Halaman

Kamis, 13 Februari 2014

Mengorek Tantangan Perda Prostitusi


SOSIALISASI: DPRD Kota Jambi saat melakukan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) prostitusi di kawasan Payosigadung Kota Jambi. FOTO-FOTO: DOK/HARIAN JAMBI

PRO KONTRA


Peraturan Daerah (Perda) Prostitusi Kota Jambi, sempat menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Pro kontra pun, berakhir pada pengesahan Perda pada akhir Januari lalu. Lalu apa tantangan pemerintah selanjutnya dalam merealisasikan Perda tersebut?

MUSLIHIN, Jambi

Disahkannya Peraturan Daerah (Perda) Prostitusi di Kota Jambi pada 30 Januari 2014 lalu, cukup membawa angin segar bagi masyarakat luas. Sebab, sebagian besar dari masyarakat Jambi memang menanti pengesahan Perda tersebut. Karena, hal ini dipercaya mampu mengurangi angka penderita HIV/AIDS di Kota Jambi.

Selanjutnya, Perda tersebut juga mampu dijadikan sebagai senjata ampuh untuk mengurangi bisnis prostitusi. Bahkan masyarakat berharap, setelah diterapkannya Perda tersebut, Kota Jambi akan bersih dari bisnis prostitusi hingga ke akar-akarnya.

Kegelisahan masyarakat Jambi akan mewabahnya bisnis prostitusi ini bukan tanpa alasan. Jambi sendiri sebagai kota yang kental akan adat budaya berlandaskan agama ini, dikenal sebagai wilayah yang mengedepankan moral yang tinggi. Secara adat, masyarakat Jambi terbiasa hidup beretika dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijalani secara turun-temurun.

Pro Kontra PSK

Berkenaan dengan rencana pemerintah utnuk menerapkan Perda pelarangan prostitusi di Kota Jambi ini, telah berhembus di lokalisasi di kawasan Payosigadung, atau biasa dikenal dengan istilah Pucuk. Pekerja Seks Komersial (PSK) di lokasi ini pun sempat kocar-kacir. Bagaimana tidak, hadirnya Perda ini telah mengusik keberadaan mereka. Disahkannya Perda ini pun kembali menuai protes.

“Saya sendiri menolak atas Perda pelarangan tersebut. Karena ini dampaknya terhadap mata pencarian kami. Ini mematikan mata pencarian pokok yang selama ini,” ujarnya.

Wanita yang berusia 30 tahun ini merasa sangat diberatkan dengan disahkannya Perda tersebut. Karena dengan dihapuskannya lokalisasi prostitusi, ia selaku tulang punggung keluarga, mengaku bingung untuk mencari nafkah di luar pekerjaan yang selama ini ia jalani. 

“Saya bekerja tidak hanya menghidupi diri sendiri, akan tetapi mempunyai tanggungan  anak di Jawa Barat. Kami titipkan anak kepada neneknya. Nah jika Pucuk ditutup siapa yang akan memberikan nafkah kepada  mereka, bisa kelaparan di sana,” ujar ibu yang mempunyai dua anak ini.

Persepsi dari kalangan PSK di Payosigadung ini pun berfariasi. Meski beberapa diantaranya tidak sedikit yang menolak, namun beberepa diantaranya justru sebaliknya. Mereka mengaku pasrah dengan penerapan Perda Prostitusi tersebut. Dengan catatan, pemerintah mampu memberikan solusi yang jelas dan tepat. seperti halnya Wina (25), yang juga merupakan PSK di Payosigadung.

“Kalau pemerintah benar-benar ingin menerapkan Perda pelarangan aktivitas prostitusi di sini (Pucuk), kami juga  mau tidak mau ya ikut aturan dan tidak bisa berbuat banyak. Namun asalkan pemerintah memberikan solusi terbaik, saya sendiri sih nggak keberatan,” ujarnya.

Ketika aktivitas postitusi tersebut di Payosigadung tersebut ditutup, lalu apa yang akan dilakukan? Dengan pasrah ia pun menjawab, akan pulang kampung dan mencari pekerjaan lain di daerah asalnya.
“Jika demikian bila tidak ada ya tidak apa-apa, saya bisa pulang ke daerah asal saya. Kan masih banyak pekerjaan di sana. Bisa cari kerja di perusahaan atau di tempat lainnya,” ujarnya.
 
Solusi Pasca Perda

Sebagaimana  diketahui setelah disahkan Perda rencana pemerintah dalam menerapkan Perda prostitusi ini nantinya, akan diringi dengan  memberikan jalan dan solusi bagi pelaku bisnis prostitusi. Janji pemerintah yang berpihak kepada mereka inilah yang cukup menekan angka pemberontakan.

Dikatakan Paul AM Nainggolan, Ketua Panitia Khusus (Pansus) terkait Perda ini, seluruh PSK yang ada di Kota Jambi ini akan dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan bantuan berupa jaminan kerja usaha yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Jambi.  

“Rencananya nanti, bagi PSK dan sejenisnya di Pucuk serta di tempat lain, akan kita pulangkan ke daerahnya masing-masing. Contohnya  pelaku yang berasal dari Jawa, akan dipulangkan ke Jawa atau pun ke Seulawesi atau di mana pun mereka berasal. Selain itu, pemerintah nantinya akan memberikan solusi kepada pelaku prostitusi berupa bantuan jaminan kerja usaha, yang diselenggarakan dari Dinas Sosial Kota Jambi.

Dilanjutnkannya, selain memberikan jaminan kerja usaha, pemerintah juga akan memberikan pembinaan, sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Diharapkan melalui pembinaan tersebut, PSK tersebut dapat beralih profesi ke arah yang lebih positif.

“Pelaku juga  akan didik dan dilakukan pembinaan  sesuai dengan bakatnya,  agar mereka dapat beralih profesi ke jalan yang benar. Untuk dana, ini juga dibantu dari Kementerian Sosial Repulik Indonesia,” ungkapnya.

Bersedia Terima Solusi

Menanggapi niat baik pemerintah tersebut, beberapa PSK di Payosigadung, ketika ditemui Harian Jambi, mengaku bersedia menerima solusi yang ditawarkan tersebut. Asalkan, solusi tersebut benar-benar direalisasikan dengan baik. Mereka juga berharap, untuk dapat diberikan pesangon, yang akan digunakan untuk pulang kampung ke daerahnya masing-masing.

Namun, tidak semua pelaku prostitusi ini menanggapi hal positif solusi yang diberikan pemerintah tersebut. Berdasarkan data yang dikumpulkan Harian Jambi, beberapa diantara pelaku prostitusi ini, maish ada yang bersikeras menolak Perda ini. Namun, sebagian diantaranya menyambut baik, jika pemerintah Kota Jambi mampu memberikan solusi atas himpitan ekonomi yang melanda mereka selama ini. Ini disampaikan Aroik, pemilik rumah yang biasa digunakan oleh PSK di Payosigadung.

“Sebenarnya mereka sebagai pelaku yang biasa melayani laki-laki hidung belang di sini, mau berhenti dan beralih profesi. Asalkan kehidupan mereka diarahkan pemerintah ke yang lebih baik dan terjamin. Mereka diberikan pekerjaan meski yang kecil-kecilan, yang jelas mereka dapat berkembang dan dapat bertahan hidup,” ujarnya.(*/poy)

****
PSK Terbelit Hutang
Menjadi Tantangan Realisasi Perda

Sebenarnya, rancangan penutupan Lokalisasi Prostitusi terbesar di Provinsi Jambi, Payosigadung atau biasa dikenal dengan nama “Pucuk” yang terletak di RT 04 dan RT 05, Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi. 

KUNJUNGAN: Dewan Perwakilan Daerah (DPRD) Kota Jambi saat berkunjung ke lokalisasi prostitusi di kawasan Payosigadung Kota Jambi, atau biasa dikenal dengan sebutan “Pucuk”.
Rencana ini sudah ada semasa Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin. Yang pada waktu itu direncanakan akan dipindahkan ke Muarojambi. Namun wacana tersebut hanya sebatas wacana tanpa fakta. 

Tanpa adanya realisasi. Kemudian pada tahun 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Jambi juga pernah membahas Ranperda pengaturan prostitusi. Namun kembali wacana penutupan kawasan lokalisasi tersebut hilang begitu saja. Baru tahun 2014 ini Ranperda itu dibahas lagi dan mendapat dukungan dari sejumlah kalangan, baik Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun 
Organisasi Kemasyarakatan.

Namun dalam merealisasikan Perda ini, pemerintah memiliki tantangan yang cukup besar. Tantangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang harus diselesaikan. Pertama, jumlah PSK di Payosigadung sudah terlanjur banyak, yang terus berdatangan sejak beberapa tahun yang lalu. Saat ini saja, jumlah PSK di kawasan tersebut sudah mencapai jumlah 500 orang. Ini disampaikan Aroik, pemilik rumah yang biasa digunakan oleh PSK di Payosigadung.

Kedua, pelaku PSK di kawasan ini, rata-rata terbelit hutang dengan bosnya masing-masing. Sehingga sulit bagi mereka untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini ditekuni tersebut. Tidak tanggung-tanggung, hutan PSK terhadap bosnya ini pun mencapai puluhan juta rupiah. Apalagi, rumah yang ditempati PSK ini kebanyakan, juga menyediakan bar karaoke dengan minuman lengkap. Ini juga menjadi pemicu meningkatnya jumlah utang para PSK tersebut.

“Hal lain yang menyebabkan para pelaku PSK di Pucuk sulit angkat kaki dari sini, dikarenakan mereka mempunyai hutang kepada bos-nya masing-masing, di mana dia bertempat di rumah bosnya tersebut. Hutang mereka tak kalah banyaknya, seperti biaya hidup selama ia berada di Jambi dan juga hutangnya kepada bos dalam bentuk pinjaman yang bernilai jutaan rupiah untuk dikirimkan kepada anak dan keluarganya di kampung. Bahkan ada yang hutangnya mencapai Rp 5o juta,” ungkapnya.

Di sisi lain, Harian Jambi mencoba menyelidiki beberapa rumah masyarakat di kawasan tersebut, yang berada di selkeliling Pucuk. Ditemui seorang ibu bernama Ati (32), yang berprofesi sebagai pedagang di kawasan tersebut, yang mengaku tidak terganggu dengan aktivitas prostitusi.

“Kami sudah lama tinggal di sini, sudah lima tahun malahan. Berkenaan dengan aktivitas prostitusi di Pucuk itu, saya sendiri tidak terganggu. Belum tahu orang lain gimana, kami itu biasa-biasa saja tidak risih. Ya karena mau gimana lagi, kita sudah terbiasa bertempat tinggal di wilayah ini dengan mereka. Jika kita ingin mengusir mereka tidak mungkin juga kan,” ucapnya.

Ia sendiri mengaku enggan ambil pusing dengan aktivitas tersebut. Ia menyerahkan permasalahan tersebut sepenuhnya terhadap pemerintah.

“Yang penting mereka tidak menganggu kita saja itu sudah aman. Masyarakat sini tak bisa berbuat banyak, biarkan pemerintah yang mengatasi jika ingin memberantasnya,” ungkapnya.(hin/poy)(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 12 FEB 2014)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar