Kesetiakawanan sosial tersebut dapat dilakukan melalui pemberian pertolongan kepada orang kurang mampu secara terencana dan berkelanjutan hingga orang tersebut mampu menolong diri sendiri (to help people to help them selves).

Pertolongan tersebut bukan hanya dari segi materi atau uang, tetapi juga pertolongan berupa pemberian keterampilan, pendidikan, perhatian/motivasi agar orang yang membutuhkan pertolongan tetap semangat mengarungi hidup yang penuh tantangan ini.

Semoga melalui peringatan Jumat Agung dan Paskah kali ini, umat Kristen/Gereja di mana pun berada semakin meningkatkan kesetiakawanan sosial. Selamat Paskah.


Penghargaan: St Radesman Saragih S.Sos saat pegang Piala Anugerah Adinegoro Suara Pembaruan pada Puncak HPN 2012 di Jambi.

(Penulis adalah pemerhati sosial dan alumni Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, Jawa Barat, kini bekerja sebagai wartawan Harian Umum Suara Pembaruan Jakarta di Jambi./*/lee)

(Tulisan Ini Sudah Naik di Harian Jambi Edisi Cetak Senin 21 April 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar