DENGAN NIAT BAIK, ISI BLOG INI BUKAN UNTUK MELANGGAR UU RI NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK. APABILA ADA ORANG-LEMBAGA DLL YANG KEBERATAN DENGAN ISI DARI BLOG INI, BOLEH MELAYANGKAN SURAT ELEKTRONIK KE EMAIL : rosenmanmanihuruk@gmail.com atau SMS/WA ke NO 08127477587. FB Asenk Lee Saragih.UNTUK DICABUT ISI DARI BLOG YANG KEBERATAN BERSANGKUTAN.
▼
Halaman
▼
Senin, 23 September 2013
Guntur Sitohang Dinobatkan Maestro Gendang Dunia
Selama 75 Tahun Abdikan Diri Melestarikan Taganing
Bupati Samosir Mangindar Simbolon bersama musisi dari Nasional dan
Internasional saat membukaan Like Toba World Drum Festival di Samosir,
Sumut, Selasa (10/9). (Foto: ANDRI GINTING/SUMUT POS)
Banyak hal
membuat Danau Toba dijadikan sebagai tujuan wisata. Selain keindahannya
yang sudah diakui dunia, tak sedikit juga seniman-seniman asal Samosir
yang melegenda. Bahkan, ada yang mengabdikan dirinya untuk melestarikan
kekayaan musik Batak.
Pagelaran
Festival Danau Toba yang diselenggarakan sejak 8 sampai 14 September
2013 lalu, menjadi refleksi bersama atas keberadaan para seniman Batak
yang katanya mulai tak diketahui keberadaannya.
Di antara
keramaian pengunjung penutupan FDT 2013 di Bukit Beta Tuktuk, dipamerkan
empat set alat musik pukul yang disebut dengan Taganing. Taganing bukan
lagi hal baru bagi orang Batak, khususnya di Kabupaten Samosir.
Seorang pemuda yang tidak asing bagi para peserta World Drum Festival,
karena sudah berbagi ilmu dan pengalaman di panggung Heritage Festival
Danau Toba, Martahan Sitohang, terlihat sibuk mengangkat dan memasang
empat set Taganing. Tiga set Taganing terlihat masih berwarna cerah dan
seolah masih baru dibuat.
“Tiga Taganing itu baru saja dibuat
ayahku. Sementara satu set Taganing berwarna kusam ini, merupakan karya
pertama ayahku yang dibuat tahun 1982 dan saya (Martahan, red) belum
lahir saat itu,” ujar pemuda tersebut sembari mengecek kesiapan
Taganing.
Sembari terus mengecek kelengkapan Taganing, Martahan
bercerita, kalau ayahnya seorang seniman Batak bernama Guntur Sihotang.
Tidak terhitung lagi karya Taganing yang diciptakan seniman Batak itu.
“Ayahku itu menghabiskan seluruh waktu bahkan hidupnya untuk
melestarikan musik dan kebudayaan Batak,” ujar pemuda itu dengan bangga.
Tertarik berbincang soal ayahnya, dia kemudian menghentikan
aktivitasnya. Martahan terlihat lebih fokus bercerita dengan menuturkan
tentang keluarganya.
Ada sebelas anak dari sang kreator
Taganing (Guntur, red), di antaranya Megawati Sitohang, Maya Sitohang,
Martogi Sitohang (di Jakarta: seniman), Junihar Sitohang (perajin alat
Taganing di Medan), Mona Sitohang, Hardoni Sitohang (di Medan dosen
Nomensen), Naldi Sitohang, tinggal di Samosir, Senida Sitohang tinggal
di Samosir, Martahan Sitohang (tinggal di Jakarta sebagai penggiat
seni), Efrida Sitohang tinggal di Samosir dan anak angkat Julia Sitohang
yang merupakan kewarganegaraan Amerika. Sedangkan istrinya br Habeahan
sudah meninggal beberapa tahun lalu.
“Jika berangkat dari
Tuktuk menuju kampung halaman di Harian Boho, Desa Turpuk Limbong,
Kecamatan Harian, akan memakan waktu sekitar 1,5 jam naik sepedamotor,”
ujarnya.
Kata Martahan, awalnya dia tidak tertarik dengan
kesenian Batak termasuk dengan Taganing. Namun setelah kuliah di Etno
Musikologi USU, barulah dia tertarik dengan apa yang digeluti ayahnya
selama ini.
“Keluarga kami (keturunan Guntur, red) bahkan
hingga cucu secara turun temurun, mengapresiasi apa yang sudah
dikerjakan ayah kami, untuk tetap mencintai budaya Batak walau bukan
berarti semuanya harus menjadi seniman,” ujanya.
“Ada 50
peserta didik Taganing yang dilatih melalui gereja. Selain bermain
Taganing, diharapkan generasi penerus orang Batak tahu dan mengerti apa
itu Taganing. Mereka tidak harus menjadi pemain musik atau seniman,
namun perlu ada kecintaan dan niat melestarikan budaya Batak,” sebutnya
berpesan.
Di sebelah panggung bertuliskan World Drum tersebut,
ternyata ada juga seorang pria paruh baya juga sedang mengecek beberapa
alat musik tiup untuk persiapan penutupan FDT 2013. Di sela-sela cek
sound, pria yang mengenakan ulos di bahunya itu, mengaku bernama Hardoni
Sitohang dan juga anak Guntur Sitohang.
“Malam ini keluarga
kami diberi kesempatan untuk performance (tampil, red) di penutupan FDT,
sebagai penghargaan atas pelestariaan adat Batak,” ujarnya.
Menurut Hardoni, melestarikan budaya Batak khususnya musik Toba, harus
dengan hati nurani. “Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan melestarikan
budaya Batak itu,” ujar dosen Universitas Nommensen Medan tersebut.
Hardoni menjelaskan, saat ini tugas generasi muda untuk melestarikan
musik Batak. “Selama lima tahun saya pernah mengajar musik Batak Toba di
salah universitas negeri di Medan, walau hanya dengan gaji Rp374 ribu
per semester,” ujarnya.
Hardoni berpendapat, ada hal yang perlu
diperbaiki dalam pengembangan Danau Toba sebagai kawasan pariwisata.
Jika bicara keindahan Danau Toba, dunia sudah mengakui-nya. Namun saat
ditanya ada apa di Samosir? Maka sangat sulit dijawab. Padahal Samosir
juga sarangnya para musisi nasional.
“Ada tortor cawan,
mangalahat horbo, pertunjukan Taganing dan sebagainya, sudah langka
ditemui di tempat asalnya. Padahal, budaya itu sebagai modal utama
wisata Danau Toba. Saya tetap berpegang teguh dengan prinsip ayahku yang
menyatakan, hidup ini bukan karena pangkat dan uang. Berbanggalah jadi
parhuta-huta (orang kampung) yang melestarikan dan membanggakan budaya
Batak,” ujarnya.
Berselang beberapa saat, panggung FDT pun
mulai dimasuki beberapa pemain musik. Ribuan pengunjung pun sontak
bersorak ria menyambut keluarga besar Guntur Sitohang mengisi panggung
berukuran besar itu.
Taganing karya pertama Guntur Sitohang
pun, memukau penonton dari atas panggung penutupan FDT. Kesempatan yang
diberikan kepada keluarga Guntur untuk tampil di panggung penutupan FDT,
Sabtu (14/9) membuat ribuan warga yang memadati lapangan Beta Tuktuk
tercengang.
Gerimis yang membasahi lapangan tidak menyurutkan
semangat penonton. Dari penampilan pertama cucu Guntur Sitohang,
penampilan kedua dari pihak boru Guntur Sitohang dan penampilan terakhir
dari seluruh anak Guntur Sitohang, membuat panggung Worl Drum hening
dan larut dalam kenikmatan suara indah dari berbagai alat musik daerah
Batak tersebut.
Sementara karena kondisi kesehatan yang sudah
mulai menurun, Guntur harus digendong dan dinaikkan di kursi roda naik
ke panggung. Namun itu juga tidak membuat semangatnya surut untuk terus
berkarya dan menunjukkan pada dunia bahwa Taganing dan musik Batak itu
punya nilai seni yang sangat tinggi.
Begitu di atas panggung,
tangannya mulai meraih pemukul (stik) Taganing dan memainkannya dengan
alunan musik khas Batak. Dia juga didampingi Bupati Samosir yang mengaku
bangga bisa bersama dalam satu panggung dengan Guntur Sitohang.
Tak berapa lama, dia kemudian turun panggung dan diberikan aplaus oleh
ribuan penonton.“Songon tona nama huhilala na marTaganing on. (Sudah
seperti panggilan jiwa bagiku melestarikan musik Batak ini),” ujar
Guntur Sihotang ditemui usai tampil.
Saat ditanya sejak berapa
tahun mengeluti alat musik Batak, pria yang akrab disapa Guru Guntur
Sitohang itu mengatakan, sejak berusia 2 tahun sudah menekuni musik
Taganing.
“Saya juga bangga beberapa dari anak saya mengkuti
jejak saya untuk fokus mendalami musik Batak. Saya bangga, anak-anak
bahkan cucu-cucu saya, fasih memainkan berbagai alat musik Batak. Bisa
memainkan alat musik Taganing, hasapi, sarune bahkan ada mengikuti jejak
membuat Taganing,” ujarnya penuh bangga.
Tiga Taganing yang
ditampilkan pada penutupan FDT tersebut, kata Guru Guntur, merupakan
hasil karyanya sendiri selama sebulan terakhir. Sedangkan satu Taganing
merupakan karya pertamanya sejak membuat alat musik Batak. Berkarya
selama 75 tahun untuk melestarikan alat musik Taganing, mulai dari
membuat, memainkan, bahkan bisa diwariskan kepada anak-anaknya, akhirnya
membuahkan hasil. Guru Guntur Sitohang mendapat gelar Maestro Batak
dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang diserahkan Bupati
Samosir pada penutupan FDT 2013.
“Guru Guntur Sitohang sudah
terbukti dapat melestarikan budaya Batak, bahkan bisa menurunkan
semangat melestarikan budaya Batak hingga ke anak cucu. Seniman-seniman
nusantara sudah sepakat untuk mengabadikan Guru Guntur Sitohang menjadi
Maestro Gendang Dunia, walaupun tinggal di desa karena kepeduliannya,”
ujar Bupati Samosir Mangindar Simbolon saat memberikan gelar bergengsi
tersebut.
Sebelumnya, saat membuka kegiatan World Drum
Festival, Selasa (10/9) di Bukit Beta, Bupati Samosir Mangindar Simbolon
juga mengeluarkan air mata. Ia lalu terisak saat memanggil salah satu
tokoh masyarakat, sekaligus seniman asal Harainboho, Pangururan yang
sudah terkenal di tingkat Internasional. Ia tak mampu membendung air
matanya.
“Dalam pembukaan kegiatan World Drum Festival ini,
saya mengundang Guru Guntur Sitohang sebagai ahli seni budaya untuk
hadir di sini. Saya sebagai Ketua Umum FDT 2013 mengucapkan terima kasih
kepada seluruh pengunjung dan peserta,” katanya sambil menangis. (MSC).Rano Hutasoit, Samosir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar