Halaman

Rabu, 10 Juni 2015

Menelisik Tahun Politik Provinsi Jambi

Zumi Zola Silaturahmi di Batanghari

Jambi, MR-Pada tahun 2015, merupakan tahun politik Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) se Provinsi Jambi. Karena tahun ini ada Pemilukada serentak di Indonesia, termasuk di Provinsi Jambi. Provinsi Jambi, tahun politik ini berlanjut hingga Desember 2015, karena akan ada  pemilihan Gubernur Jambi, sejumlah Bupati dan Walikota Sungai Penuh periode 2016-2021.

Sekarang ini di Provinsi Jambi, semua warga Jambi diberbagai lapisan sosial, mulai dari kota hingga pedesaan mulai dihembuskan aroma politik. Mulai dari kaum terpelajar sampai rakyat di setiap sudut negeri Jambi.

Ketua CEPP (Central Election Political Party) Provinsi Jambi, Drs, As’ad Isma, M. Pd kepada Media Regional  baru-baru ini mengatakan, hampir semua terlibat secara emosional dalam pembicaraan dan diskusi tentang Pilkada, baik tentang partai politik, tentang figur calon kepala daerah hingga prediksi siapa Balon yang bakal terpilih dan duduk dikursi Bupati, Walikota dan Gubernur Jambi.


Begitu juga rakyat, punya prediksi sendiri, dengan melakukan survey ala mereka sendiri, siapa siapa yang tidak bakal terpilih pada tanggal Desember nanti. Prediksi masyarakat ini, tentunya berdasarkan asumsi yang terbangun dalam pikiran mereka, ada yang obyektif, namun tidak sedikit yang menilai secara subyektif, karena tentunya dipengaruhi hubungan emosional dan kekerabatan dengan sang sang caleg itu sendiri. 

Di sisi lain,  kata As’ad Isma, tahun politik ini, tidak hanya para balon yang berkompetisi secara ketat dalam menggalang suara. Warga masyarakat justru terkotak kotak sebagai akibat dukungan yang diberikan kepada balon yang berbeda.

“Polarisasi yang muncul di tengah masyarakat ini sedikit mengganggu kohesi sosial, malahan relasi sosial menjadi tegang, akibat pengkutuban politik di atas. Merenggangnya relasi sosial tentu disebabkan karena belum matangnya pemahaman demokrasi baik di tingkat calon anggota legislative,” ujarnya.

Maupun rendahnya pemahaman demokrasi di tingkat masyarakat. Kesemuanya itu berawal dari lemahnya edukasi poliitik yang didapatkan oleh parpol dan Anggota DPRD maupun kurangnya edukasi politik yang didapatkan masyarakat.

Disebutkan, partai politik di Indonesia memang masih belum maksimal menjalangkan fungsi edukasinya. akibatnya, yang terjadi masyarakat tidak terdorong partisipasi. Politiknya, justru yang terjadi adalah aktivitas mobilisasi masyarakat, tanpa diimbangi kesadaran politik.

“Implikasi lain dari mobilisasi politik ini adalah, pilihan politik masyarakat tidak lagi berdasarkan landasan obyektif, tidak lagi mempertimbangkan integritas  mempertimbangkan integritas, lapabilitas dan komitmen sang balon,” ujarnya.

Lemahnya pemahaman masyarakat tentang demokrasi, serta rendahnya pemaknaan tentang Pemilukada, juga mempengaruhi perilaku politik warga. Masyarakat cenderung pragmatis, dan melihat politik sebagai media transaksi, dan akibatnya uang dan materi menjadi ukuran bagi warga dalam memilih.

Menurut As’ad Isma, oleh karenanya politik uang bukan lagi menjadi isu, tapi menjadi fakta nyata. Inilah yang membuat Pemilukada seakan menjadi pesta tanpa makna, demokrasi tanpa substansi. Demokrasi dalam konteks pemilu bukanlah demokrasi substansial, demokrasi bersifat prosedural dan terkesan hanya seremonial dan formalitas belaka.     

Cacat demokrasi ini juga dipengaruhi oleh perilaku elit politik. Terutama para pemimpin politik, yang secara terbuka mempertontonkan penyalahgunaan aturan dan kekuasaan.  Hal ini dapat dibuktikan ketika setiap even pemilukada, termasuk pemilu legislatif ini.

“Para kepala daerah, yang sekaligus menjadi ketua partai politik memobilisasi pegawai negeri sipil untuk mendukung partai yang dipimpin oleh kepala daerah tempat dia bertugas. Biasanya mobilisasi PNS ini dilakukan menggunakan sistem sel. Dimana para kepala SKPD, diberi perintah untuk menggerakkan stafnya dalam menggalang dukungan politik. Padahal dalam Undang Undang Kepegawaian dengan tegas mengatur tentang netralitas pegawai negeri sipil terhadap partai politik, termasuk netralitas pegawai negeri sipil dalam konteks Pemilu legislatif, pemilihan bupati, pilkada Gubernur dan Pemilihan Presiden,” katanya.

Persoalan ini bila kita uraikan, tentu berpangkal dari lemahnya pemahaman tentang UU kepegawaian, juga lemahnya sanksi terhadap pegawai negeri sipil yang melanggar Undang Undang tersebut.

Sejak zaman Zulkifli Nurdin jadi Gubernur kala itu, para PNS di lingkungan Pemerintah Provinsi, dan SKPD diarahkan untuk mendukung PAN. Begitu juga dilingkungan Pemkab Tanjung Jabung Timur, semua pegawai negeri sipil diarahkan untuk mendukung PAN.

Pertanyaannya adalah, apakah HBA selaku Ketua DPD Demokrat Provinsi Jambi dan beberapa bupati yang juga ketua partai demokrat, akan menggerakkan PNS untuk mendukungnya di Pilgub mendatang?

Atau apakah Walikota Jambi, SY Fasha yang juga petinggi Golkar dan Cek Endra Bupati Sarolangun yang juga Wakil Ketua Golkar Provinsi Jambi akan menggerakkan PNS untuk memenangkan pasangan calon Gubernur Jambi?

Atau juga apakah Zumi Zola selaku Bupati  Tanjung Jabung Timur yang juga Ketua DPW Partai Amanat Nasional Provinsi Jambi akan menggerakkan PNS dilingkungan Pemkab Tanjabtim untuk memenangkan Pilgub nantinya?


Nah, jawabannya bisa iya dan bisa tidak. Namun hasil Pemilukada Desember 2015 nanti mencerminkan hal itu. Kemudian pertanyaan berikutnya, apakah perilaku elite politik yang menjadi ketua partai politik, mulai dari zaman Zulkifli Nurdin itu salah? Tentu jawabannya terpulang kepada subyektifitas penilaian publik. Apakah gaya Zulkifli Nurdin ini akan diikuti oleh HBA dan Bupati lainnya, sejarahlah yang akan mencatatnya.(Lee)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar