Halaman

Rabu, 14 Januari 2015

Sederet Jenderal Polisi Di Tangan KPK

Logo KPK (google)
LOGO KPK.GOOGLE
JAKARTA-"Menetapkan tersangka Komjen BG (Budi Gunawan) dalam kasus tersangka dugaan tindak pidana korupsi penerimaan janji saat yang bersangkutan menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri 2003-2006 dan jabatan lainnya di Mabes Polri," kata Ketua KPK Abraham Samad dengan tegas dalam konferensi pers di gedung KPK Jakarta, Selasa (13/1).

Suara Abraham yang memang keras itu bertambah lugas saat menyampaikan penetapan jenderal bintang tiga Komjen Pol Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi.

"KPK telah melakukan penyelidikan sejak Juli 2014. Sudah setengah tahun lebih kita lakukan penyelidikan terhadap kasus transaksi mencurigakan atau tidak wajar terhadap pejabat negara," ungkap Abraham yang dalam.

KPK menetapkan Budi Guanawan sebagai tersangka dugaan penerimaan hadiah atau janji dengan sangkaan melanggar pasal 12 huruf a atau b, Pasal 5 ayat (2), Pasal 11, atau Pasal 12B Undang-Undang No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengenai pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk melakukan atau tidak melakukan terkait jabatannya.

Bila terbukti melanggar pasal tersebut dapat dipidana penjara seumur hidup atau penjara 4-20 tahun kurungan ditambah denda minimal Rp200 juta dan maksimal Rp1 miliar.

Pada tanggal 12 Januari 2015 dalam forum ekspose yang dilakukan penyelidik, penyidik, tim jaksa dan seluruh pimpinan akhirnya memutuskan perkara tersebut naik ke tahap penyidikan," tambah Abraham.

Konstruksi kasus


Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto menjelaskan bahwa KPK sudah mendapatkan informasi mengenai transaksi mencurigakan milik Budi Gunawan sejak Juni 2010.

"KPK mendapat informasi mengenai transaksi mencurigakan ini dari masyarakat pada Juni-Agustus 2010. Kami melakukan kajian dan pulbaket (pengumpulan bahan keterangan), dan pada 2012 hasil kajiannya kami periksa kembali," kata Bambang.

Padahal sesungguhnya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan sudah menyerahkan laporan transaksi mencurigakan Budi kepada Mabes Polri sejak 26 Maret 2010, tapi KPK tidak pernah mendapatkan laporan itu.

"KPK tidak pernah mendapatkan surat dari PPATK (Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan) karena surat PPATK mengenai hasil analisis transaksi keuangan mencurigakan itu dikeluarkan 23 Maret 2010 dan dikiirimkan ke kepolisian RI. Dari situ kemudian ada surat balasannya yaitu surat dari Bareskrim pada 18 Juni 2010, mengenai pemberitahuan hasil penyelidikan transaksi mencurigakan perwira tinggi Polri atas nama Irjen BG (Budi Gunawan) pada saat itu," ungkap Bambang.

Tapi KPK tetap melanjutkan pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) pada Juli 2013.

"Ekspose pertama dipimpinan Pak AS (Abraham Samad) pada Juli 2013, kami memperkaya dengan resume pemeriksaan LHKPN pada Juli 2013 dan sudah dijelaskan akhirnya dibuka lidik sekitar pertengahan tahun lalu dan hasil lidik itu yang dijadikan dasar untuk dilakukan ekspose (gelar perkara)," ungkap Bambang.

KPK meyakini memiliki dokumen-dokumen yang menjadi bukti bahwa Budi terkait erat dengan transaksi mencurigakan tersebut.

"Kami juga punya dokumen hasil pemeriksaan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara). Ini salah satu yang jadi dasar yang diperkaya oleh investigasi penyelidikan tertutup maupun penyelidikan strategis lainnya dilakukan KPK. Kami juga sudah membuat bagan. Kami mau tunjukkan bahwa ini tidak main-main," ungkap Bambang sambil membentangkan sekilas kertas putih besar.

Namun Bambang belum membuka siapa orang-orang yang terkait dengan transaksi mencurigakan Budi maupun jumlah transaksi yang mencurigakan milik Budi.

"Siapa orang dan transaksi dan caranya, mohon maaf belum bisa dijelaskan karena yang bisa dijelaskan adalah hasil ekspose dan dikeluarkan sprindik tapi kami pastikan nanti akan dirumuskan di dakwaan," tegas Bambang.

Budi, menurut Abraham, mendapatkan rapor merah saat penelurusan rekam jejak calon menteri Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo.

"Sekarang waktunya KPK memberi penjelasan diri karena selama ini KPK coba menahan diri bahwa yang bersangkutan Komjen BG (Budi Gunawan) pada saat pencalonan menteri, saat itu KPK sedang tangani kasusnya, KPK memberi catatan merah?. Jadi sudah jauh-jauh kita sudah beri usulan bahwa yang bersangkutan sudah punya catatan merah. Jadi tidak elok kalau diteruskan (sebagai menteri)," kata Abraham.

Bambang bahkan mengakui bahwa KPK sebenarnya sudah berusaha bertemu dengan Presiden Joko Widodo pasca menetapkan Budi sebagai tersangka.

"Kami minta waktu pasca ekspose, tapi sampai tadi pagi belum dapat konfirmasi mengenai waktu (pertemuan) dan kami tidak ingin hasil ekspose ini harus menunggu bertemu presiden dulu baru diumumkan. Jadi seperti biasa diumumkan dulu, dan kalau ada kesempatan akan pergi ke presiden dan memberitahukan sudah ada sprindik (surat Perintah penyidikan)," jelas Bambang.

Abraham membantah bahwa penetapan Budi sebagai tersangka terkait dengan pengajuan namanya sebagai calon tunggal Kapolri oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (9/1) untuk menggantikan Jenderal (Pol) Sutarman yang akan memasuki masa pensiun pada Oktober 2015.

"Kalaupun ada tangapan orang awam hal ini terkait (pengajuan nama Kapolri) kita tidak bisa melarang orang berasumsi, tapi sekali lagi kami jelaskan kejadian ini hanya kebetulan saja, ini tidak ada yang luar biasa, kami melakukan equality before the law," ungkap Abraham.

Pengajuan tersebut tanpa meminta penelusuran rekam jejak kepada KPK dan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK).

Jendera bintang tiga tersebut merupakans beka ajudan Megawati Soekarnoputri saat menjadi wakil presiden (1999-2004) dan juga ajudan Megawati saat menjabat sebagai 2001-2004.

Karir Budi pada 2004-2006 adalah menjadi Kepala Biro Pembinaan Karyawan Polri, selanjutnya Kepala Sekolan Lanjutan Perwira Lembaga Pendidikan dan Latihan 2006-2008, kemudian Kapolda Jambi (2008-2009), Kepala Divisi Pembinaan Hukum (2009-2010), kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri pada 2010-2012, hingga Kapolda Bali (2012).

Dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) terakhir yang dilaporkan Budi Gunawan pada 26 Juli 2013 saat menjadi kandidat Kapolri, harta kekayaannya mencapai Rp22,66 miliar dan 24.000 dolar AS.

Jumlah tersebut meningkat tajam dari laporan terakhir Budi pada 2008 saat masih menjabat Kapolda Jambi yaitu sebesar Rp4,68 miliar.

Kekayaan yang dimiliki mantan ajudan Presiden Megawati itu terdiri dari harta tidak bergerak senilai Rp21,54 miliar berupa tanah dan bangunan yang berada di Jakarta Selatan, Bogor, Subang, Bandung, dan Bekasi.

Selanjutnya harta bergerak berupa alat transportasi senilai Rp475 juta ditambah peternakan dan perkebunan sejumlah Rp40 juta.

Harta bergerak lainnya yang dilaporkan berupa logam mulia, batu mulia dan barang-barang antik sejumlah Rp215 juta. Sedangkan untuk giro, setara kas mencapai Rp383,44 juta ditambah 24.000 dolar AS.

Budi Gunawan pun angkat bicara mengenai penetapannya sebagai tersangka.

"Kita ikuti proses, kita lihat nanti," kata Budi di rumahnya di bilangan Pancoran Jakarta Selatan, seusai menerima kunjungan anggota Komisi III bidang hukum DPR.


Meski Indonesia Corruption Watch pernah melaporkan transaksi mencurigakan milik Budi dan anaknya senilai Rp54 miliar ke Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dan KPK pada 2013 lalu, Budi mengaku sudah mempertanggungjawabkan harta kekayaannya itu di Bareskrim Polri.

"Sudah dipertanggungjawabkan dengan Bareskrim pada 2010, dari Bareskrim itu juga adalah produk hukum," ungkap Budi.

Budi pun mengaku tetap akan menghadiri uji kelayakan dan kepatutan atas dirinya di DPR.

"Kalau diundang saya akan hadir, besok (Rabu, 14/1) saya akan menjelaskan mengenai rekening gendut itu di DPR," jelas Budi.

Budi pun mengikuti uji kelayakan dan kepatutan sebagai calon tugal Kapolri di Komisi III DPR RI, Jakarta, Rabu. Saat itu Budi menegaskan hartanya diperoleh secara sah dan bisa dipertanggung jawabkan.

"Seluruh harta saya diperoleh secara sah dan bisa dipertanggung jawabkan, tidak ada niat saya untuk merekayasa apa yang saya miliki," kata Budi Gunawan di Ruang Komisi III DPR RI.

ICW sendiri memberikan apresiasi terhadap langkah KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi.

"Presiden Jokowi dan Kapolri harus menghormati dan mendukung langkah KPK. Kasus yang menimpa Budi Gunawan adalah urusan personal dan tidak ada kaitannya dengan institusi Polri. Jokowi juga harus membatalkan penunjukkan BG (Budi Gunawan) sebagai calon Kapolri. DPR juga harus menghentikan proses fit and proper test calon kapolri," kata Divisi Monitoring Hukum dan Peradilan ICW Emerson Yuntho.

Jenderal Polisi Ketiga

Komjen Pol Budi Gunawan adalah jenderal polisi ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, sebelumnya ada mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Korlantas) Irjen Pol Djoko Susilo dan mantan Wakakorlantas Brigjen Pol Didik Purnomo yang menjadi tersangka dalam kasus korupsi pengadaan "driving" simulator uji klinik pengemudi roda dua (R2) dan roda empat (R4) tahun anggaran 2011.

Penetapan Djoko, jenderal bintang dua, sebagai tersangka korupsi bahkan sempat memicu pengepungan kantor KPK di Kuningan oleh sejumlah polisi dari Polda Bengkulu dan Polda Metro Jaya karena ingin menjemput penyidik kasus tersebut yaitu Novel Baswedan dan mengkriminalisasi Novel.

Pengepungan pada 5 Oktober 2012 tersebut memicu kedatangan ratusan aktivis antikorupsi dan mahasiswa untuk melindungi institusi KPK dan mencegah terjadinya cicak vs buaya jilid II, hasilnya KPK menang.

Menang dalam artian dukungan masyarakat ke KPK dan juga menang dalam perkara Djoko Susilo karena Djoko dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang oleh pengadilan negeri Tipikor Jakarta Pusat pada 3 September 2013 dengan memvonis Djoko selama 10 tahun dan pidana denda 500 juta subsider 6 bulan kurungan karena merugikan keuangan negara hingga Rp121,8 miliar karena penggelembungan alat simulator. Djoko mendapatkan keuntungan hingga Rp32 miliar karena perbuatan tersebut.

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta pada 18 Desember 2013 bahkan menambah vonis Djoko menjadi hukuman penjara selama 18 tahun dan denda sebesar Rp1 miliar subsidair 1 tahun kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp32 miliar subsidair 5 tahun penjara.

Selanjutnya pengadilan tinggi juga menghukum Djoko dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik, artinya meluluskan seluruh tuntutan jaksa penuntut umum KPK.

Puncaknya, dalam putusan kasasi, majelis hakim MA menguatkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menghukum Djoko Susilo. MA juga menghukum Djoko dengan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu untuk memilih dan dipilih dalam jabatan publik meski tidak dengan suara bulat.

Putusan tersebut dijatuhkan majelis kasasi yang dipimpin Ketua Kamar Pidana MA Artidjo Alkostar dengan hakim anggota MS Lumme dan M Askin pada 4 Juni 2014 lalu.

Jenderal lain yang juga menjadi tersangka di KPK adalah bawahan Djoko, jenderal bintang satu Brigader Jenderal Pol Didik Purnomo yaitu mantan Wakil Kakorlantas Polri.

Didik baru menghadapi sidang dakwaan pada 11 Desember 2014 lalu dan didakwa memperkaya diri sendiri Rp50 juta dari proyek yang sama dengan proyek yang menjerat Djoko. Didik merupakan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek senilai Rp198 miliar tersebut.

Sidang di pengadilan Tipikor Jakarta masih bergulir hingga saat ini dengan memeriksa sejumlah saksi.

Saat ini masyarakat pun menunggu konsistensi KPK dalam menangani para jenderal tersebut demi rasa keadilan masyarakat. [Ant/SP]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar