Selama 17 Kabut Asap Selalu Terjadi
Jambi-Seorang aktivis lingkungan Saur Marlina atau Butet
Manurung merasakan kesulitan masyarakat, khususnya Jambi, Risu dan Sumatera
Selatan akibat dampak kabut asap kebakaran lahan dan hutan. Melihat pemberitaan
dari media cetak televisi dan media online, Butet manurung tergerak untuk
membuat petisi untuk menggugah Presiden Joko Widodo dan Siti Nurbaya, Menteri
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.
Butet Manurung dalam isi petisi yang diterima Harian Jambi,
Jumat (7/11) menyebutkan, lihat koran atau TV akhir-akhir ini? Asap menutupi
Sumatera, akibat kebakaran hutan dan gambut!
Potret besarnya ngeri! Tiap tahun 3,8 juta hektar hutan
hilang. Tahun ini, negara rugi Rp 80 triliun, 10 kali lipat anggaran Provinsi
Riau, Rp 8,84 triliun (BNPB, 2014). Warga Riau sudah 17 tahun hidup dengan
polusi dan penyakit akibat asap.
Tapi saya tak menyerah. Saya baru saja melahirkan anak
pertama. Kelak, semoga ia belajar bersama anak-anak rimba seperti juga saya
belajar dan tinggal lama di pedalaman hutan “Sokola Rimba”.
Sebelum hutan dan rawa gambut ‘berasap’ lagi, sebelum para
pelaku lari dari hukum, kita suarakan agar Jokowi #BlusukanAsap ke Riau.
Saya tak rela hidup “Orang Rimba” dan masyarakat pedalaman
Indonesia yang hidupnya bergantung pada hutan tergusur dari tanah leluhur. Saya
tidak rela, masyarakat Sumatera hidup dengan asap. Kamu juga kan?
Seorang warga asli Riau, pak Abdul Manan, membuat petisi
agar Presiden Jokowi segera #BlusukanAsap! Yuk mulai bersuara untuk
lingkunganmu. Tandatangani petisi Abdul Manan di bawah ini!
Demikian ajakan Butet Manurung untuk mengajukan petisi
kepada Presiden Jokowi dalam menanggulangi kabut asap berkepanjangan di
Sumatera.
Berikut petikan petisi yang dirilis Butet Manurung. Saya sering
mendengar keluhan orang kota mengenai asap yang dimana-mana, mulai dari asap
rokok hingga mobil. Tapi di kampung saya di Riau, hingga desa-desa terkecil,
kita betul-betul hidup dengan kabut asap!
Tahun ini belum berakhir saja, kami sudah mengalami hampir 6
bulan asap tebal di sekitar kita; Januari - Maret, Juni - Agustus.
Perusahaan-perusahaan sawit itu bisa (dan memang) evakuasi. Kami, masyarakat
lokal, mau evakuasi kemana? Ini rumah kami.
Di luar Riau, mudah untuk melihat hal ini sebagai bencana.
Tapi untuk masyarakat lokal, bencana ini sudah dianggap wajar. Bagaimana tidak,
kebakaran hutan gambut terus terjadi selama 17 tahun berturut-turut! Tepat
sejak izin-izin perkebunan sawit dan HTI diterbitkan secara masif.
Pak Jokowi, pernah melihat hutan gambut terbakar dan asap di
mana-mana? Menurut BNPB, dari Februari Maret kemarin, 24.000 hektar terbakar
dan 58.000 jiwa menderita pneumonia, asma kronis, iritasi mata dan kulit.
Belum lagi dampaknya terhadap anak-anak. Janin dalam
kandungan ibu terancam tumbuh tak optimal. Kegiatan sekolah bisa terhenti
berminggu-minggu. Tingkat intelegensi (IQ) anak-anak kita bisa menurun drastis!
17 tahun itu, 1 generasi. Revolusi Mental kita, Pak Jokowi,
terancam jadi cacat mental. Saya lihat di TV, ribuan orang turun ke jalan
merayakan terpilihnya Pak Jokowi sebagai presiden. Jutaan warga mulai berani
berharap. Saya, satu dari jutaan itu yang berharap banyak kepada Bapak.
“Orang suka bercerita, Pak Jokowi dekat dengan rakyat, dan
betul-betul mendengar. Suka “blusukan”. Masalah asap Riau memang rumit Pak,
tapi permintaan saya sederhana. Mau tidak Pak Jokowi blusukan ke tempat kami ?
Langsung melihat hutan gambut, kebakaran, dan asapnya? Hanya dengan begitu Pak
Jokowi bisa mengerti kehidupan kami sehari-hari dengan asap. Paru-paru kami
mungkin mengecil, tapi harapan kami membesar. Salam dari Riau,” demikian petisi
yang ditulis Abdul Manan yang diteruskan Butet Manurung.(lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar