Halaman

Selasa, 27 Juli 2010

Jangan Jadikan Orang Rimba Komuditas Proyek

Pameran Sekilas Kehidupan Orang Rimba 20-27 Juli 2010

Jambi, BATAKPOS

Pameran Sekilas Kehidupan Orang Rimba di DAS (Daerah Aliran Sungai) Batanghari, Jambi yang dilangsungkan di Museum Negeri Jambi, yang berlangsung dari tanggal 20-27 Juli 2010 mendatang, diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap masyarakat terhadap keberadaan Orang Rimba sebagai komunitas masyarakat tradisional tersebut.

Kehidupan Orang Rimba yang “diusung” ke Musem Negeri Jambi diminta untuk dijadikan “proyek” oknum tertentu dengan menjadikan Orang Rimba sebagai obyeknya. Melalui pameran ini, diharapkan komunitas masyarakat tradisional Jambi itu dapat bermanfaat bagi mereka.
Mengambil Rotan : Seorang warga suku anak dalam (SAD) atau lebih dikenal Orang Rimba Jambi yang bermukim di Desa Makekal Hulu, TNBD, Sarolangun tengah membawa rotan dari hutan sebagai mata pencaharian. Rotan merupakan salah satunya hasil hutan yang dapat diandalkan Orang Rimba untuk biaya hidup. Foto batakpos/rosenman manihuruk.

Demikian dikatakan Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi Jambi, Robert Aritonang kepada BATAKPOS, Rabu (21/7). Menurutnya, Orang Rimba kini sudah mulai terbuka bagi dunia modern. Sehingga mereka tidak bodoh lagi untuk dimanfaatkan kelompok tertentu.

Pendidikan dan Kesehatan

Menurut Robert Aritonang, sedikitnya 300 anak Suku Anak Dalam (SAD) kini mulai menerima pendidikan dan mulai mengenal pengobatan modern. Bahkan 150 anak kini sudah dapat baca, menulis dan berhitung (Calinstung).

Tak itu saja, anak Rimba juga sudah menyadari pentingnya Calinstung agar tidak dibodohi masyarakat dalam memasarkan hasil hutan sebagai mata pencaharian mereka.

Kini Robert sebagai pendampingan anak Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) tepatnya di Sungai Pakuaji, Desa Pematang Kabau, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, Provinsi Jambi.

Disebutkan, kelompok SAD pimpinan Temenggung (Kepala Suku) Tarib yang Juni 2006 lalu mendapatkan penghargaan Kalpataru 2006 (penghargaan Lingkungn) dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Kelompoknya SAD di kawasan itu kini sudah menerima pendidikan dan mulai mengenal pengobatan modern. Tapi cara belajar dan pengobatan harus sesuai dengan kehidupan Orang Rimba.

Menurut Robert, tenaga pengajar untuk SAD sangat terbatas. Pihaknya sudah meminta guru kontrak kepada pemerintah untuk mengajar orang rimba. Namun hingga kini permohonan tersebut tidak digubris.

“Kita sudah lama meminta tenaga guru kontrak untuk SAD. Namun tidak ada yang berminat. Walaupun Warsi menawarkan tambahan insentif bagi guru yang mau mengajar di daerah sedikit ekstrim itu, namun tawaran itu juga tidak digubris,”katanya.

Persoalan pendidikan bagi SAD sulit dilakukan tanpa ada kepedulian luhur dari pemerintah dan pihak lain. Pendidikan bagi SAD merupakan tanggung jawab Pemerintah Indonesia kepada warga negara tanpa terkecuali.

“Orang Rimba yang bermukim di sisi Selatan TNBD Sarolangun juga menyadari pentingnya pendidikan BTH. BTH itu penting bagi mereka agar mereka tidak dibodoh-bodohi ketika memasarkan hasil hutan non kayu (rotan, minyak kayu, karet, labi-labi dll) sebagai mata pencaharian mereka kepada warga desa.

Pendidikan dan pelayanan kesehatan yang difasilitasi KKI Warsi Jambi menjadi trend baru dikalangan Orang Rimba, terutama anak-anak usia dini.

Lebih jauh Robert Aritonang menerangkan, Temenggung Tarib kini juga membantu kelompoknya dalam memasarkan hasil hutan non kayu seperti rotan, dammar, jernang dan lainnya kepada masyarakat desa.

Menurut pria asal Batak yang sudah fasih berbahasa daerah Orang Rimba ini, kedepan Orang Rimba tidak lagi dieksploitasi orang atau pihak-pihak luar. Gigihnya Temenggung Tarib dan kelompoknya dalam mempertahankan hutan, tidak mudah seperti membalikkan tangan.

Orang Rimba banyak tantangan untuk menjaga keperawanan hutan lindung tersebut dari para pembalak liar. Partisipasi pemerintah setempat guna melestarikan hutan sebagai pemukiman suku Rimba sangat diharapkan.

“Orang Rimba tetap miris melihat penebangan kayu dan perambah lahan yang dilakukan pihak luar yang selalu mendominasi dan bersikap dan berprasangka negatife terhadap Orang Rimba,”ujarnya.

Berbagai perundangan dan perjanjian telah dilakukan dengan kelompok pengeksploitasi. “Namun tetap saja pihak luar ingin memperebutkan TNBD untuk diambil kayu dan lahan secara illegal,” ujar Robert yang sejak 1997 setia mendampingi SAD.

Disebutkan, hampir dalam setiap pertemuan dengan pemerintah, Temenggung Tarib dan Temenggung lainnya selalu menyampaikan harapan komunitas Orang Rimba di kawasan TNBD agar dilindungi.

Lebih jauh Robert Aritonang menjelaskan, salah satu bagian dari pengelolaan dan pengamanan taman telah disepakati antara Orang Rimba dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi belum lama ini.

“Harapan Orang Rimba kedepan hanya, bagaimana pengelolaan bersama yang partisipatif dan dikembangkan untuk perlindungan hak dan sumber daya Orang Rimba di dalam TNBD. Jadi orang rimba tidak boleh dirobah kulturnya. Tapi bagaimana pemerintah memberikan pelayanan sesuai dengan adat istiadat mereka,” demikian Robert Aritonang. ruk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar