Halaman

Sabtu, 24 Oktober 2015

Era Baru Kontrak Karya Freeport


Tambang Freeport di Papua. [Istimewa] Tambang Freeport di Papua. [Istimewa]

Permohonan perpanjangan kontrak karya yang diajukan PT Freeport Indonesia terkait usaha penambangan tembaga di Papua, harus menjadi momentum untuk menata kembali kontrak karya pertambangan di Tanah Air. Muara dari penataan itu adalah terwujudnya tujuan berbangsa dan bernegara sesuai amanat Pembukaan UUD 1945, yakni memajukan kesejahteraan umum.

Selain itu, penataan kontrak karya pertambangan juga wajib mencerminkan pelaksanaan amanat pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD 1945. Ayat (3) berbunyi, bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan, ayat (4) memberi mandat perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

Ketentuan dalam Konstitusi itu harus menjadi pijakan utama pemerintah dalam menyusun kontrak karya pertambangan dengan siapa pun, baik entitas bisnis dalam negeri maupun luar negeri, termasuk untuk menyetujui permohonan
perpanjangan kontrak karya. Dengan demikian, jika pemerintah kelak menyetujui permohonan perpanjangan kontrak karya Freeport Indonesia harus menggambarkan era baru dalam negosiasi pertambangan.

Kontrak baru bagi Freeport selama 20 tahun pascaberakhirnya kontrak karya generasi kedua pada 2021, harus lebih memberi bobot besar bagi terwujudnya kepentingan ekonomi nasional. Masyarakat harus bisa melihat terpenuhinya unsur fairness bagi bangsa Indonesia, dan terutama rakyat Papua.

Unsur fairness tersebut tak hanya menyangkut besaran royalti dan pajak yang disetorkan menjadi penerimaan negara, tetapi juga menyangkut alih teknologi, pembelian barang dan jasa dalam negeri untuk menunjang kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, penyerapan tenaga kerja Indonesia dan warga lokal Papua pada posisi-posisi kunci di perusahaan, terwujudnya prinsip akuntabilitas dalam produksi tembaga, emas, perak, dan keseluruhan pendapatan Freeport dari pertambangan di Bumi Cenderawasih, serta yang tak kalah pentingnya adalah komitmen untuk mewujudkan green mining atau usaha pertambangan yang tidak merusak lingkungan.

Oleh karenanya, mengingat kontrak karya yang kedua baru berakhir pada 2021, pemerintah harus memperjuangkan sebesar-besarnya kepentingan ekonomi nasional saat bernegosiasi dengan Freeport, sebelum memutuskan menyetujui atau menolak permohonan perpanjangan kontrak karya. Langkah yang perlu dilakukan, antara lain, mengajukan peningkatan royalti hingga tingkat maksimal, sehingga bangsa Indonesia diuntungkan demikian pula Freeport juga mendapat keuntungan dalam tingkat yang wajar.

Di sisi lain, pemerintah juga harus bersikap lebih transparan dalam proses negosiasi terkait perpanjangan kontrak karya ini. Selain sebagai bagian dari akuntabilitas publik, langkah ini juga perlu untuk meluruskan segala persepsi negatif yang ada di benak publik terkait kehadiran Freeport di Tanah Air selama 48 tahun.

Kehadiran Freeport di Indonesia –tepatnya di Kabupaten Mimika, Papua— tak bisa dimungkiri melahirkan persepsi negatif di benak masyarakat Indonesia. Persepsi yang terbangun adalah Freeport mengeruk lebih banyak daripada yang dia berikan ke pemerintah Indonesia dan rakyat Papua. Meskipun dalam berbagai kesempatan manajemen Freeport memaparkan nilai kontribusi yang tidak kecil, baik dari aspek ekonomi maupun sosial, namun belum mampu membalikkan persepsi tersebut.

Pemerintah perlu menyadari hal ini, sehingga transparansi menjadi kata kunci dalam proses negosiasi perpanjangan kontrak kali ini. Jika pemerintah berkeyakinan kehadiran perusahaan tambang asal AS itu selama ini memberi kontribusi positif dan perannya masih dibutuhkan bagi pembangunan ekonomi nasional, menjadi kewajiban pemerintah untuk menjelaskannya kepada masyarakat secara gamblang, tanpa ada yang ditutupi apalagi dimanipulasi.

Dengan cara ini, jika kelak pemerintah menyetujui untuk memperpanjang kontrak karya, tidak ada lagi keraguan di publik. Demikian pula, bagi Freeport diharapkan akan dapat melangsungkan operasinya dengan lancar. Transparansi itu sekaligus juga untuk menutup celah kemungkinan upayaupaya di balik layar untuk meloloskan permohonan izin.

Tak bisa dimungkiri, rezim birokrasi kita saat ini masih belum steril dari praktik koruptif. Penguasa, baik di pusat maupun di daerah, terlampau mudah termakan suap oleh entitas bisnis besar di bidang pertambangan. Kecurigaan adanya biaya-biaya siluman selalu membayangi setiap izin usaha pertambangan.

Oleh karenanya, revolusi mental harus tercermin dari proses persetujuan perpanjangan kontrak karya Freeport kali ini, dan kontrak karya pertambangan lainnya. Kalaupun pemerintah menyetujui kontrak karya generasi ketiga bagi Freeport, harus diyakinkan tidak ada biaya siluman kepada oknum pejabat pemerintahan atau siapa pun, sehingga persetujuan tersebut murni atas dasar pertimbangan kepentingan objektif bagi pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.

Satu hal yang juga perlu menjadi perhatian pemerintah adalah semangat yang telah tertanam sejak lama, yakni terkait masa depan pengelolaan tambang Freeport. Pemerintah juga perlu memastikan peta jalan agar suatu saat bangsa Indonesia bisa mengambil alih operasional tambang itu sepenuhnya. ***(Suarapembaruan.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar