Permohonan perpanjangan kontrak karya yang diajukan PT Freeport
Indonesia terkait usaha penambangan tembaga di Papua, harus menjadi
momentum untuk menata kembali kontrak karya pertambangan di Tanah Air.
Muara dari penataan itu adalah terwujudnya tujuan berbangsa dan
bernegara sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, yakni memajukan
kesejahteraan umum.
Selain itu, penataan kontrak karya pertambangan juga wajib
mencerminkan pelaksanaan amanat pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Ayat
(3) berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Sedangkan, ayat (4) memberi mandat perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional.
Ketentuan dalam Konstitusi itu harus menjadi pijakan utama pemerintah
dalam menyusun kontrak karya pertambangan dengan siapa pun, baik
entitas bisnis dalam negeri maupun luar negeri, termasuk untuk
menyetujui permohonan
perpanjangan kontrak karya. Dengan demikian, jika
pemerintah kelak menyetujui permohonan perpanjangan kontrak karya
Freeport Indonesia harus menggambarkan era baru dalam negosiasi
pertambangan.
Kontrak baru bagi Freeport selama 20 tahun pascaberakhirnya kontrak
karya generasi kedua pada 2021, harus lebih memberi bobot besar bagi
terwujudnya kepentingan ekonomi nasional. Masyarakat harus bisa melihat
terpenuhinya unsur fairness bagi bangsa Indonesia, dan terutama rakyat
Papua.
Unsur fairness tersebut tak hanya menyangkut besaran royalti dan
pajak yang disetorkan menjadi penerimaan negara, tetapi juga menyangkut
alih teknologi, pembelian barang dan jasa dalam negeri untuk menunjang
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, penyerapan tenaga kerja Indonesia
dan warga lokal Papua pada posisi-posisi kunci di perusahaan,
terwujudnya prinsip akuntabilitas dalam produksi tembaga, emas, perak,
dan keseluruhan pendapatan Freeport dari pertambangan di Bumi
Cenderawasih, serta yang tak kalah pentingnya adalah komitmen untuk
mewujudkan green mining atau usaha pertambangan yang tidak merusak
lingkungan.
Oleh karenanya, mengingat kontrak karya yang kedua baru berakhir pada
2021, pemerintah harus memperjuangkan sebesar-besarnya kepentingan
ekonomi nasional saat bernegosiasi dengan Freeport, sebelum memutuskan
menyetujui atau menolak permohonan perpanjangan kontrak karya. Langkah
yang perlu dilakukan, antara lain, mengajukan peningkatan royalti hingga
tingkat maksimal, sehingga bangsa Indonesia diuntungkan demikian pula
Freeport juga mendapat keuntungan dalam tingkat yang wajar.
Di sisi lain, pemerintah juga harus bersikap lebih transparan dalam
proses negosiasi terkait perpanjangan kontrak karya ini. Selain sebagai
bagian dari akuntabilitas publik, langkah ini juga perlu untuk
meluruskan segala persepsi negatif yang ada di benak publik terkait
kehadiran Freeport di Tanah Air selama 48 tahun.
Kehadiran Freeport di Indonesia –tepatnya di Kabupaten Mimika, Papua—
tak bisa dimungkiri melahirkan persepsi negatif di benak masyarakat
Indonesia. Persepsi yang terbangun adalah Freeport mengeruk lebih banyak
daripada yang dia berikan ke pemerintah Indonesia dan rakyat Papua.
Meskipun dalam berbagai kesempatan manajemen Freeport memaparkan nilai
kontribusi yang tidak kecil, baik dari aspek ekonomi maupun sosial,
namun belum mampu membalikkan persepsi tersebut.
Pemerintah perlu menyadari hal ini, sehingga transparansi menjadi
kata kunci dalam proses negosiasi perpanjangan kontrak kali ini. Jika
pemerintah berkeyakinan kehadiran perusahaan tambang asal AS itu selama
ini memberi kontribusi positif dan perannya masih dibutuhkan bagi
pembangunan ekonomi nasional, menjadi kewajiban pemerintah untuk
menjelaskannya kepada masyarakat secara gamblang, tanpa ada yang
ditutupi apalagi dimanipulasi.
Dengan cara ini, jika kelak pemerintah menyetujui untuk memperpanjang
kontrak karya, tidak ada lagi keraguan di publik. Demikian pula, bagi
Freeport diharapkan akan dapat melangsungkan operasinya dengan lancar.
Transparansi itu sekaligus juga untuk menutup celah kemungkinan
upayaupaya di balik layar untuk meloloskan permohonan izin.
Tak bisa dimungkiri, rezim birokrasi kita saat ini masih belum steril
dari praktik koruptif. Penguasa, baik di pusat maupun di daerah,
terlampau mudah termakan suap oleh entitas bisnis besar di bidang
pertambangan. Kecurigaan adanya biaya-biaya siluman selalu membayangi
setiap izin usaha pertambangan.
Oleh karenanya, revolusi mental harus tercermin dari proses
persetujuan perpanjangan kontrak karya Freeport kali ini, dan kontrak
karya pertambangan lainnya. Kalaupun pemerintah menyetujui kontrak karya
generasi ketiga bagi Freeport, harus diyakinkan tidak ada biaya siluman
kepada oknum pejabat pemerintahan atau siapa pun, sehingga persetujuan
tersebut murni atas dasar pertimbangan kepentingan objektif bagi
pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Satu hal yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah adalah semangat
yang telah tertanam sejak lama, yakni terkait masa depan pengelolaan
tambang Freeport. Pemerintah juga perlu memastikan peta jalan agar suatu
saat bangsa Indonesia bisa mengambil alih operasional tambang itu
sepenuhnya. ***(Suarapembaruan.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar