Jakarta -Rencana kebijakan bank sentral Amerika Serikat
(AS) The Federal Reserves/The Fed yang akan menaikkan suku bunga memberikan
sentimen negatif terhadap pasar keuangan Indonesia. Nilai tukar rupiah sempat
menyentuh Rp 12.000 per dolar AS.
Melemahnya rupiah akan langsung menyerang sektor rill.
Khususnya sektor-sektor banyak membutuhkan bahan baku impor.
“Tahu-tempe, kan dari kedelai impor mayoritas dari AS. Harga
kedelai naik, nanti harga tahu tempe juga akan naik," ujar Lana
Soelistianingsih, Ekonom Samuel Sekuritas kepada detikFinance, Minggu
(21/9).
Kemudian adalah obat-obatan. Lana menyebutkan 90% bahan baku
obat berasal dari negara lain. Artinya, harga untuk obat-obatan kemungkinan
akan naik.
“Obat flu, obat sakit kepala, pasti naik harganya,"
ujar Lana. Semen, lanjut Lana, juga merupakan produk yang terkena dampak
pelemahan rupiah. "Semen itu sudah pasti harganya naik lagi nanti,"
tuturnya.
Secara umum, menurut Lana, kalangan pengusaha sudah
memperhitungkan risiko dari gejolak nilai tukar sejak awal tahun. Apalagi
dengan kondisi fluktuasi rupiah yang cukup cepat dibandingkan tahun sebelumnya.
Caranya adalah dengan menetapkan posisi rupiah di level
paling lemah. Rata-rata perusahaan mematok dolar setara Rp 13.000 sehingga
harga barang dan jasa naik lebih dulu.
“Awal tahun itu sebenarnya harga barang sudah naik, karena
dolarnya dipatok Rp 13.000. Biar tidak rugi," terang Lana.
Namun dengan pelemahan yang kembali terjadi, Lana menuturkan
kalangan dunia usaha juga memanfaatkan momentum. “Sekarang akibat momentum
harganya dinaikkan lagi. Padahal seharusnya tak perlu lagi,” tegasnya.
(dtk/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar