Sejak kehadiran
anak dari perusahaan besar Sinarmas,
yakni PT Wira Karya Sakti (WKS) di Provinsi Jambi disinyalir telah menimbulkan banyak masalah. Khususnya terkait konflik sosial dalam pengeloalaan Sumber
Daya Alam (SDA). Sengketa pengelolaan atas tanah sebagai sarana
tata produksi dan tata kelola masyarakat kaum tani kini terus bergejolak. PT WKS disebut sebagai “biang kerok” persoalan
sengketa tersebut.
DONI SAPUTRA,
Jambi
KEHUTANAN: Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Irmansyah
Rachman (tengah) dan Humas PT WKS Kurniawan (paling kanan) dalam salah satu
acara Kehutanan di Jambi. DOK/HARIAN JAMBI
|
Kini masyarakat sulit memperoleh lahan untuk menjalani dan
meneruskan mata rantai dalam kehidupan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan
demi kelangsungan kehidupan. Adanya kesenjangan
sosial yang mengakibatkan pengangguran dan kemiskinan petani yang dulunya
memiliki lahan garapan, namun saat ini para petani tidak lagi memiliki lahan
garapan.
Kini masalah
itu telah dilaporkan oleh masyarakat kepada
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi. Selain itu, dengan data yang cukup kuat mereka
juga membeberkan masalah tersebut kepada media cetak untuk memberikan informasi
kepada seluruh masyarakat dan Pemerintah
Provinsi Jambi.
Dalam
penyelidikannya, Kejati Jambi telah memanggil beberapa orang terkait
persoalan itu yakni Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Irmansyah
Rachman dan beberapa staf lainnya untuk menjelaskan terkait konsensi yang
dimiliki oleh PT WKS tersebut.
Asisiten Tindak
Pidanan Khususu (Aspidsus) Mayroby mengatakan, Kadishut
Provinsi Jambi diperiksa dan dimintai keterangannya oleh pihak kejaksaan. Pemeriksaannya
dilakukan Rabu pekan lalu selama tiga jam
setengah, yang dimulai dari pukul 13.30 WIB sampai sekitar pukul 17.00 WIB.
“Kadishut
hari ini diperiksa. Dia dimintai keterangan terkait status tanah 2.000
hektare, yang kemarin dilaporkan masyarakat," ujar Masyrobi.
Namun, masalah
keterangannya selanjutnya apakah lahan yang digarap oleh PT WKS itu ada yang
berada di luar konsensi belum dijelaskan secara
detail. Namun dikatakan Masyrobi, selain status lahan, Kadishut Provinsi Jambi
ini dimintakan keterangan terkait hasil dan pengelolaan lahan.
“Kalau itu di luar izin,
harus dikembalikan ke negara,” ujarnya.
Untuk
pemeriksaannya, Kadishut Provinsi Jambi ini diperiksa di ruangan Kepala Seksi
Penyidikan (Kasidik) mengenakan baju PNS cokelat. Dia dimintai keterangannya
tentang status lahan dahulu. Setelah itu, apabila memang terjadi pelanggaran
akan telusuri tentang dana reboisasi dan pelanggaran-pelanggaran lain yang
mengakibatkan kerugian negara.
Sebelumnya hal
ini juga pernah dikatakatan oleh Kepala Kejati Jambi Syaifuddin Kasim.
Kejati Jambi akan menyelidiki
kasus dugaan penyerobotan atau pembalakan hutan di luar
izin HPHTI yang diberikan oleh Kementerian Kehutanan RI,
seluas 2.000 hektare yang dilakukan oleh PT WKS
di Kabupaten Batanghari.
Kemudian, pihak
Penyelidik Kejati Jambi juga telah melakukan koordinasi kepada pihak Polda
Jambi, terkait penanganan kasus tersebut agar tidak terjadi tumpang tindih. “Masalah
PT WKS belum ditangani Polda, berarti
penyelidikannya kita lanjutkan," kata Kajati Jambi
Syaifuddi Kasim.
Dia juga
mengatakan, bahwa penyelidik telah memanggil dua dinas yang bersangkutan
terkait kasus tersebut, yakni Dinas Perkebunan dan Kehutanan Provinsi Jambi
pada Jumat (28/12/13) lalu. Namun
panggilan tersebut belum diindahkan oleh dua kepala SKPD tersebut dikarenakan
belum adanya di posisi dari gubernur untuk memenuhi
panggilan.
Kemudian dengan
alasan tersebut, surat pemanggilannya sudah dikirimkan kepada Gubernur Jambi
Hasan Basri Agus (HBA) untuk meminta izin, karena ini merupakan kepala
dinas. Selanjutnya, jika tidak juga
memenuhi panggilan penyidik maka pihak kejaksaan akan mendatangi kantor atau
rumah kedua kepala dinas tersebut. “Surat ke
gubernur juga sudah kita kirimkan,
tergantung dianya mau apa nggak,” katanya.
Menurut Syaifuddin
Kasim, bahwa yang menjadi pokok permasalahkan
dalam kasus ini adalah pengelolaan lahan yang di luar izin HPHTI. Kemudian
masalah pemasukan yang mereka terima seharusnya ke kas negara bukan untuk
perusahaan. “Ini kan
gak ada izinnya, berarti ke negara
dong uangnya,” katanya.
PT WKS Tak Lakukan Reboisasi
Ada lagi yang
menjadi permasalahan, yakni ada kewajiban dari pihak PT WKS kepada negara, yang
tidak mereka laksanakan. Dalam hal ini adalah sistem reboisasi. “Seharusnya
kan penanaman kembali,” katanya.
Dengan beberapa
unsur-unsur dan item-item yang tidak
penuhi itu, maka pihak kejaksaan memanggil Kadis
Kehutanan dan Perkebunan
untuk dimintai keterangannya. “Apakah ada atau
tidak penyimpangannya, kita mintai keterangan mereka nanti,” ungkapnya.
Namun di tengah
penyelidikan kasus ini, pihak Kejati Jambi, membatalkan pemanggilan terhadap
Kapala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Provinsi Jambi Tagor Mulia Nasution. Padahal sebelumnya sempat diagendakan jadwal pemeriksaannya
dan telah dilayangkan surat pemanggilannya oleh Kejati Jambi.
Namun belakangan
dibatalkan. “Ya, kita tidak jadi meminta keterangan
dari Dinas Perkebunan. Karena berdasarkan keterangan pihak dari Dinas Kehutanan
bahwa HTI itu bukan wewenang dari Dinas Perkebunan,” kata Asisten
Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jambi Masyroby.
“Jadi
HTI itu semuanya wewenangan dan tupoksi dari kehutanan, bukan wewenang dari
Dinas Perkebunan,”
katanya. Dengan
alasan tersebut kejaksaan hanya akan meminta keterangan
dari pihak dari kehutan saja.
Kejati Panggil Saksi
Pada Senin (13/1/14)
lalu, tim penyelidik di Kejati Jambi memanggil lima
orang saksi diantaranya Kepala Sub
Bidang (Kasubid) di Dinas Kehutan Provinsi Budi
Maryanto (bidang bina usaha dan produksi), Wahyu Widodo (bidang penataan
kawasan hutan), Agus Riyanta (bidang perlindungan hutan).
Kemudian dua
orang lainnya adalah Agus Rizal (bidang bina hutan dan konvervasi alam) dan
Erizal (Balai Inventarisasi dan pemetaan hutan). Namun di antara
lima orang ini, satu orang diantaranya dikabarkan tidak datang memenuhi
panggilan.
Selain dari
kehutanan, kejati juga bakal memanggil pihak-pihak lain. Namun saat ini belum
dikalukan, karena masih mengintensikan untuk meminta keterangan dari pihak Dinas
Kehutanan. “Kita minta keterangan kehutan dulu,
nanti baru yang lain,” ujarnya. (*/lee)
***
Penyelidik Kejati Tak Kompak Usut PT WKS
Para aktivis LSM
mengaku memiliki bukti pengukuran dengan alat global positioning system (GPS). Mereka menduga kerugian
negara akibat penguasaan lahan tanpa izin itu sekitar Rp 210
miliar dari penjualan kayu dan Rp 30 miliar dana reboisasi (DR). Angka itu
belum termasuk dana provisi sumber daya hutan (PSDH).
Namun, dalam
pengusutan kasus ini, para petinggi Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi menunjukkan
gelagat tidak kompak. Tidak kompaknya penyidik kejati
ini terbaca dari pernyataan salah satu penyelidik yang turun ke Batanghari
bersama tim dari Dinas Kehutanan Provinsi Jambi beberapa waktu lalu.
Seorang
penyelidik yang menyatakan tidak ada masalah dengan lahan PT WKS di Batanghari.
“Ya, sudah dilakukan investigasi dan tidak ada masalah,” ujarnya.
Kepala Dishut
Provinsi Jambi Irmansyah yang dihubungi secara terpisah juga mengatakan
demikian. Irmansyah yang saat dihubungi melalui telepon mengaku sedang berada
di Jakarta mengatakan bahwa laporan yang disampaikan oleh LSM FAAKI dan Gemphal
sudah di-cross check ke lokasi.
Saat turun
bersama tim Kejati Jambi, kata dia, tidak ditemukan adanya lahan
di luar izin yang disebutkan mencapai luas 2.000 hektare. “Semua titik
koordinat dan tapal batasnya tidak ada masalah. Dan tidak ada temuan perambahan
di luar izin," ungkap Irmansyah.
Aktivis LSM
FAAKI dan Gemphal Yuni Yanto yang dikonfirmasi soal hasil tim Kejati Jambi dan
Dishut Provinsi Jambi itu mengaku kaget. “Kita memiliki
data lengkap terkait temuan itu, mulai dari luas perambahan yang di luar izin
sampai pada titik koordinatnya. Apa dasar penyidik menyebutkan tidak ada
masalah. Kita punya data lengkap kok,” kata Gemphal
YY.
Kemudian Gemphal YY lalu menemui Kasi Penkum Kejati Jambi Iskandar yang memfasilitasinya bertemu dengan
Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Wito di ruangan Wakil Kajati, karena
Aspidsus tidak berada di tempat.
Mendengar
penjelasan Yanto, Wito pun terkejut dan langsung balik bertanya. “Siapa
penyidiknya? Tolong kasih tahu saya,"
ujar Wito kepada Yanto dan beberapa rekannya.
Wito yang
mengenakan baju koko dan peci hitam lalu meminta FAAKI dan Gemphal menyerahkan
data yang mereka miliki selama ini. Secara tidak langsung Wito menyebutkan
bahwa selama ini penyidik belum memiliki data dan hanya melakukan investigasi
berdasarkan informasi dari media massa.
“Saya
minta nanti FAAKI serahkan data temuannya. Akan kita cocokkan,"
ujarnya. Wito juga berjanji akan meminta penyidik dan Dishut
untuk bertemu dengan aktivitas LSM guna membahas masalah ini. Nanti saya minta melalui Kasi Penkum untuk
memanggil tiga pihak tersebut, untuk dilakukan hearing," tegas Wito.
Kajati Jambi
Berang
Mendengar
informasi tersebut dari media cetak, Kajati Jambi Syaifuddin
Kasim lantas mengumpulkan para penyelidiknya dan mempertayakan
masalah tersebut. Karena dia merasa kasus tersebut belum
selesai diselidiki dan belum ada kesimpulan.
Terkait
masalah pengecekan dari pihak Kejati Jambi yang
turun ke lapangan langsung dan memerintahkan untuk terus menyelidiki kasus
tersebut.
Menurut
informasi di Kejati Jambi, bahwa
pengecekan yang dilakukan oleh penyelidik, baru sebatas mencari titik koordinat
yang ditentukan oleh pihak WKS dan Dishut terkait izin HPHTI perusahaan. Kemudian setelah itu baru
diselidiki lebih lanjut, apakah titik koordinat tersebut berada di luar atau di
dalam izin.
“Belum
selesai itu, nanti kita lanjutkan. Itulah cara penyelidiknya mungkin, tanya
dulu dan baru dicocokkan lagi nanti,” katanya.
Alhasil, dari
perintah Kajati Jambi, tim penyelidik telah mengagendakan
untuk pemanggilan terhadap Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Batanghari Suhabli.
Kemudian juga, saat itu dikonfirmasi masalah pemeriksaan terkait kasus PT WKS,
Masyroby mengatakan tidak ada pemeriksaan.
Kemudian
diketahui juga setelah tersiar berita di Harian Jambi, bahwa pihak Kejati Jambi waktu
itu memeriksa pihak dari kehutanan dan PT WKS. Terkait kasus
ini, penyelidik Kejati Jambi telah memanggil
sejumlah pihak terkait, salah satunya Kepala Dishut Irmansyah. LSM Gemphal
melaporkan, PT WKS memegang SK Menhut Nomor 346/Menhut-II/2004 untuk menguasai
lahan seluas 293.812 hektare di Provinsi Jambi. Namun, ada indikasi PT WKS
menguasai areal di luar izin tersebut, yang diduga berlangsung sejak 2005.
Para aktivis LSM
mengaku memiliki bukti pengukuran dengan alat global positioning system (GPS). Mereka menduga kerugian
negara akibat sekitar Rp 210 miliar dari penjualan kayu dan Rp 30 miliar dana
reboisasi (DR). Angka itu belum termasuk dana provisi sumber daya hutan (PSDH). (nui/lee) (BERITA INI TELAH NAIK CETAK DI HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 29 JANUARI 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar