Halaman

Rabu, 23 April 2014

Menelusuri Tradisi Kesenian Bangsa Arab di Jambi





Tanah Wakaf  Syeh Abdurahmandi Jambi. FT Dok Harian Jambi

Seiring hijrahnya beberapa orang dari bangsa Arab yang kemudian menetap di Indonesia, hijrah pula tradisi dan budaya bangsa Arab ke Indonesia. Seperti halnya seni musik dan tari, yang banyak digandrungi oleh masyarakat pribumi pada umumnya.

Kesenian bangsa arab yang paling tenar di Indonesia adalah musik gambus dan tari zapin. Bahkan kedua aliran seni yang berbeda ini pun cukup mempengaruhi tercetusnya beberapa kesenian tradisi Indonesia khususnya melayu.

Musik gambus dan tari zapin adalah perpaduan
dua aliran seni berbeda yang menjadi tradisi khas bangsa Arab di Indonesia. Keduanya disebut-sebut sebagai inspirator musik dan tari tradisional melayu Indonesia termasuk Jambi.

Gambus merupakan alat musik petik yang berasal dari Timur Tengah. Bentuknya hampir menyerupai gitar yang dipasangi 3 senar sampai 12 senar. Gambus ini biasa dimainkan dengan diiringi musik gendang. Musik ini biasa dilantunkan guna mengiringi tari zapin dari bangsa Arab.

Musik gambus hadir di tengah-tengah masyarakat Indonesia bersamaan dengan masuknya pengaruh Islam ke Indonesia. Sehingga, warna musiknya pun bernafaskan Islam dengan syair berbahasa Arab. 

Saat ini, tidak sedikit orkes yang menjadikan musik gambus sebagai alat musik utamanya. Alat musik tersebut dipadukan dengan alat musik pendukung lainnya seperti biola, seruling, gendang dan alat musik pendukung lainnya. Orkes ini biasanya menyanyikan lagu-lagu shalawat dan pujian-pujian dalam berbahasa arab. Namun tidak menutup kemungkinan juga dalam bahasa Indonesia. Disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dalam menyajikan.

Selanjutnya, tari zapin yang berasal dari bangsa Arab merupakan tari persaudaraan sebagai bentuk dari eratnya pergaulan. Tarian ini dilakukan oleh pria dengan berbagai jenis gerakan-gerakan sederhana.

Zapin dipercayai dibawa oleh mubaligh-mubaligh dari Timur Tengah kira-kira pada abad ke-15. Kebanyakan para mubaligh dan pedagang ini dating ke Indonesia serambi menyebarkan ajaran Islam, kemudian membawa tradisi budayanya ditengah-tengah masyarakat Indonesia. Pada awalnya, hanya golongan lelaki yang menyertai tarian ini. Tapi sekarang, tarian ini telah dimodifikasi dengan penyertaan wanita dalam tarian tersebut.

Saat ini Indonesia juga memiliki berbagai jenis tari zapin. Tari zapin ini identik dengan kebudayaan melayu. Berbeda dengan bangsa Arab, tari zapin melayu dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Bahkan, tarian ini biasa dilakukan secara berpasangan.

Tari zapin Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh zapin dari bangsa Arab. Hasil modifikasi gerakan dan unsur lain, kini mampu menyajikan berbagai macam jenis tarian zapin kontemporer. Tarian zapin melayu pun saat ini disebut sebagai tari kreasi melayu.

Telah banyak tari zapin Arab yang berevolusi menjadi beragam tari kreasi melayu. Untuk di tari kreasi Jambi, tarian tersebut dapat dilihat dari tari zapin bedana, zara zapin, zapin budi dan lain-lain. (*/lee)
***
Suku Bangsa Arab Garis Keturunan Sultan Thaha


Sulthan Thaha Syaifuddin.Ft IST

Bafadhal merupakan salah satu suku dari bangsa Arab yang ada di Provinsi Jambi. Di samping suku-suku Arab lainnya seperti Baraqbah, Al Habsy dan lain-lain. Bahkan anak keturunan dari suku Bafadhal ini merupakan sultan terakhir Jambi, yakni Sultan Thaha.

Menurut Fauzi Bafadhal, Sekretaris Badan Wakaf Keluarga Besar Bafadhal Provinsi Jambi, ibu dari Sultan Thaha merupakan salah satu keluarga besar dari Suku Bafadhal. Inilah mengapa, Sultan Thaha juga disebut-sebut sebagai salah satu keluarga besar dari Suku Bafadhal.

“Pangeran Fahruddin (Ayah Sultan Thaha), saat itu menikah dengan gadis keturunan Bafadhal. Dari hasil pernikahan itu lahirlah Pangeran Sultan Thaha tadi. Itu artinya, ibu dari Pangeran Sultan Thaha merupakan keluarga besar dari keturunan Bafadhal. Saya lupa namanya,” ujarnya.

Bafadhal mulai ada di Provinsi Jambi  ketika Husein Baraqbah, salah satu warga suku Baraqbah, mengajak Ahmad Sufi Bafadhal dan beberapa teman lainnya untuk hijrah ke Jambi. Selain untuk berdagang, hijrahnya mereka ke Jambi tidak lain adalah untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam.

Dikatakan Fauzi, keluarga besar bafadhal mengikuti ajaran Imam Syafi’I dalam menjalankan syariat-syariat Islam. “Bafadhal itu wajib mengikuti ajaran dari Imam Syafi’i. Mazhab kita itu,” ujarnya. 

Ia juga menjelaskan, bahwa tidak adanya larangan bagi keluarga Bafadhal untuk menikah dengan suku lain selain dari keluarga besar Bafadhal. Ini menampik wacana di kalangan masyarakat, yang mengatakan bahwa bangsa arab tidak diperbolehkan menikah dengan suku selain dari sukunya sendiri.

“Kalau suku lain memang ada yang seperti itu. Tapi kalau Bafadhal tidak ada larangan. Silahkan saja menikah dengan suku lain. Asalkan dia sama-sama Islam. Hanya saja kalu bisa, garis keturunan itu dipertahankan,” ujarnya.

Selanjutnya, Fauzi juga menampik anggapan, bahwa keluarga besar dari suku Bafadhal enggan berbaur dengan suku lain termasuk warga pribumi. Menurutnya, keluarga Bafadhal sama halnya dengan masyarakat lain yang berdomisili di Jambi. Tidak ada larangan maupun aturan yang mengikat Bafadhal untuk berbaur seperti masyarakat pada umumnya. “Kita berbaur kok. Tetap berinteraksi dengan masyarakat pada umumnya,” katanya.

Keluarga besar Bafadhal memiliki kultur yang sangat rekat. Hingga saat ini, keluarga besar Bafadhal masih sering berkumpul dalam kegiatan-kegiatan keluarga seperti arisan, yasinan, mengaji bersama dan lain-lain. Ini dikatakan Asiah (76), salah satu tokoh yang dituakan oleh keluarga besar Bafadhal saat ini.

“Keluarga besar Bafadhal masih sering kumpul-kumpul di rumah saya. Hampir setiap minggu juga ada pengajian ibu-ibu seperti yasinan, arisan, mengaji,” ungkapnya.

Bangsa Arab khususnya Bafadhal memiliki budaya yang sangat menarik. Peminat budaya tersebut juga tidak sedikit. Namun Asiah menyesalkan, bahwa kebudayaan Bafadhal belakangan semakin hilang. 

Budaya yang disebutkannya tersebut yakni musik gambus dan tari zapin. Kesenian dari bangsa Arab ini menurutnya sempat menjamur dimasa lalu. seiring berkembangnya kesenian yang semakin modern, musik gambus dan tari zapin pun menjadi semakin terpinggirkan.

“Musik gambus dan tari zapin itu masih ada. Masih ada yang mau memainkannya. Tapi, sekarang musik gambus tidak terlalu diminati seperti dulu. Mungkin karna pemainnya terlalu banyak dan ribet. Kesenian juga semakinj modern sekarang. Ada yang jauh lebih mudah dimainkan. Seperti organ, cuma butuh satu orang untuk memainkannya,” ujar Asiah.

Terkait bangunan bersejarah, keluarga Bafadhal memiliki beberapa lokasi bersejarah peninggalan keluarga Bafadhal terdahulu. Bangunan tersebut seperti Masjid Magatsari, Makam Talang Jauh, begitu juga dengan Madrasah Al-Khairiyah yang berada di Jl Gatot Subroto Kota Jambi. 

Dikatakan Asiah, lokasi tersebut adalah hasil wakaf dari keluarga besar Bafadhal sejak dulu. “Keluarga Besar kami dulu ada yang pernah wakaf tanah dan beberapa bangunan. Seperti Masjid Magatsari yang di Pasar itu, trus Madrasah Al-Khairiyah, dan makam talang jauh yang ada di depan trona itu,” ujarnya. 

Masjid Magatsari, lanjut Asiah, masih digunakan sebagai media silaturahim bangsa Arab yang ada di Jambi. Pada saat perayaan hari raya Islam, masjid ini digunakan sebagai tempat berkumpul seluruh suku bangsa Arab dari berbagai kalangan di Jambi. 

“Hari kedua lebaran idul fitri itu biasanya keluarga besar bangsa Arab yang disini, berkunjung ke Masjid Ba’alawi sebrang. Nah, lebaran ketiganya, mereka yang gantian berkunjung ke masjid Magatsari,” ujarnya.

Sedangkan Madrasah Al-Khairiyah, merupakan sekolah islam yang mencakup diniyah takmiliyah, tsanawiyah dan aliyah ini, merupakan hasil wakaf yang masih dikelola oleh keluarga besar Bafadhal. Begitu juga makam talang jauh, yang menjadi lokasi pemakaman sebagian besar keluarga Bafadhal.

 “Toko-toko di areal Masjid Magatsari itu sebagian disewakan. Hasil sewa digunakan untuk membiayai kebutuhan madrasah ini. Kalau makam talang jauh, keluarga bafadhal yang sudah wafat, sebagian besar dimakamkan disana,” ujar Asiah. (lee)
***

Sultan Thaha Keturunan Bangsa Arab


Patung Sulthan Thaha Syaifuddin di lapangan Kantor Gubernur Jambi Telanaipura.

Sultan Thaha  adalah seorang sultan terakhir dari Kesultanan  Jambi. Ketika kecil, Sultan Thaha biasa dipanggil Raden Thaha Ningrat. Ia dikenal sebagai  sultan yang rendah hati dan suka bergaul dengan rakyat biasa. Namun siapa yang menyangka, kalau sultan jambi yang dilahirkan pada tahun 1816 ini, merupakan salah satu keturunan dari bangsa Arab.

Fauzi Bafadhal, Sekretaris Wakaf Keluarga Besar Bafadhal Jambi mengungkapkan, Sultan Thaha merupakan salah satu keturunan dari keluarga besar Bafadhal. Dimana, Bafadhal merupakan salah satu suku dari bangsa Arab yang ada di Jambi. “Sultan Thaha itu masih ada keturunan dari keluarga Bafadhal,” ungkapnya.

Menurutnya, ibu dari Sultan Thaha, yang tidak lain adalaha istri dari Pangeran Fahruddin, merupakan gadis dari keturunan bangsa Arab yang berdomisili di Jambi pada saat itu. Inilah mengapa, Sultan Thaha disebut-sebut sebagai salah satu keturunan dari bangsa Arab khususnya dari keluarga besar Suku Bafadhal.

“Pangeran Fahruddin saat itu menikah dengan gadis keturunan Bafadhal. Dari hasil pernikahan itu lahirlah Pangeran Sultan Thaha tadi. Itu artinya, ibu dari Pangeran Sultan Thaha merupakan keluarga besar dari keturunan Bafadhal. Saya lupa namanya,” ujarnya.

Mengulas hadirnya keluarga bangsa Arab di tengah-tengah Jambi pada abad ke 16 Masehi, datanglah Husein Baraqbah, Seseorang dari bangsa Arab yang pertama kali hijrah ke Jambi. Tujuan utamanya tidak lain adalah berdagang dan menyebarkan agama Islam.

Setelah 4 tahun menetap di Jambi, Husein Baraqbah  menikah dengan warga Jambi dan memiliki anak. Beberapa tahun menetap di Jambi, diapun kembali ke Tarim, salah satu kota kecil di Hadramaut. tidak menunggu lama, Husein kembali lagi Ke Jambi dengan membawa 4 orang temannya dari Hadramaut. Salah satu temannya tersebut bernama Ahmad Sufi Bafadhal.

“Husein Baraqbah adalah salah satu tokoh yang dituakan di Jambi saat itu. Karna, dia adalah bangsa arab pertama yang memutuskan hijrah dan menetap di Jambi. Beberapa tahun menetap di Jambi, dia sempat pulang ke Tarim dan kembali lagi ke Jambi bersama 4 orang temannya. Salah satunya itu Ahmad Sufi Bafadhal. Yang lain saya lupa namanya,” ujar Fauzi. (**) (Sumber: Harian Jambi Edisi Cetak Selasa 22 April 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar