Halaman

Senin, 17 Maret 2014

Kisah Sehari Senyuman si Kusir Sado


MANGKAL: Dua pemilik Sado tengah mangkal di Simpang Sado menunggu para penumpang yang akan mengunakan jasa angkutan sado.
 Pagi itu wajah pria paruh baya ini tampak berseri. Dirinya menjadi “sopir” terhormat ibu kepala daerah dan sejumlah pejabat. Wajah berseri itupun dibalut dengan pakaian tradisional. Kisah seyuman wajah berseri itu menjadi pengalaman berharga pria berusia 54 tahun ini.

ANDRI MUSTARI, Jambi

Adalah Mardi, seorang kusir Sado yang senang dengan wajah berseri ketika dirinya dipercayakan sebagai “sopir” sado miliknya saat membawa Kepala Museum Siginjai Jambi Badmiril Amri,  Ketua Dekranasda Provinsi Jambi Yusniana Hasan Basri Agus, Kepala Dinas Budpar Provinsi Jambi, Ketua Dekranasda Kota Jambi Yuliana Fasha  pada acara Museum Siginjai Jambi menggelar kegiatan pameran alat transportasi dan alat angkut tradisional Jambi, (10/3/ 2014).

Namun Mardi hanya merasakan wajah berseri itu. Betapa tidak, profesi sebagai kusir Sado yang digelutinya selama puluhan tahun, kini nasibnya di ujung tanduk. Menurut penuturan Mardi, alat transportasi darat yang sudah mulai rapuh, yaitu alat transportasi Sado.


Kata Mardi, dengan keadaan saat ini, disamping kurangnya peminat masyarakat untuk menggunakan sado, ditambah lagi kurangnya perhatian dari pemerintah, kemungkinan besar sado di Jambi, akan bakalan rapuh dan habis. “Sado di Jambi sudah mulai rapuh dan habis,” kata Mardi.

Menurut pria berusia 54 tahun ini, dirinya telah menjadi kusir Sado selama 30 tahun. Selain itu ia juga mengatakan bahwa, sado di Jambi, sudah ada pada sejak tahun 1950 an. Orang tua mardi juga merupakan salah seorang kusir Sado. Hingga saat ini pekerjaan ayahnya ia teruskan untuk menjadi seorang kusir Sado.

Pada tahun 1950 an, Sado merupakan alat transportasi yang sangat disukai dan sangat digemari oleh para masyarakat Jambi. Bukan hanya itu, para turis manca negara pun senang menaiki Sado untuk berkeliling Jambi.

Terhitung pada tahun 1950 an, jumlah sado ribuan, dan hingga tahun 1973 jumlah sado menjadi menurun hanya mencapai 500 Sado. “Pada tahun 50 an itu jumlah sado banyak sekali, jumlahnya ribuan, tapi di tahun 1973 jumlah sado menurun. Sekitar 500 sado lah yang masih ada di Jambi dan masa itu alat transportasi modern sudah mulai berkembang di Jambi,” cerita Mardi.

Sado Sisa 5 Unit

Lokasi Simpang Sado, Pasar Kota Jambi sesungguhnya adalah tempat mangkalnya para sado yang ada di Kota Jambi. Akan tetapi para kusir sado merasa sedih karena tempat yang merupakan tempat sado, diambil oleh para masyarakat yang memiliki kendaraan roda empat, atau dijadikanya tempat untuk parkir kendaraan.

“Sebenarnya simpang sado ini, tempat pangkalan kami, tapi sekarang sudah menjadi tempat parkir oleh orang-orang kaya,” katanya. Selain itu, Mardi juga menjelaskan bahwa, saat ini jumlah Sado yang ada di Kota Jambi, tinggal 5 Sado.

Bagi Mardi, pekerjaan yang ia lakukan hanya lah seuah hobi dari dirinya, untuk mengandalakan penghasilan dari kusir sado. Menurut Mardi tidak cukup, penghasilan yang bisa diperoleh hanya mencapai Rp 50 ribu, dan itu hanya digunakan untuk membeli makan kuda.

Penghasilan itupun tidak tetap didaptkan oleh seorang Mardi. “Penghasilan kami paling Rp 50 ribu, itu pun kadang ada kadang tidak ada. Tapi cukuplah untuk makan kuda,” kata Mardi.

Mardi memiliki 5 orang anak, yang saat ini dua diataranya masih tinggal bersamanya. Oleh karena itu, ia pun memberikan kebebasan kepada anaknya untuk berkerja, dalam bentuk pekerjaan yang halal.

“Saya punya anak lima. Dua masih tinggal dengan saya, mereka mau kerja, ya saya izin yang penting kerjanya halal,” kata Mardi.

Menyerah dari Kuli Bangunan

Dulu, sebelum menjadi kusir sado, Mardi bekerja sebagai kuli bangunan. Hingga akirnya Mardi memutuskan untuk menjadi tukang sado, karena memelihara kuda merupakan salah satu hobinya, tidak heran jika sampai saat ini kendaraan sado Mardi masih bertahan. 

“Ini sudah menjadi hobi saya, dari kecil saya sudah terbiasa merawat dan memelihara kuda, makanya saya bertahan hingga sekarang, kalau bukan karena hobi, mungkin sudah punah sado-sado yang ada di Jambi ini karena rata-rata mereka penambang yang lain juga hobi,” ujar Mardi. 

Ia mengaku, telah banyak perubahan terhadap keberadaan sado di Kota Jambi saat ini, terutama jumlah sado itu sendiri, yang awalnya mencapai ratusan orang, namun kini tinggal 5 orang saja yang bertahan. Keadaan ini dikarenakan sepinya penikmat jasa angkutan sado. 

“Mungkin karena perkembangnya zaman menjadi salah satu faktor minimnya peminat sado, karena sekarang sudah banyak alat tranportasi yang lainnya, dulu yang awalnya pakai sado sekarang pakai mobil pakai motor,” paparnya. 

“Sado saat ini untuk rekreasi saja bagi warga, jadi mereka naik sado untuk senang-senang, bukan jadi alat transportasi,” tambahnya. 

Menurut Mardi, satu kendaraan sado hanya bisa membawa 3 atau 4 orang. Sedangkan  rute yang bisa ditempuh hanya seputaran pasar dan daerah Ancol saja, kecuali kalau sewa. “Untuk ongkosnya tergantung jauh dekatnya permintaan pelanggan, kalai hanya di daerah-daerah sini saja, misal dari sini mutar sampai ke Ramayana, pulang pergi ongkosnya kurang lebih 40 ribu,” katanya.

Terkait penghasilan, saat ini tidak dapat dipastikan olehnya. Jika dulu bisa untuk memenuhi kebutuhan hidup, namun sekarang untuk biaya makan kudanya saja bisa dikatakan kurang. Oleh karena itu Mardi juga melayani jasa sewa, dari jasa sewa itulah bisa membantu biaya hidupnya.
Mardi mengungkapkan untuk kudanya itu sendiri, kerja tidak kerja tetap mengeluarkan dana untuk biaya makannya yang setiap harinya Rp 40.000. 

“Kalau sekarang mah boro-boro untuk pemilik kuda, untuk makan kuda saja tidak cukup,” ujarnya.
Mardi mulai mencari penumpang dari jam 09.00 sampai jam 12.30 sedangkan untuk sorenya ia memilih istirahat karena tidak ada penumpang. Menurut Mardi kurangnya perhatian dari pemerintah daerah juga bisa menyebabkan punahnya sado tersebut. 

“Lihat saja,  untuk terminalnya hanya ala kadarnya, inipun kadang dipakai untuk parkir mobil,” paparnya. 

Sado milik Mardi saat mengangkut Yusniana Hasan Basri Agus, Yuliana Fasha  pada acara kegiatan pameran alat transportasi dan alat angkut tradisional Jambi di Museum Siginjai Jambi (10/3/ 2014). Foto ANDRI MUSTARI/HARIAN JAMBI
Ditanya apakah ia berniat untuk beralih profesi? Mardi mengaku, meski punya modal pun Mardi akan tetap bertahan sebagai tukang sado, kaena ingin tetap melestarikan sado yang ada di Jambi.
“Namanya saja Simpang Sado, kalau bukan kita yang melestarikan mau siapa lagi, ada simpangnya tapi kalau tidak ada sadonya gimana,” ungkapnya. 

Oleh karena itu, ia berharap adanya perhatian dari pemerintah, demi kelangsungan dan pelestarian sado di Jambi tetap terjaga.

Saat ini sado sudah tidak seperti dahulu lagi, akan tetapi Mardi masih mempunyai pengharapan, kalau pemerintah membuat sebuah kebijakan tentang pelestarian sado. Karena baginya sado juga merupakan salah satu alat tranportasi tradisional yang memiliki nilai budaya yang tinggi untuk  daerah Jambi.

Harapan Mardi adalah, semoga alat transportasi seperti sado ini tidak punah, pemerintah harus memberikan sebuah perhatian bagi para Kusir Sado, untu bisa beroperasi kembali, sehingga alat tradisional ini pun tidak punah. “Kami berharapa alat tradisional ini bisa dilestarikan,” kata Mardi.(*/lee)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar