JAMBI-Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 14
April 2015 memutuskan untuk mempertahankan BI Rate sebesar 7,50%, dengan suku
bunga Deposit Facility 5,50% dan Lending Facility pada level 8,00%. Keputusan
tersebut sejalan dengan upaya untuk mencapai sasaran inflasi 4±1% pada 2015 dan
2016, serta mengarahkan defisit transaksi berjalan ke tingkat yang lebih sehat
dalam kisaran 2,5-3% terhadap PDB dalam jangka menengah.
Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko eksternal dan
domestik serta secara konsisten memperkuat bauran kebijakan moneter dan
makroprudensial, termasuk memperkuat langkah-langkah stabilisasi nilai tukar
Rupiah, guna menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan.
Selain itu, koordinasi dengan Pemerintah juga terus
diperkuat dalam pengendalian inflasi dan defisit transaksi berjalan, serta
mendorong percepatan reformasi struktural. Dalam kaitan ini, Bank Indonesia
mendukung langkah-langkah Pemerintah memperkuat stabilitas makroekonomi dengan
melanjutkan berbagai reformasi struktural, termasuk berbagai langkah perbaikan
neraca transaksi berjalan dan percepatan berbagai proyek infrastruktur yang
diperlukan dalam mendorong pertumbuhan yang berkesinambungan.
Demikian dijelaskan Kepala Unit Komunikasi dan Koordinasi
Kebijakan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Jambi, Aya Sophia dalan
surat elektroniknya yang diterima Harian Jambi, Rabu (14/4) sore. Menurutnya, pemulihan
ekonomi global terus berlangsung secara lamban, sejalan dengan perbaikan
ekonomi AS yang menjadi penopang pertumbuhan ekonomi global tidak sekuat
perkiraan sebelumnya.
Perkembangan ekonomi AS tersebut sebagian dipengaruhi oleh
dampak negatif penguatan dolar AS terhadap permintaan ekspornya. Sejalan dengan
itu, the Fed merevisi ke bawah proyeksi makroekonomi AS serta mengindikasikan
kemungkinan kenaikan Fed Fund Rate yang lebih kecil dan waktu mulainya yang
lebih lambat dari perkiraan awal.
Disebutkan, sebaliknya, perekonomian Eropa diperkirakan
membaik tercermin pada indikator konsumsi dan produksi. Hasil FOMC terakhir dan
pembelian aset oleh ECB telah mendorong penurunan yield dan perbaikan arus
investasi portfolio di Emerging Markets, termasuk Indonesia. Di kawasan Asia,
perekonomian Jepang diperkirakan akan mengalami perbaikan secara moderat
sementara perekonomian Tiongkok berada dalam tren melambat akibat investasi
yang menurun. Harga komoditas global masih berada pada level yang rendah,
meskipun harga minyak dunia sedikit mengalami kenaikan terkait dengan
perkembangan geopolitik di Timur Tengah.
“Di sisi domestik, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada
triwulan I-2015 diperkirakan masih moderat dan mulai kembali meningkat pada
triwulan II-2015. Konsumsi diperkirakan masih cukup kuat pada triwulan I-2015,
sementara ekspor dan investasi mengindikasikan kecenderungan yang melambat.
Masih cukup kuatnya konsumsi terutama didorong konsumsi swasta akibat
terkendalinya inflasi,” katanya.
Sementara itu, pengeluaran pemerintah yang diharapkan
menjadi stimulus pertumbuhan diperkirakan masih tumbuh terbatas sesuai pola
realisasinya di awal tahun dan baru akan meningkat mulai triwulan II-2015 dan
seterusnya. Di sisi lain, ekspor diperkirakan masih terkontraksi, walaupun
mulai mengalami perbaikan, sejalan dengan masih lemahnya harga komoditas dan
melambatnya permintaan dunia, khususnya untuk produk manufaktur.
Pertumbuhan investasi diperkirakan masih tertahan, meskipun
akan meningkat pada triwulan II-2015 dan triwulan-triwulan berikutnya seiring
dengan semakin meningkatnya belanja modal pemerintah pada proyek-proyek
infrastruktur. Hal ini sejalan dengan pemantauan kemajuan tahapan konstruksi
dari berbagai proyek infrastruktur yang ada. Ke depan, terdapat risiko bahwa
pertumbuhan ekonomi pada 2015 dapat mengarah ke batas bawah kisaran 5,4-5,8%.
Pencapaian tingkat pertumbuhan tersebut akan dipengaruhi seberapa besar dan
cepat realisasi berbagai proyek infrastruktur yang direncanakan Pemerintah,
selain konsumsi yang tetap kuat dan ekspor yang secara gradual akan membaik.
Aya Sophia menjelaskan, Neraca perdagangan pada Maret 2015
diperkirakan kembali mencatat surplus, terutama didorong oleh surplus
non-migas. Pada Maret 2015, surplus neraca perdagangan Indonesia diperkirakan
meningkat dibandingkan pencapaian surplus pada bulan sebelumnya, terutama
ditopang oleh surplus neraca non-migas.
Sementara itu, pada periode Januari-Maret 2015 defisit
neraca migas mengalami penurunan sebagai implikasi dari reformasi subsidi yang
ditempuh Pemerintah. Bank Indonesia meyakini surplus neraca perdagangan pada
Januari-Maret 2015 ini sesuai dengan prakiraan defisit transaksi berjalan
triwulan I 2015 yang akan jauh lebih rendah dari triwulan IV 2014.
Dari neraca finansial, meskipun aliran modal masuk asing
mengalami tekanan pada bulan Maret akibat meningkatnya ketidakpastian di pasar
keuangan global, secara akumulatif aliran masuk portfolio asing ke pasar
keuangan Indonesia hingga Maret 2015 mencapai 3,5 miliar dolar AS. Dengan
perkembangan tersebut, cadangan devisa pada akhir Maret 2015 tercatat sebesar
111,6 miliar dolar AS, setara dengan 6,9 bulan impor atau 6,6 bulan impor dan
pembayaran utang luar negeri Pemerintah, di atas standar kecukupan
internasional sekitar 3 bulan impor.
Nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi seiring penguatan
dolar AS terhadap hampir seluruh mata uang dunia. Pada Maret 2015, secara
rata-rata Rupiah melemah 2,37% (mtm) ke level Rp13.066 per dolar AS. Secara
point to point, Rupiah terdepresiasi 1,14% dan ditutup di level Rp13.074 per
dolar AS. Meskipun melemah, depresiasi Rupiah lebih terbatas dibandingkan
pelemahan mata uang negara emerging market lainnya.
“Tekanan terhadap Rupiah mereda dan mengalami apresiasi
sejak pertengahan bulan Maret pasca pertemuan FOMC dengan pernyataannya yang
cenderung dovish serta upaya stabilisasi nilai tukar Rupiah yang dilakukan Bank
Indonesia. Hal ini juga sejalan dengan aliran masuk portfolio asing ke
Indonesia yang kembali meningkat pada April 2015 paska pengumuman hasil FOMC
dan pembelian aset oleh ECB. Ke depan, Bank Indonesia tetap konsisten untuk
menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah sesuai kondisi fundamentalnya,” kata Aya
Sophia.
Kata Aya Sophia, inflasi pada Maret 2015 tetap terkendali
dan mendukung pencapaian sasaran inflasi 2015 yakni 4,0±1%. Setelah mengalami
deflasi pada dua bulan pertama 2015, inflasi bulan Maret tercatat sebesar 0,17%
(mtm) atau 6,38% (yoy) yang bersumber dari kelompok administered price. Meski
demikian, secara umum inflasi pada bulan Maret terkendali, ditopang oleh
kelompok volatile food yang masih mengalami deflasi dan inflasi inti yang
melambat. Dijelaskan, inflasi administered prices meningkat didorong oleh
kenaikan harga bensin premium, solar, LPG 12 kg, serta harga bensin pertamax,
seiring dengan kenaikan harga minyak dunia dan pelemahan nilai tukar Rupiah.
Sementara itu, volatile food mengalami deflasi, ditopang membaiknya pasokan
bahan pangan, termasuk beras yang mulai memasuki musim panen.
“Di sisi lain, perkembangan inflasi inti menurun dari bulan
lalu (0,34%, mtm) menjadi 0,29% (mtm) atau 5,04% (yoy), seiring permintaan
domestik yang masih moderat dan ekspektasi inflasi yang terkendali serta
penurunan harga komoditas global nonminyak. Ke depan, Bank Indonesia akan terus
mencermati berbagai faktor risiko yang dapat mempengaruhi inflasi, terutama
terkait dengan perkembangan harga minyak dunia, dampak pelemahan nilai tukar
Rupiah, kemungkinan penyesuaian administered prices, dan pasokan bahan pangan.
Dalam rangka menjaga inflasi tetap berada pada sasaran yang ditetapkan, Bank
Indonesia senantiasa memperkuat koordinasi kebijakan dengan Pemerintah baik di
tingkat pusat maupun daerah,” ujar Aya Sophia.
Stabilitas sistem keuangan tetap solid ditopang oleh
ketahanan sistem perbankan dan relatif terjaganya kinerja pasar keuangan.
Ketahanan industri perbankan tetap kuat dengan risiko kredit, likuiditas dan
pasar yang cukup terjaga, serta dukungan modal yang kuat. Pada Februari 2015,
rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) masih tinggi, sebesar 21,3%,
jauh di atas ketentuan minimum 8%.
Sementara itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL)
tetap rendah dan stabil di kisaran 2,0%. Dari sisi fungsi intermediasi,
pertumbuhan kredit tercatat 12,2% (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya
sebesar 11,5% (yoy).
Sedangkan kondisi likuiditas perbankan lebih dari memadai
seperti tercermin pada pertumbuhan DPK pada Februari 2015 tercatat sebesar
15,2% (yoy), meningkat dari bulan sebelumnya sebesar 14,2% (yoy). Bank
Indonesia memandang bahwa pertumbuhan kredit akan meningkat mulai triwulan
II-2015 dan seterusnya, sejalan dengan meningkatnya aktivitas ekonomi dan
kondisi likuiditas perbankan yang memadai.
“Secara keseluruhan pada tahun 2015 pertumbuhan DPK dan
kredit diperkirakan akan meningkat sehingga mencapai, masing-masing, sebesar
14-16% dan 15-17%. Untuk mendukung pencapaian tersebut, Bank Indonesia akan
segera mengkomunikasikan kebijakan makroprudensial yang lebih akomodatif,” ujar
Aya Sophia.
Hal itu, antara lain, dilakukan melalui (i) perluasan
cakupan definisi simpanan dengan memasukkan surat-surat berharga yang
diterbitkan bank dalam perhitungan LDR dalam kebijakan GWM-LDR, (ii) pemberian
insentif berupa pelonggaran batas atas LDR bagi bank yang telah memenuhi
kewajiban penyaluran kredit ke UMKM secara lebih awal. Di sisi lain, kinerja
pasar modal juga membaik, tercermin pada IHSG yang masih berada dalam tren
meningkat. (Lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar