Keluarga Bp St Jannerson Girsang. IST FB |
Oleh: Jannerson Girsang
Peran jurnalis sungguh sangat besar dalam menegakkan
kebenaran, sebagai salah satu dari empat pilar demokrasi. Mereka adalah penyuara
kebenaran, pembela orang-orang lemah, sehingga masyarakat lemah terlindungi,
merasa aman dan tercerdaskan.
Jurnalis adalah orang yang istimewa. Mereka memiliki
informasi yang tak dimiliki kebanyakan manusia biasa; memiliki akses ke segala
lapisan masyarakat dan segala tingkatan sumber informasi, mulai dari informasi
umum, hingga informasi yang off the record.
Pagi-pagi mereka bisa mewawancarai seorang tukang becak,
malamnya diundang makan malam di hotel berbintang dan bertemu dengan seorang
Panglima berpangkat Jenderal. Besoknya, bertemu dengan tamu negara, Kepala
Badan Intelijen negara asing. Malam besoknya, mendengar curhat seorang mantan
pejabat tinggi, yang sakit hati kepada pemerintah yang berkuasa.Jurnalis
memiliki cerita di balik berita yang sangat berharga dalam menegakkan
kebenaran.
Jurnalis adalah Orang-orang Terhormat
“I became a journalist because I did not want to rely on
newspapers for information” kata Christopher Eric Hitchens (13 April 1949 – 15
December 2011), seorang penulis, jurnalis Inggeris-Amerika.Seseorang disebut
jurnalis karena dia tidak hanya mempercayai apa yang tertulis di media,
informasi umum yang diketahui masyarakat luas. Dia memiliki informasi baru
yang berbeda.
Mereka adalah pemberita fakta yang benar, mampu menceritakan
sesuatu yang belum pernah di dengar publik, dengan cerdas: mencerahkan dan
menghibur.Selain itu, jurnalis mengetahui hidden agenda (agenda tersembunyi)
dari pesan yang disampaikannya. Dia mengetahui "Berita di balik
Berita".
Salah satu kehebatan jurnalis adalah mampu membedakan mana
yang pantas dan tidak pantas diberitakan. Mereka punya kode etik. Jurnalis
Indoensia memiliki kode etik jurnalis yang harus dipatuhi setiap jurnalis.
Kalau melanggar, mereka akan dihukum pembaca.
John Pilger mengatakan: “It is not enough for journalists to
see themselves as mere messengers without understanding the hidden agendas of
the message and the myths that surround it.”
Para jurnalis adalah orang-orang terhormat, orang yang
sangat dihargai, sangat istimewa. Cerita mereka tak ternilai harganya.
Saking kagumnya kepada jurnalis, Mahatma Gandhi, seorang
pencinta persamaan hak dari India membedakan jurnalis dengan masyarakat
lainnya. “I believe in equality for everyone, except reporters and
photographers,” katanya.
Membekali Diri Pengalaman Jurnalis Cerdas dan Pemberani
Di era 1990-an, ketika kami dipersiapkan menjadi jurnalis
sebuah majalah, dalam pembekalan jurnalistik selalu muncul dua nama teladan
jurnalis cerdas dan berani yakni Bernstein dan Bob Woodward. Dari Indonesia
biasanya dimunculkan nama Mochtar Lubis.Kisah mereka sunggung menggugah dan
memberi semangat besar dalam melaksanakan tugas-tugas jurnalistik. Mereka
adalah jurnalis penyuara kebenaran.
Bernstein dan Woodward misalnya. Di usia muda, mereka
berhasil membongkar kasus Watergate. sKasus Watergate—melibatkan Presiden
Nixon, merupakan skandal politik besar yang terjadi di Amerika Serikat pada
1970-an.Skandal itu mencuat di Kantor Pusat Komite Partai Demokrat di Washington,
D.C pada 17 Juni 1972, berkat peran kedua jurnalis muda itu. Skandal ini
akhirnya memaksa Presiden Nixon mengundurkan diri pada 9 Agustus
1974—satu-satunya peristiwa pengunduran diri seorang Presiden AS hingga saat
itu.
Di tengah usaha Presiden Nixon mencoba menutupi
keterlibatannya, kedua jurnalis ini dengan gigihnya menyuarakan kebenaran yang
mereka miliki, meski menantang bahaya.Saat kasus itu terjadi keduanya masih
berusia muda. Carl Bernstein, pris kelahiran 14 Pebruari 1944 (saat membuka
kasus itu berusia 27 tahun), dan Robert Upshur “Bob” Woodward kelahiran 26
Maret 1943 (saat itu berusia 28 tahun).Melalui media tempat mereka bekerja The
Washington Post, keduanya memberitakan hal-hal terpenting dalam Skandal
Watergate.
Skandal itu menghasilkan dakwaan, pengadilan, dan penahanan
empat puluh tiga orang, dan puluhan di antaranya adalah pejabat administrasi
Nixon. Penggantinya Gerald Ford, kemudian mengeluarkan pengampunan kepada
Nixon.
Atas perannya mengungkap Skandal itu, Bernstein menerima
banyak penghargaan, dan pekerjaannya membuat The Washington Post memperoleh
penghargaan Pulitzer untuk Public Service, 1973. Bernstein sendiri adalah
seorang jurnalis investigasi Amerika dan penulis nonfiksi. Dia bekerja di The
Washington Post sejak 1971 sebagai reporter, dan sekarang adalah associate editor
harian itu.
Keduanya mampu membuat sejarah jurnalistik yang
menginspirasi banyak jurnalis dunia. Jika jurnalis mau dan memiliki dedikasi
yang tinggi untuk menegakkan kebenaran, maka sehebat apapun penguasa yang tidak
benar pasti akan jatuh! Masyarakat luas merindukan jurnalis-jurnalis pembela
kebenaran, pembela orang-orang lemah.
Indonesia juga memiliki jurnalis-jurnalis cerdas dan berani
mengungkap kebenaran. Dalam pelatihan jurnalistik yang saya ikuti, biasanya
disebut-sebut nama Mochtar Lubis, jurnalis pemberani Indonesia yang membongkar
kasus Pertamina di era 1970an, hampir bersamaan waktunya dengan kasus Watergate
di Amerika.
Meski tidak sekaliber kasus besar yang diungkap kedua
jurnalis Amerika itu, Mochtar Lubis, adalah salah satu icon jurnalis cerdas dan
pemberani dari Indonesia. Mochtar Lubis melalui harian yang dipimpinnya
Indonesia Raya berhasil membongkar kasus Pertamina yang melibatkan Ibnu
Sotowo.Kisah Mochtar Lubis selalu menjadi cerita yang awet dan menginspirasi
setiap jurnalis.
Kisah kecerdasan dan keberaniannya “tidak lekang oleh
panas, tidak lapuk oleh hujan”. Harian Merdeka misalnya, dalam penerbitannya 21
Oktober 2013, menulis topik tentang kisah Mochtar Lubis.“Mochtar Lubis lewat
Harian Indonesia Raya berusaha menguliti dan membongkar kasus korupsi di
Pertamina yang dilakukan Ibnu Sutowo. Dua koper bukti dugaan korupsi di perusahaan
milik negara itu disodorkan, tapi toh Ibnu Sutowo tetap melenggang kangkung
dan menikmati hasil korupsinya,” ungkap Harian Merdeka, 21 Oktober 2013.
Muchtar Lubis di tengah-tengah penegak hukum yang enggan
menyeret Ibnu Sotowo dalam kasus Pertamina, dengan berani memberitakan pelanggaran
yang dilakukan mantan Direktur Pertamina itu."Tidak ada penegak hukum yang
saat itu memeriksa atau memanggil dia atas berita korupsi yang kami beritakan.
Tidak ada, dia seperti kebal hukum," ujar mantan Redaktur Pelaksana
Harian Indonesia Raya, Atmakusumah, seperti dikutip redaksi merdeka.com.
Mendengar bang Bahrul Alam (Mantan Redaktur Pelaksana
Majalah Prospek, dan terakhir Koordinator Liputan Seputar Indonesia, RCTI)
mengisahkan dua nama jurnalis Amerika itu, serta nama Mochtar Lubis, seketika
muncul semangat baru: jurnalis harus cerdas dan berani. Kita merasa kecil,
tidak ada apa-apanya, dan harus belajar banyak dari pengalaman mereka!
Mudah-mudahan jurnalis kita pernah mendengar kisah itu, sehingga mereka
memiliki semangat yang membara dalam menegakkan kebenaran.
Penutup
Kita berharap, jurnalis Indonesia adalah orang-orang cerdas
dan pemberani, menguasai dan mampu memahami persoalan di tengah-tengah
masyarakat, UU No 44/199 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik.Mereka adalah
orang-orang terhormat,. Di saat pejabat takut menegakkan kebenaran, dan
cenderung menyembunyikan kasus seperti Presiden Nixon, jurnalis adalah
benteng terakhir rakyat.
***Penulis adalah mantan wartawan majalah Ekonomi Prospek,
kini penulis biografi. Tinggal di Medan. Email: girsangjannerson@gmail.com.(Rubrik Opini
Analisa, Selasa, 17 Maret 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar