Senin, 11 Desember 2017

DENNY SIREGAR

Denny Siregar
BERITAKU-Meski sejak 2014 saya telah mengenal sosok Denny Siregar, saya baru bertemu dengannya pada Januari 2017. Kami bertemu di sebuah cafe bilangan Cikini menjelang petang. Sore itu saya tiba lebih dulu. Tidak berapa lama Denny nongol dengan menyandang tas punggung. Celana jeans padu kaos oblong selalu melekat sehari-hari.


"Hei brooo... Udah lama.. Apa kabar?," sapa Denny ramah sambil memeluk hangat saya. Lanjut Cipika-cipiki.

Di pojokan cafe itu saya melihat sosok yang selama ini sering saya pikirkan. Apakah isi tulisannya serupa dengan karakter aslinya?

Mengalirlah cerita kami bak dua sahabat bercerita masa lalu, masa kini dan harapannya akan masa depan. Denny pernah hidup bergelimang materi. Apa yang tidak dia miliki? Semua Ia miliki. Hingga suatu waktu apa yang pernah ia miliki itu habis tak bersisa. Ia jatuh terjerembab ke dasar paling bawah. Terkulai. Tergeletak. Tak berdaya.

"Lalu apa yang membuatmu bangkit bro", tanya saya.

Denny menarik dalam rokoknya. Ia seruput kopi pelan. Matanya menerawang di langit-langit cafe. Lama Ia terdiam.

"Tuhan sayang saya bro. Tuhan dengan caranya mengajar saya untuk mengerti untuk apa saya hidup. Tuhan mengambil materi yang gue miliki agar saya tahu hidayah. Dan kini di sisa hidup ini, saya jadi tahu hidup ini bukan semata soal sukses mengejar materi. Hidup itu soal amal saleh kita bagi kemanusiaan. Manfaat kita bagi bangsa dan negara", ujarnya dengan mimik serius.

Tidak mudah bangkit setelah terpuruk. Ada teman saya pernah sukses dengan karir menjulang, lalu jatuh ke titik nadir. Ia sempoyongan lalu bergaul erat dengan narkoba. Tidak berapa lama saya dengar kematiannya over dosis. Tragis hidupnya.

Sejak kecil saya suka membaca. Membaca apa saja. Pikiran saya dibentuk oleh buku yang saya baca. Saya menyukai dunia detektive karena saya membaca buku Agatha Christie dan Sir Arthur Conan Dayle.

Saya menyukai petualangan alam bebas karena membaca buku Karl May. Buku itu saya baca saat masih remaja. Buku-buku itu membentuk karakter dan pola pikir saya.

Tulisan itu lebih tajam dari pedang. Begitu kata orang bijak. Melalui tulisan bermutu dan berani, tulisan itu mampu mengiris lapisan kebodohan, lapisan kekolotan, lapisan kebebalan, lapisan kemunafikan, lapisan kejahatan, lapisan tipu muslihat.

Denny Siregar salah satu penulis tajam dan berani itu. Denny bukan saja menelanjangi kaum munafik hingga kejang-kejang, lebih dari itu Denny memberi pengertian kepada banyak orang untuk berani bersuara. Untuk berani melawan radikalisme. Untuk berani mengangkat kepala melawan serbuan propaganda khilafah. Berani membela orang baik seperti Jokowi dan Ahok.

Saya berhutang banyak pada Denny. Jauh sebelum saya turun ke jalanan membela Ahok, saya banyak tercerahkan oleh tulisan Denny.

Saya semakin berani berhadapan dengan mereka yang hendak memenjarakan Ahok. Saya bertemu dijalanan dengan mereka pembenci Ahok. Hadap-hadapan di pengadilan, saya tidak gentar meski getaran suara caci maki sumpah serapah menghunjam telinga saya.

Seminggu menjelang keputusan pengadilan atas Ahok, saya kirim pesan WA kepada Denny. Saya memintanya hadir pada 9 Mei 2017 untuk memberi orasi kepada relawan. Saya membuat aksi 8000 Mawar Merah Putih Untuk Ahok. Juga ada Tugu Keadilan dan Kebebasan. Pendanaan saya cari dari penjualan buku Mengapa Aku Membela Ahok karya saya.

Denny tidak langsung jawab karena agendanya sudah full di tanggal 9 Mei. Saya tidak kehilangan akal. Tanpa persetujuannya, saya buat flyer. Isinya Denny Siregar dan Eko Kuntadhi akan hadir mengisi orasi pada aksi 8000 Mawar Merah Putih Untuk Ahok.

Tidak lama, Denny hubungi saya. Denny menyerah. Ia bersedia hadir di tengah-tengah ribuan relawan untuk memompa semangat.

Selasa lalu, Denny bersama Ustad Abu Janda Permadi Heddy Setya tampil di ILC. Usai tampil yang katanya di bawah harapan, seketika puluhan ribu pendukung HTI, FPI, GNPF MUI membanjiri lapak Denny dengan sejuta cemooh dan caci maki. Mereka mengeroyok FP Denny dengan kata-kata berkelas hewan binatang. Belum lagi meme-meme yang bikin ngilu melihatnya.

"Elo jago di medsos doang, di dunia nyata ayam sayur".

"Elo macam hiu di medsos, di dunia nyata kecebong".

"Elo jago nulis pemberani, giliran ngomong gemetaran kayak kerupuk masuk angin".

Serbuan pendukung Felix ini bikin saya tertawa geli. Benar-benar geli. Para pendukung Ustad Felix ini merasa menang berdebat. Membusung dada karena jagoannya membantai habis Denny dan Abu Janda. Mereka mabuk kepayang mengetahui nyali Denny itu ternyata jauh dibanding tulisannya.

Saya tersenyum kecil membaca ribuan hujatan merendahkan itu. Persis kelakuan banci yang merasa menang melawan Satpol PP saat berhasil kabur dari penggerebekan.

Bagaimana mungkin kamu berpikir nyali Denny kecil jika Denny berani turun menunjukkan batang hidungnya di tengah ribuan orang saat situasi panas pada 9 Mei 2017 di depan pengadilan Ahok?

Denny saat itu tampil menggelegar. Suaranya keras dan kencang. Urat lehernya tampak menegang. Saya berdiri di sampingnya. Saya memberinya mikrophone memintanya agar menaikkan moral relawan yang jatuh usai vonis Ahok.

Denny tampil bak Bung Karno muda. Sorot matanya menatap tajam para relawan yang lunglai meratapi Ahok. Denny terus berteriak lantang. Ia berdiri teguh dengan suara bergetar. Matanya berkaca-kaca. Sementara dihadapannya ribuan relawan menangis. Sebagian meraung-raung.

Ini orasi Denny.

"Saudara-saudaraku sebangsa setanah air. Vonis penjara Ahok bukan kiamat bagi kita. Ini awal perjuangan baru bagi kita. Bangkitlah saudaraku. Tegakkan kepalamu. Angkat dagumu. Kepalkan tanganmu. Berteriaklah keras. Kita akan lawan kezaliman dan intimidasi lebih keras lagi sekalipun langit runtuh".

"Bukan kekalahannya yang harus ditangisi, tapi ketidakmampuan kita untuk membawa tongkat estafet perjuangannya yang layak disesali. Saya muslim dan kita belajar darinya tentang bagaimana seharusnya seorang manusia berdiri tanpa rasa takut ketika kezaliman ada di depan mata".

Sekitar awal November lalu, saya bertemu Denny, Ustad Abu Janda dan Eko Kunthadi dan Kyai Enha. Kami bertemu menjenguk Ahok. Kami pergi ke Mako Brimob beramai-ramai, sekitar 20 orang. Kami kangen sama Ahok.

Pertemuan 30 menit bersama Ahok mempersatukan kami kembali. Ada yang datang dari Surabaya. Saya khusus datang dari Medan. Jarak dan waktu bukan rintangan buat kami untuk bertemu dengan teman2 terlebih bisa berjumpa Ahok yang menginspirasi kami.

Lepas bertemu Ahok, kami singgah di Mall Kota Depok. Mengisi kampung tengah, maklum perut keroncongan.

Di pojokan salah satu restoran mall itu kami ngumpul di meja panjang. Kehangatan begitu kental terasa. Kami yang tidak saling mengenal dipertemukan oleh getaran batin yang sama. Batin menyuarakan kebaikan dan kemanusiaan. Batin menyuarakan pesan kebangsaan yang menghormati kemanusiaan. Batin membela orang orang baik.

Saya duduk berhadapan dengan Denny. Di samping kanan saya duduk Ustad Abu Janda dan Eko Kunthadi. Di samping kiri saya ada Kyai Enha. Wajah Denny tampak terlihat pucat siang itu. Beda dengan penampilannya selama ini. Wajahnya agak sembab pucat.

"Beberapa waktu lalu saya Medical Chec-up. Kata dokter saya terkena jantung. Cukup parah juga bro", ujar Denny tenang setelah saya tanyakan mengapa wajahnya tampak pucat.

Lalu Denny mengeluarkan obat dari tasnya. Ia menunjukkan beberapa macam pil yang harus diteguknya. Sesekali ia menekan dada sebelah kanannya. Sering sakit. Oleh dokter Denny direkomendasikan harus dilakukan tindakan operasi. Tapi Denny memilih minum obat saja.

Selasa, 5 Desember 2017 Denny tampil di acara ILC. Ia diundang sebagai pegiat medsos. Mungkin karena Denny rutin mengkritik aksi radikalisme, HTI, persekusi FPI dan jargon politisisasi agama untuk merebut kekuasaan.

Saat melihatnya tampil di TV, saya bergumam lirih. Denny tampak pucat. Keringatnya mengalir. Uppsss... Ini berbahaya. Jantungnya masih bermasalah. Ia pasti akan bergetar bicara jika tekanan darahnya naik.

Sebagai sahabat, saya harus mengakui Denny bak Jenderal Soedirman. Berani bertarung meski paru-parunya hanya sebelah yang berfungsi. Jenderal Soedirman keras kepala memimpin gerilya pasukannya di tengah hutan melawan pasukan Belanda.

Denny tahu Ia sedang sakit. Denny tahu dirinya akan gemetar bicara karena jantungnya bermasalah. Tapi semua itu ditepikannya. Baginya lebih penting menyuarakan kebenaran meski bibirnya akan bergetar menyuarakan itu. Ia tidak peduli akan dirinya.

"Apa yang kau pikirkan bro? Kok nampak susah wajahmu?, tanya Denny di lantai 3 kantornya di bilangan Margonda Depok September lalu.

"Gue lagi mikir kasus Jessica bro", balas saya.

"Jangan pernah berhenti berjuang bro untuk orang kecil terpinggirkan. Teruskan perjuanganmu", ucap Denny menyemangati saya.

Hari ini saya dengar Denny berada di Bandung. Bergerak terus menggalang suara dengan teman2nya untuk terus berjuang bagi NKRI, Pancasila, Keadilan, kesetaraan dan kemanusiaan. Saya iri dengan Denny. Dengan kondisi jantungnya yang tidak begitu baik, Denny terus memompa semangat banyak orang.

Ia meninggalkan keluarganya. Ia menghabiskan waktunya agar banyak orang mengerti bahwa Indonesia tempat lahir kita sedang diracuni oleh HTI dan afiliasinya. Dan karena suara yang terus diteriakkan Denny itu maka pendukung HTI dan genknya terus mencoba membunuh Denny dengan bullyan, hujatan, caci maki, umpatan, cemooh dan meme-meme rendahan itu.

Apakah Denny takut?


Hanya kematian yang akan membungkam Denny bersuara. Denny salah satu orang yang punya nyali tiada lawan tiada banding untuk melawan gerombolan penghembus racun membusukkan NKRI dan Pancasila.

Gue bangga pernah mengenalmu Bro Denny.

Salam perjuangan penuh cinta

(FB-Birgaldo Sinaga)

Tidak ada komentar: