Senin, 14 Mei 2012

Saksi Kuatkan Jambi di Sidang MK Soal Pulau Berhala

Pemukiman warga Jambi di Pulau Berhala. Foto Dok Rosenman Manihuruk

Jambi, BATAKPOS

Saksi dalam sidang lanjutan uji materi Undang-Undang No 31 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Lingga Provinsi Kepulauan Riau di Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pulau Berhala, menguatkan kalau Jambi pemilik pulau tersebut. Para saksi ahli dan keterangan pemerintah pusat yang dihadirkan dalam persidangan semuanya menguatkan kepemilikan Pulau  Berhala sebagai bagian dari wilayah administrasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jambi.

Kuasa hukum Pemprov Jambi, Andi M Asrun di Jambi, Minggu (13/5) mengatakan, saksi-saksi ahli yang dihadirkan memberikan kesaksian yang menguatkan. Salah satu saksi ahli yang dihadirkan dari Bagian Topografi TNI Angkatan Laut RI menyatakan jika yang namanya Selat Berhala itu bukan hanya Pulau Berhala dengan Pulau Sumatera saja. 
“Tidak benar klaim dari pihak Provinsi Kepri selama ini. Dilihat dari pemeriksaan, maka gugatan kita makin kuat dengan pendapat para ahli dan bukti-bukti dari angkatan laut. Itu yang paling utama,”kata Andi.

Diisebutkan, dari keterangan para saksi-saksi hingga pada sidang ke tiga Rabu (9/5), sudah jelas dan mereka menyatakan bahwa Pulau Berhala itu masuk ke wilayah administratif Provinsi Jambi. “DPR juga menyatakan hal itu. Sidang ke-empat di MK itu akan dilanjutkan pada tanggal 23 Mei 2012, mendatang dengan agenda pemeriksaan saksi dan ahli dari Provinsi Kepri,”katanya.


Pihaknya tetap optimis, Pulau Berhala masuk Jambi. “Kalau pemerintah pusat saja mengatakan masuk Provinsi Jambi. Tentu sebagai negara kesatuan maka pemerintah pusat yang menentukan batas wilayah sesuai kewenangannya. Tentu kita sangat optimis gugatan dikabulkan majelis hakim MK,”ujarnya.

Sedangkan dalam website resmi MK, www.mahkamahkonstitusi.go.id juga dirilis berita terkait persidangan para Rabu (9/5), yang beragendakan mendengarkan keterangan ahli dari pihak pemohon perkara No. 32/PUU-X/2012, yaitu salah satunya Maruarar Siahaan.

Di hadapan panel hakim yang diketuai Achmad Sodiki, Maruarar Siahaan mengatakan pemekaran daerah yang masih berlangsung sampai sekarang sering membawa “komplikasi”. 

Mengguritanya masalah baru yang disebabkan pemekaran wilayah sesungguhnya dapat dielakkan jika pembentuk undang-undang konsisten mentaati peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dirinya juga mengajak daerah-daerah yang berdampingan dengan wilayah pemekaran untuk duduk bersama juga dapat “meredam” kompilasi tersebut.

Maruarar kemudian menitikberatkan penjelasannya pada rumusan kata “selat”  yang digunakan untuk menyatakan batas daerah kabupaten Lingga. “Rumusan ‘selat’ untuk menyatakan batas daerah kabupaten yang berdampingan yang berada di wilayah perairan, merumuskan yang tidak  jelas.

Padahal ‘batas’ satu daerah kabupaten harus mampu menunjukkan dengan pasti yurisdiksi Pemerintahan Daerah yang mempunyai kewenangan menyelenggarakan pemerintahan daerah di wilayah tersebut.

Menurut Maruarar, kejelasan rumusan “selat” menjadi penting karena hal itu berkaitan dengan praktik penggunaan wilayah perairan yang menyangkut wilayah perairan daerah lain atau wilayah perairan negara lain yang berbatasan.

Dan dengan kaitannya dengan pemekaran Kabupaten Lingga yang membawa dampak terhadap wilayah di provinsi lain, Maruarar menyatakan bahwa ketegasan dan kepastian hukum  yang menyangkut wilayah  merupakan  amanat undang-undang yang termuat dalam pembentukan wilayah baru.

“Satu undang-undang dilampiri peta, harus pula dilampiri titik koordinat. In casu dalam UU pembentukan Kabupaten Lingga, peta yang diperintahkan menjadi lampiran undang-undang tersebut juga tidak dibuat. Sehingga syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan pembentukannya sendiri telah menegasikan regulasi yang dibentuk dengan UU No. 31 Tahun 2003,”kata Maruarar.

Kemudian Maruarar melihat kata “selat” sebagai satu terminologi yang sifatnya umum dan bukan merupakan kosa kata yang juridis. Karena hal itu, kata “selat” tidak dapat menunjukkan kejelasan batas wilayah yang pasti.

“Kalau kata “selat” tetap akan dimasukkan sebagai satu pengertian yang secara tegas ditujukan untuk batas wilayah Kabupaten Lingga di sebelah Selatan, maka dalam bagian  “Ketentuan Umum” Undang-Undang Pembentukan Kabupaten Lingga, haruslah termuat satu rumusan pengertian “selat” yang ditujukan untuk menegaskan bahwa Pulau Berhala termasuk Kabupaten Lingga,”ujarnya.

Mempertimbangkan kata “mengingat” dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003, Maruarar mengkritisinya karena hanya mengkaitkannya dengan menyebut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau.

Tapi tidak menyebut Undang-Undang Nomor 54 Tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Sarolangun, Kabupaten Tebo, Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi, dan Provinsi Riau yang semuanya memiliki potensi persinggungan wilayah.

“Berdasarkan uraian tersebut, kami berpendapat bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2003 Tentang Pembentukan Kabupaten Lingga melanggar tatacara dan prosedur Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang menjadi derivasi norma konstitusi. Sehingga dianggap bertentangan dengan UUD 1945,” kata Maruarar. RUK

Tidak ada komentar: