Halaman

Jumat, 25 April 2014

Dorong Seloko Jambi Sebagai Warisan Nasional





DEPATI SATIO : Suasana silaturahmi di kediaman Azrai Al Basyari, dalam rangka mempelajari Seloko Adat Jambi. Perkumpulan ini disebut dengan perkumpulan Depati Satio, yang rutin membahas tentang kebudayaan masyarakat Jambi.FOTO : DOK/HARIAN JAMBI

Seloko merupakan salah satu karya sejenis puisi, yang berisi betuah atau pesan dari orang-orang terdahulu. Menyusul musik Krinok Jambi yang telah diakui sebagai warisan nasional, seloko juga akan diajukan sebagai warisan busaya tak benda nasional. Masyarakat Jambi khususnya para seniman dan budayawan Jambi patut berbangga dengan banyaknya warisan budaya Jambi, yang telah diakui sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.  

ANDRI  MUSTARI, Jambi 

Musik asli Jambi yakni Krinok telah mendapatkan penghargaan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) belum lama ini. Kemudian para seniman dan budayawan akan mengajukan kembali salah satu warisan kebudayaan Jambi yakni seloko, sebagai warisan budaya tak benda nasional. Ini disampaikan Junaidi T Noor, Budayawan Jambi.

“Musik Krinok telah menjadi warisan tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Dan saat ini, kami akan memperjuangkan, semoga tradisi seloko ini juga mendapatkan sebuah penghargaan warisan budaya tak benda oleh pemerintah pusat. Khususnya di bidang kebudayaan dan juga Lembaga Kebudayaan Nasional Indonesia,” ungkapnya.

Untuk mencapai tujuan tersebut, banyak langkah-langkah yang harus dilakukan oleh para seniman dan budayawan Jambi. Ini dilakukan, untuk membuktikan bahwa, seloko memang layak untuk dijadikan sebagai warisan budaya tak benda. 

Menurut Junaidi, upaya yang dilakukan tersebut
yakni, dengan mengumpulkan bukti-bukti tentang penerapan seloko di Jambi. Selanjutnya, mempersiapkan naskah ilmiah tentang seloko adat tersebut.
“Untuk mewujudkan itu, tentunya banyak langkah-langkah yang dilakukan, untuk bisa mendapatkan penghargaan warisan budaya tak benda. Diantaranya adalah mengumpulkan data-data, kajian-kajian dan bukti-bukti tentang penerapan atau keberlakuan seloko ini di masyarakat. Yang kaitanya dengan tulisan dan mempersiapakan naskah ilmiah tentang seloko,” ujarnya.

Pendeta China

Setiap daerah Melayu rata-rata memiliki tardisi budaya seloko. Bahkan dikatakan Junaidi, kawasan Pulau Jawa pun juga memiliki budaya seloko. Untuk Jambi sendiri menurutnya, budaya seloko tersebut mulai digunakan pada abad ketujuh Masehi.

Seloko Jambi telah ada pada abad ke tujuh. Awal mulanya, karena adanya pendeta China yang bernama Pendeta Icing yang mendalami ajaran Buddha di kawasan Kerajaan Hindu Buddha, yakni Candi Muarojambi. Itu dulu adalah tempat persinggahan Pendeta muda Icing. Setelah itu, ia pun menulis itu dengan tulisan China. Kemudian diterjemahkan oleh pendeta yang tinggal di Jambi ke terjemahan dalam bentuk seloko. Terhitung kurang lebih 500 ribu seloko yang ditulis oleh pendeta Jambi pada saat itu,” ungkapnya. 

Dengan adanya seloko pada abad ke tujuh hingga saat ini, tradisi seloko masih sering digunakan oleh masyarakat Jambi. Seloko ini biasanya, digunakan dalam kegiatan-kegiatan tertentu. Salah satunya adalah pada acara pernikahan.

“Abad ketujuh, seloko sudah ada di Jambi dan sampai saat ini, seloko itu masih dipergunakan. Seloko yang sering ditemui adalah pada saat tunjuk ajar, acara-acara adat dan acara-acara pernikahan. Masyarakat Jambi selayaknya menggunakan seloko adat tersebut untuk kegiatan-kegiatan tertentu. Apalagi, kalau ini sudah disahkan. Memang tidak ada sanksi khusus, paling hanya sanksi sosial,” ujarnya. 

Ramah dan Beretika

Dalam melestarikan budaya dan tradisi Melayu Jambi, harus adanya keterlibatan aktif antara seniman dan pemerintah, begitu juga dengan masyarakat itu sendiri. Dikatakan Azrai Al  Basyari, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi bahwa, untuk membawa seloko pada pengakuan nasional, harus mendapat dorongan dan dukungan dari masyarakat, agar pengajuan pengakuan tersebut bias terealisasi.


Azrai Al Basyari

“Harus adanya sebuh kerjasama dalam melestarikan budaya tradisi Melayu Jambi. Salah satu contoh adalah dengan diajukannya seloko ini sebagai warisan tak benda nasional. Hal ini memerlukan sebuah dorongan oleh berbagai pihak, agar apa yang dicita-citakan dapat terwujud,” katanya. 

Dengan adanya upaya seloko ini untuk dijadikan sebagai warisan budaya tak benda, bisa memberikan motivasi kepada masyarakat Jambi, khususnya para generasi muda, akan pemahaman tentang budaya Jambi. Salah satunya adalah seloko.  

Senada apa yang disampaikan oleh Junadi T Noor, Azrai Al  Basyari juga menambahlan bahwa, seloko adat merupakan bahasa komunikasi yang diterapkan di kalangan masyarakat Melayu Jambi, khususnya masyarakat adat. Mereka terbiasa menyelesaikan sebuah perbincangan menggunakan seloko. Menyampaikan sesuatu hal dengan seloko dan menyudahi hal tersebut dengan seloko pula.

Dalam penyampaian seloko, identik dengan keramahan dan bahasa-bahasa yang penuh dengan etika. Sehingga, masyarakat adat dalam berbahasa terlihat lebih santun dan ramah. “Seloko itu cara berkomunikasi yang sangat baik dilakukan. Yang mana, seloko identik dengan keramahan dan etika yang mampu menggugah hati seseorang. Dengan demikian, orang yang menyampaikan akan baik begitu juga orang yang menerima pun akan baik,” ujar Azrai Al  Basyari. 

Masa Lampau

Dengan perkembangan zaman saat ini, seloko hanya dilakukan pada momen-momen tertentu saja. Ketika ditanya mengapa tidak diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, ia mengatakan bahwa, hal tersebutlah yang membedakan kebiasaan masyarakat Jambi zaman dulu dengan zaman sekarang.

“Terdahulu, masyarakat adat berkomunikasi lebih cenderung kepada seloko. Akan tetapi pada zaman sekarang ini, bahasa luar yang lebih diprioritaskan. Sehingga dampaknya kepada anak-anak generasi muda yang tidak mengerti apa yang menjadi identitas kita sendiri. Akan tetapi, peranan masyarakat adat saat ini selalu berupaya dan berusaha untuk bisa mengembalikan kebudayaan tradisi, agar selalu dapat dikembangkan dan dilestarikan. Salah satu contohnya adalah adanya upaya untuk menjadikan seloko, menjadi warisan budaya tak benda nasional,” ujarnya.(*/lee)
***
Kiblat Pandangan Hidup Masyarakat Jambi


Junaidi T Noor

Seloko adat Jambi merupakan sebuah karya, yang mencerminkan kiblat dan pandangan hidup masyarakat Jambi. Dengan bahasa yang santun dan beretika, penggunaan seloko bertujuan untuk bisa berkomunikasi dengan baik. Ini disampaikan Azrai Al Basyari, Ketua Lembaga Adat Kota Jambi.

Beberapa seloko yang disebut sebagai cerminan pandangan hidup masyarakat Jambi diantaranya, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung, di mana tembilang dicacak di situ tanaman tumbuh, di mana rantang  dipadah di situ aeknyo besaroh, di mana meranti rebah di situ pulo danau beserah, di mana periuk pecah di situ pulo itingkat tingga.

“Itu seloko yang bertujuan baik, untuk bisa berkomunikasi dengan baik pula,” ujarnya.
Selanjutnya, seloko juga dipergunakan untuk mempersatukan semua perbedaan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat. Saat ini, adanya perbedaan kerap menyebabkan adanya sebuah pertikaian, yang sering terjadi di kalangan masyarakat. Dan di saat seperti inilah seloko difungsikan. Agar, keduanya bias saling berkomunikasi dengan baik untuk menyelesaikan pertikaian tersebut.

Seloko itu berfungsi untuk menyatukan sebuah perbedaan, agar tidak ada lagi sebuah permasalahan yang terjadi. Seloko mampu memberikan solusi dengan cara menyelesaikan permasalahan secara bermusayawarah dan berkomunikasi yang baik pula dan inilah fungsi seloko,” tegasnya. 

Yang membedakan seloko Jambi dengan seloko daerah lain adalah bunyi seloko-nya. Kedua, orang yang menyampaikannya dan yang ketiga  dari bahasa seloko-nya. Walupun daerah lain seperti Sumatera Barat, Riau juga memiliki banyak seloko, perbedaan dengan seloko Jambi sangat terlihat.

“Seloko Jambi sangat berbeda dengan seloko-seloko yang ada di Sumbar maupun di Riau. Perbedaanya adalah dari segi bunyi seloko-nya, kedua orang yang menyampaikan dan yang ketiga adalah bahasanya,” lanjutnya. 

Dalam pelestarian budaya tradisi seloko, Junaidi T Noor, Budayawan Jambi berharap, adanya sebuah kerjasama yang baik antara masyarakat adat dan pemerintah. Selanjunya, harus adanya sosialisasi kepada masyarakat akan pentingnya memahami seloko

“Harus adanya peranan dari masyarakat adat, lembaga adat, budayawan dan instansi pemerintah yang terkait. Harus mampu memberikan pemahaman kepada masyarakat luas tentang manfaat mengetahui seloko,” katanya

Dengan itu juga, semoga ke depan pemerintah daerah membuat sebuah regulasi tentang budaya Jambi, yang dimasukkan ke dalam Muatan Lokal. Sehingga dari bangku sekolah, kebudayaan, tradisi dan adat-istiadat Jambi bisa diketahui oleh para generasi muda. Dan semoga seloko dalam tahun ini bisa dijadikan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Menanggapi hal tersebut, Azrai mengatakan bahwa secara kelembagaan, ia sebagai Ketua Lembaga Adat Kota Jambi, telah berupaya untuk melakukan hal tersebut. “Secara pribadi pun saya telah membentuk sebuah kelompok yang setiap malam Rabu-nya, selalu melakukan pelatihan bagaiman ber-seloko dan berdiskusi tentang kebudayaan, adat-istiadat dan tradisi Jambi, yang harus dilestarikan,” ungkapnya.

Azrai Al Basyarai yang mempunyai gelar Depati Setyo ini, telah mendirikan sebuah perkumpulan yang diberi nama Depati Setyo. Ini telah berdiri sejak tahun 2009. Komunitas tersebut didirikannya, sebagai wadah diskusi para tokoh agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat, yang akan membahas permasalahan kebudayaan di setiap malam rabu.

“Salah satu latar belakang kelompok ini saya dirikan, karena banyaknya pengaduan masyarakat dan juga banyaknya masyarakat Jambi, yang tidak memahami budaya. Salah satunya adalah ber-seloko yang selalu digunakan pada waktu melangsungkan pernikahan. Oleh karena itu, perkumpulan Depati Setyo ini kami dirikan,” ungkapnya.(ams/lee) (Harian Jambi Edisi Cetak Jumat Pagi 25 April 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar