Jambi, BATAKPOS
Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di Jambi menolak sistem kerjasama satu atap yang selama ini dilakukan dalam pengelolaan perkebunan kelapa sawit. Penolakan itu akibat SPKS Jambi dirugikan karena sistem itu tidak melibatkan petani secara langsung dalam pengelolaan kebun sawit.
Ketua Forum Nasional SPKS, Mansuestus Darto kepada wartawan, Rabu (23/3) mengatakan, dengan sistem ini masyarakat akan terlibat pola sistem kredit dengan pengusaha tersebut.
“Dampaknya masyarakat akan dikanakan pemotongan keuntungan hingga 16 persen pertahunnya. Ini tentu merugikan masyarakat. Karena itu pola ini harus dirubah. Saat ini dari 9,2 juta hektare lahan sawit yang ada di Indonesia hanya 36 persen saja yang dikelola masyarakat langsung. Sedangkan sisanya, menggunakan pola sistem satu atap dan kredit,”katanya.
Disebutkan, dari kebanyakan petani itu yang sejahtera adalah petani yang mengelola sendiri kebunya. Banyaknya konflik dan kasus lahan terjadi antara perusahaan kelapa sawit dengan masayarkat, kata darto, akibat pihak perusahaan selalu mengklaim mempunyai hak atas lahan dan merasa benar.
“Tuntutan pasar saat ini menghendaki hadirnya perkebunan kelapa sawit lestari. Artinya, perusahaan harus menerapkan prinsip penghormatan terhadap HAM dan keberlanjutan lingkungan hidup. Prinsip-prinsip tentang keberlanjutan tersebut telah disepakati banyak pihak dalam forum RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil). Ada 8 syarat dan 39 kriteria dalam menyelengggarakan perkebunan yang baik untuk kemudian mendapatkan sertifikasi. Sayangnya semua proses itu kerap diabaikan oleh perusahaan perkebunan sawit,” ujarnya.
Menurut Darto, perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terjerumus dalam pelanggaran dan perusakan lingkungan. Di antaranya, dalam pembangunan kebun, perusahaan sering mengabaikan pri,sip persetujuan tanpa paksa, seperti penggusuran atas hak kelola dengan masayarakat lokal.
Dalam pelaksanaan perkebunan, perusahaan sering mengabaikan hak normatif buruh dengan upah yang murah. Dalam pelaksanaan kemitraan, perusahaan inti sering pula mengabaikan hak petani berskema yang berdampak pada hilangnya hak petani dalam hal kepemilikan.
Ketua Walhi Jambi, Arief Munandar, mengungkapkan, konflik lahan di Jambi merupakan potret buram dan jejak pelanggaran HAM dan pengrusakan lingkungan yang dilakukan perkebunan besar di Indonesia.
“Sepertinya lembaga-lembaga negara selain pemerintah harus turun tangan untuk memperhatikan banyaknya pelanggaran HAM dan kerusakan lingkungan. Bagi Negara yang harus dilakukan adalah mendorong reformasi politik terhadap seluruh kebijakan terkait dengan perkebunan besar kelapa sawit demi penghormatan HAM dan perlindungan atas keberlanjutan SDA yang semakin mengerus,”katanya. ruk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar