Hasil Analisis Survey Postur Pemilih Jambi
HBA Vs Zola di Pilgub Jambi
Berdasarkan hasil riset yang dilakukan IDEA INSTITUT
terhadap wartawan cetak, online dan TV di Kota Jambi pada tanggal 04-09 Januari
2015 lalu, pemilih menganggap yang memiliki kemungkinan maju/ menjadi di Pilgub, yakni Hasan Basri Agus (HBA) 78
persen dan Zumi Zola 62 persen.
R MANIHURUK, Jambi
Sedangkan yang lainnya memperoleh keyakinan responden
dibawah 20 persen, seperti Sutan Adil Hendra 16%, Cek Endra 8%, Sukandar 6%,
dan Edi Purwanto 4%. Sehingga masyarakat yakin hanya HBA dan Zola yang memiliki
peluang besar untuk maju dalam Pilgub
Jambi mendatang.
Menurut Jafar Ahmad Periset dari Idea Institute yang dirilis
, Rabu (11/2) menyebutkan, pada awalnya dimaksudkan untuk menanyakan pendapat
wartawan yang berdomisli di Kota Jambi terhadap kondisi riil masyarakat Kota
Jambi terkait dengan persepsi mereka terhadap Pilgub Jambi mendatang.
Apakah wartawan bisa membaca perkembangan politik dan
persepsi politik masyarakat atau tidak? Hasil riset yang melibatkan 50 orang
wartawan sebagai responden ini, diyakini bisa memprediksi fenomena sosial
politik seputar Pilgub.
“Namun untuk lebih jauh, terutama memprediksi pilihan
individu masyarakat Jambi, hasil temuan ini perlu ditinjau lebih lanjut. Karena
pada saat menjawab pertanyaan mengenai siapa yang dipililih oleh masyarakat
Jambi, sebagian responden menjawab sama dengan jawaban mereka sendiri,” kata Jafar
Ahmad.
Itu artinya terlihat ada upaya “memaksa” kehendak publik
agar sesuai dengan persepsi personal responden. Namun, hal ini lagi-lagi perlu
diteliti lebih jauh.
Sehingga, untuk sementara, sebelum ada penelitian lain yang
menyanggah atau mengkonfirmasi hasil riset ini, IDEA INSTITUTE berkesimpulan
hasil riset ini hanya menggambarkan opini kelompok wartawan saja, atau
komunitas/ kelompok lain yang profilnya mirip wartawan, seperti aktivis LSM,
para dosen, dan mungkin sebagian kelompok aktivis mahasiswa.
Menurut Jafar Ahmad, hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas
wartawan mempercayakan suara mereka untuk HBA, yakni sebesar 50 persen.
Sementara itu, mereka hanya memberikan 10 persen ke Zumi Zola dan sisanya 40
persen belum menyatakan pilihan atau tidak tahu.
Ketika wartawan diminta memprediksi/ menebak suara
masyarakat, sebanyak 46 persen memprediksi HBA, 16 persen Zola, dan 38 persen
tak tahu. Dari situ nampak bahwa suara masyarakat mengikuti suara wartawan,
artinya bahwa wartawan cenderung menyamakan persepsi masyarakat dengan pilihan
mereka sendiri. Bagaimana sebenarnya yang terjadi di tengah-tengah pemilih pada
umumnya? perlu ada penelitian lain untuk membuktikannya.
“Seperti telah disebutkan di atas, karena riset ini memotret
pemilih komunitas tertentu, maka hasil riset tidak berpretensi (berupaya)
menggeneralisir suara masyarakat Kota Jambi secara keseluruhan yang heterogen.
Namun, hasil riset ini bisa dijadikan pedoman untuk melihat komunitas lain yang
posturnya sama dengan wartawan. Misalnya postur LSM, Dosen, Praktisi politik
dan sejenisnya. Hasil riset ini juga akan disampaikan kepada Tim Pemenangan HBA
dan Zumi Zola,” kata Jafar Ahmad. (lee)
Pemilih menganggap yang memiliki kemungkinan maju/
menjadi di Pilgub, yakni HBA (78 persen)
dan Zola (62 persen), sedangkan yang lainnya memperoleh keyakinan responden
dibawah 20 persen, seperti sutan adil (16%), Cek Endra (8%), Sukandar (6%), dan
Edi Purwanto (4%) . Sehingga masyarakat yakin hanya HBA dan Zola yang memiliki
peluang besar untuk maju dalam Pilgub
Jambi mendatang.
Terhadap HBA, responden mempersepsikan HBA punya beberapa
kelebihan yakni: kesantunan, religius (agamis), visioner, dan berpengalaman.
Dari seluruh hal positif ini, faktor “pengalaman” yang paling menonjol pada
diri HBA.
Sedangkan terhadap Zola, mereka mempersepsikan Zola cuma
punya satu kelebihan yang menonjol yakni gagah/menawan saja. Tak ada kelebihan
lain yang nampak dominan.
Terhadap hasil pada poin 2 dan 3, analisis ini memberi
kesimpulan, bahwa ada kemungkinan, para pemilih akan bergeser pilihannya, jika
citra terhadap calon ini bergeser pula. Maksudnya, jika Zola mampu
meningkatkan kemampuan lain dan menghilangkan bahwa kelebihannya cuma ganteng,
tidak ada yang lain atau dengan kata lain bila Zola bisa mempersepsikan bahwa
dia punya kelebihan lain, maka pemilih bisa saja bergeser. Tentu Zola harus
bekerja keras tingkatkan kapasitasnya yang lain tersebut. Zola harus membuat
publik mempersepsikan dirinya, di samping menawan, juga seorang yang visioner,
pendombrak dan seterusnya.
Hasil riset menunjukkan bahwa orang hanya tahu kelebihan
Zola cuma ganteng/ menawan saja, bahkan
sampai 78 persen, kelebihan lain, seperti visioner, pendobrak, dan religius,
bahkan 15 persen saja tidak sampai.
Begitupun dengan HBA. Tim harus bisa memastikan dan
mempertahan persepsi publik bahwa HBA memang memiliki kelebihan-kelebihan yang
dipersepsikan oleh para wartawan ini (berpengalaaman, Santun, Visioner, dan
agamis ). Kelebihannya yang lain juga perlu ditingkatkan.
Seterusnya, survey ini juga mencoba untuk menggali beberapa
kekurangan yang dimiliki oleh dua calon di atas. Kekurangan HBA, yang nampak
paling menonjol adalah campur tangan keluarga (44 persen), staf lemah (22
persen), program bagus tapi tak terdengar (20 persen), program tak tuntas (18
persen), beberapa kekurangan lain tidak tampak menonjol,seperti korupsi tidak
terlihat.
Analisisnya, meskipun
orang beranggapan campur tangan keluarga besar, namun, di sisi lain mereka
yakin bahwa Zola cuma punya satu kelebihan, yakni menawan saja, maka itu tak
akan berpengaruh terhadap pilihan. Pemilih HBA tak terpengaruh dengan anggapan
negatif ihwal campur tangan keluarga, birokrasi lemah dan sebagainya. Hal ini
mungkin terjadi, ketika jika mereka hanya tahu bahwa kelebihan Zola cuma
ganteng saja. Dan, ditambah lagi dalam waktu bersamaan mereka tahu, bahwa
disamping ganteng, kelemahan Zola juga banyak. Misalnya terlalu muda (54
persen), gagal bangun Tanjabtim (42 persen), tergantung ZN (32 persen). Maka
pemilih HBA semakin sulit bergeser.
Serangan kepada incumbent, siapapun dia biasanya pada tiga
area, pertama program yang kurang baik, kedua pada dinasti politik (nepotisme/
campur tangan keluarga), atau moral kepemimpinan. Untuk itu, semua tim incumbent
harus memahami ini sebagai sebuah sinyal bahaya, bagaimana menarasikan calonnya
ke publik.
Maka, kesimpulannnya HBA harus pastikan semua kelemahan zola
itu betul adanya dan begitupun sebaliknya, zola supaya mengubah postur pemilih,
bahwa dia bukan seperti yang dipersepsikan para wartawan.
Bagi tim HBA, yang
harus dilakukan adalah berupaya keras untuk mendesain postur/ profil pemilih
agar persepsinya sesuai dengan Postur yang sama dengan kelompok wartawan atau
sejenisnya.
Sedangkan yang harus dilakukan tim Zola, mendesain sebuah
Postur pemilih, supaya persepsi mereka tidak sama dengan kelompok wartawan.
Sehingga kelemahan zola harus dihilangkan, paling tidak dikurangi. Disi lain
harus bisa tonjolkan kelebihan lain. Orang harus tahu, walau muda tapi banyak
prestasi.
Kelemahan penantang baru selalu dipotret dari satu sisi
utama. Sudah mampukah dia menjadi lebih baik dari incumbent. Tim sukses Zola
harus menjadikan ini sebagai pertanyaan besar agar dalam melakukan gerakan
menjadi lebih aware terhadap isu-isu negatif itu tadi.
Intinya adalah bahwa tim pemenangan, baik HBA maupun Zola,
harus merekrut orang-orang yang mampu menarasikan kandidatnya dengan tepat,
agar postur pemilihnya sesuai dengan postur ideal yang diinginkan.
Terakhir, hasil riset ini tentu banyak kekurangan. Untuk
memastikan riset ini betul atau salah, diperlukan penelitian lain untuk
mengujinya. Untuk itu, IDEA INSTITUTE mengundang peneliti lain yang tertarik,
melakukan riset dalam berbagai bentuk untuk mengujinya, misalkan dengan FGD
atau riset ulang kepada kelompok wartawan atau yang sejenis. Intinya, sebagai
peneliti saya meyakini riset ini tentu memiliki kemungkinan salah. (Sumber: Jafar
Ahmad Periset dari Idea Institute)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar