SOSIALISASI: DPRD
Kota Jambi saat melakukan sosialisasi Peraturan Daerah (Perda) prostitusi di
kawasan Payosigadung Kota Jambi. FOTO-FOTO:
DOK/HARIAN JAMBI
|
PRO KONTRA
Peraturan
Daerah (Perda) Prostitusi Kota Jambi, sempat menjadi perbincangan hangat
belakangan ini. Pro kontra pun, berakhir pada pengesahan Perda pada akhir
Januari lalu. Lalu apa tantangan pemerintah selanjutnya dalam merealisasikan
Perda tersebut?
MUSLIHIN, Jambi
Disahkannya
Peraturan Daerah (Perda) Prostitusi di Kota Jambi pada 30 Januari 2014 lalu,
cukup membawa angin segar bagi masyarakat luas. Sebab, sebagian besar dari
masyarakat Jambi memang menanti pengesahan Perda tersebut. Karena, hal ini
dipercaya mampu mengurangi angka penderita HIV/AIDS di Kota Jambi.
Selanjutnya,
Perda tersebut juga mampu dijadikan sebagai senjata ampuh untuk mengurangi
bisnis prostitusi. Bahkan masyarakat berharap, setelah diterapkannya Perda
tersebut, Kota Jambi akan bersih dari bisnis prostitusi hingga ke akar-akarnya.
Kegelisahan
masyarakat Jambi akan mewabahnya bisnis prostitusi ini bukan tanpa alasan.
Jambi sendiri sebagai kota yang kental akan adat budaya berlandaskan agama ini,
dikenal sebagai wilayah yang mengedepankan moral yang tinggi. Secara adat,
masyarakat Jambi terbiasa hidup beretika dalam kehidupan bermasyarakat, yang
dijalani secara turun-temurun.
Pro Kontra PSK
Berkenaan
dengan rencana pemerintah utnuk menerapkan Perda pelarangan prostitusi di Kota
Jambi ini, telah berhembus di lokalisasi di kawasan Payosigadung, atau biasa
dikenal dengan istilah Pucuk. Pekerja Seks Komersial (PSK) di lokasi ini pun
sempat kocar-kacir. Bagaimana tidak, hadirnya Perda ini telah mengusik
keberadaan mereka. Disahkannya Perda ini pun kembali menuai protes.
“Saya
sendiri menolak atas Perda pelarangan tersebut. Karena ini dampaknya terhadap
mata pencarian kami. Ini mematikan mata pencarian pokok yang selama ini,”
ujarnya.
Wanita
yang berusia 30 tahun ini merasa sangat diberatkan dengan disahkannya Perda
tersebut. Karena dengan dihapuskannya lokalisasi prostitusi, ia selaku tulang
punggung keluarga, mengaku bingung untuk mencari nafkah di luar pekerjaan yang
selama ini ia jalani.
“Saya
bekerja tidak hanya menghidupi diri sendiri, akan tetapi mempunyai
tanggungan anak di Jawa Barat. Kami titipkan anak kepada neneknya. Nah jika
Pucuk ditutup siapa yang akan memberikan nafkah kepada mereka, bisa
kelaparan di sana,” ujar ibu yang mempunyai dua anak ini.
Persepsi
dari kalangan PSK di Payosigadung ini pun berfariasi. Meski beberapa
diantaranya tidak sedikit yang menolak, namun beberepa diantaranya justru
sebaliknya. Mereka mengaku pasrah dengan penerapan Perda Prostitusi tersebut. Dengan
catatan, pemerintah mampu memberikan solusi yang jelas dan tepat. seperti
halnya Wina (25), yang juga merupakan PSK di Payosigadung.
“Kalau
pemerintah benar-benar ingin menerapkan Perda pelarangan aktivitas prostitusi
di sini (Pucuk), kami juga mau tidak mau ya ikut aturan dan tidak bisa
berbuat banyak. Namun asalkan pemerintah memberikan solusi terbaik, saya
sendiri sih nggak keberatan,” ujarnya.
Ketika
aktivitas postitusi tersebut di Payosigadung tersebut ditutup, lalu apa yang
akan dilakukan? Dengan pasrah ia pun menjawab, akan pulang kampung dan mencari
pekerjaan lain di daerah asalnya.
“Jika
demikian bila tidak ada ya tidak apa-apa, saya bisa pulang ke daerah asal saya.
Kan masih banyak pekerjaan di sana. Bisa cari kerja di perusahaan atau di tempat
lainnya,” ujarnya.
Solusi Pasca Perda
Sebagaimana
diketahui setelah disahkan Perda rencana pemerintah dalam menerapkan Perda prostitusi
ini nantinya, akan diringi dengan memberikan jalan dan solusi bagi pelaku
bisnis prostitusi. Janji pemerintah yang berpihak kepada mereka inilah yang cukup
menekan angka pemberontakan.
Dikatakan
Paul AM Nainggolan, Ketua Panitia Khusus (Pansus) terkait Perda ini, seluruh
PSK yang ada di Kota Jambi ini akan dipulangkan ke daerah asalnya
masing-masing. Selain itu, pemerintah juga akan memberikan bantuan berupa
jaminan kerja usaha yang diselenggarakan oleh Dinas Sosial Kota Jambi.
“Rencananya
nanti, bagi PSK dan sejenisnya di Pucuk serta di tempat lain, akan kita
pulangkan ke daerahnya masing-masing. Contohnya pelaku yang berasal dari Jawa,
akan dipulangkan ke Jawa atau pun ke Seulawesi atau di mana pun mereka berasal.
Selain itu, pemerintah nantinya akan memberikan solusi kepada pelaku prostitusi
berupa bantuan jaminan kerja usaha, yang diselenggarakan dari Dinas Sosial Kota
Jambi.
Dilanjutnkannya,
selain memberikan jaminan kerja usaha, pemerintah juga akan memberikan
pembinaan, sesuai dengan bakat dan minatnya masing-masing. Diharapkan melalui
pembinaan tersebut, PSK tersebut dapat beralih profesi ke arah yang lebih
positif.
“Pelaku
juga akan didik dan dilakukan pembinaan sesuai dengan bakatnya,
agar mereka dapat beralih profesi ke jalan yang benar. Untuk dana, ini juga
dibantu dari Kementerian Sosial Repulik Indonesia,” ungkapnya.
Bersedia Terima Solusi
Menanggapi
niat baik pemerintah tersebut, beberapa PSK di Payosigadung, ketika ditemui Harian Jambi, mengaku bersedia menerima solusi yang ditawarkan tersebut. Asalkan,
solusi tersebut benar-benar direalisasikan dengan baik. Mereka juga berharap,
untuk dapat diberikan pesangon, yang akan digunakan untuk pulang kampung ke
daerahnya masing-masing.
Namun,
tidak semua pelaku prostitusi ini menanggapi hal positif solusi yang diberikan
pemerintah tersebut. Berdasarkan data yang dikumpulkan Harian Jambi, beberapa diantara pelaku prostitusi ini, maish ada
yang bersikeras menolak Perda ini. Namun, sebagian diantaranya menyambut baik,
jika pemerintah Kota Jambi mampu memberikan solusi atas himpitan ekonomi yang
melanda mereka selama ini. Ini disampaikan Aroik, pemilik rumah yang biasa
digunakan oleh PSK di Payosigadung.
“Sebenarnya
mereka sebagai pelaku yang biasa melayani laki-laki hidung belang di sini, mau
berhenti dan beralih profesi. Asalkan kehidupan mereka diarahkan pemerintah ke
yang lebih baik dan terjamin. Mereka diberikan pekerjaan meski yang
kecil-kecilan, yang jelas mereka dapat berkembang dan dapat bertahan hidup,”
ujarnya.(*/poy)
PSK Terbelit Hutang
Menjadi Tantangan Realisasi Perda
Sebenarnya, rancangan
penutupan Lokalisasi Prostitusi terbesar di Provinsi Jambi, Payosigadung atau
biasa dikenal dengan nama “Pucuk” yang terletak di RT 04 dan RT 05,
Kelurahan Rawasari, Kecamatan Kotabaru, Kota Jambi.
KUNJUNGAN: Dewan Perwakilan
Daerah (DPRD) Kota Jambi saat berkunjung ke lokalisasi prostitusi di kawasan
Payosigadung Kota Jambi, atau biasa dikenal dengan sebutan “Pucuk”.
|
Rencana ini sudah ada semasa
Gubernur Jambi Zulkifli Nurdin. Yang pada waktu itu direncanakan akan
dipindahkan ke Muarojambi. Namun wacana tersebut hanya sebatas wacana tanpa
fakta.
Tanpa adanya
realisasi. Kemudian pada tahun 2011, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota
Jambi juga pernah membahas Ranperda pengaturan prostitusi. Namun kembali wacana
penutupan kawasan lokalisasi tersebut hilang begitu saja. Baru tahun 2014 ini Ranperda
itu dibahas lagi dan mendapat dukungan dari sejumlah kalangan, baik Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) maupun
Organisasi Kemasyarakatan.
Namun
dalam merealisasikan Perda ini, pemerintah memiliki tantangan yang cukup besar.
Tantangan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yang harus diselesaikan. Pertama, jumlah PSK di Payosigadung sudah
terlanjur banyak, yang terus berdatangan sejak beberapa tahun yang lalu. Saat
ini saja, jumlah PSK di kawasan tersebut sudah mencapai jumlah 500 orang. Ini
disampaikan Aroik, pemilik rumah yang biasa digunakan oleh PSK di Payosigadung.
Kedua, pelaku PSK di
kawasan ini, rata-rata terbelit hutang dengan bosnya masing-masing. Sehingga
sulit bagi mereka untuk keluar dari pekerjaan yang selama ini ditekuni
tersebut. Tidak tanggung-tanggung, hutan PSK terhadap bosnya ini pun mencapai
puluhan juta rupiah. Apalagi, rumah yang ditempati PSK ini kebanyakan, juga
menyediakan bar karaoke dengan minuman lengkap. Ini juga menjadi pemicu
meningkatnya jumlah utang para PSK tersebut.
“Hal lain
yang menyebabkan para pelaku PSK di Pucuk sulit angkat kaki dari sini,
dikarenakan mereka mempunyai hutang kepada bos-nya masing-masing, di mana dia
bertempat di rumah bosnya tersebut. Hutang mereka tak kalah banyaknya, seperti
biaya hidup selama ia berada di Jambi dan juga hutangnya kepada bos dalam
bentuk pinjaman yang bernilai jutaan rupiah untuk dikirimkan kepada anak dan
keluarganya di kampung. Bahkan ada yang hutangnya mencapai Rp 5o juta,”
ungkapnya.
Di
sisi lain, Harian Jambi mencoba menyelidiki beberapa
rumah masyarakat di kawasan tersebut, yang berada di selkeliling Pucuk. Ditemui
seorang ibu bernama Ati (32), yang berprofesi sebagai pedagang di kawasan
tersebut, yang mengaku tidak terganggu dengan aktivitas prostitusi.
“Kami
sudah lama tinggal di sini, sudah lima tahun malahan. Berkenaan dengan
aktivitas prostitusi di Pucuk itu, saya sendiri tidak terganggu. Belum tahu
orang lain gimana, kami itu biasa-biasa saja tidak risih. Ya karena mau gimana
lagi, kita sudah terbiasa bertempat tinggal di wilayah ini dengan mereka. Jika kita
ingin mengusir mereka tidak mungkin juga kan,” ucapnya.
Ia
sendiri mengaku enggan ambil pusing dengan aktivitas tersebut. Ia menyerahkan
permasalahan tersebut sepenuhnya terhadap pemerintah.
“Yang
penting mereka tidak menganggu kita saja itu sudah aman. Masyarakat sini tak
bisa berbuat banyak, biarkan pemerintah yang mengatasi jika ingin
memberantasnya,” ungkapnya.(hin/poy)(HARIAN JAMBI EDISI CETAK PAGI RABU 12 FEB 2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar