Minggu, 11 Februari 2018

Ketua Dewan Pers : Media Gagal Kelola Pemberitaan Responsif Gender

Konferensi Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Hotel Inna Muara, Padang, Sumatera Barat, Rabu (7/2/2018) malam.
BERITAKU, Padang-Ketua Dewan Pers Indonesia Yosep Adi Prasetyo menilai saat ini media di Indonesia gagal mengelola pemberitaan yang responsif gender, termasuk media yang memiliki segmen perempuan. Hal ini terbukti dari isi media yang masih mengokohkan subordinasi perempuan terhadap laki-laki.

“Media di Indonesia masih gagal dalam mengelola pemberitaan yang responsif gender. Bahkan media perempuan pun melakukan hal yang sama,” tutur Yosep Adi Prasetyo saat berbicara pada Konferensi Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) di Hotel Inna Muara, Padang, Sumatera Barat, Rabu (7/2/2018) malam.

Konferensi FJPI yang mengambil tema “Menguatkan Profesionalitas Jurnalis Perempuan di Era Globalisasi” ini dihadiri jurnalis perempuan dari seluruh Indonesia.

Selain menghadirkan mantan Ketua Dewan Pers Prof.Bagir Manan, Ketua DPD RI Prof Darmayanti Lubis yang juga Penasehat FJP, acara tersebut juga menghadirkan sejumlah jurnalis senior sebagai pembicara diantaranya Uni Lubis (Pemred IDN Times), Ratna Komala (anggota Dewan Pers), dan Ramdeswati Pohan (Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia Sumut).

Dikatakan Yoseph, saat ini media justru menjadikan perempuan sebagai objek dagangan dan mengajak masyarakat untuk menjadi sosok yang konsumtif.

“Misalnya perempuan harus berkulit putih, tinggi langsing dan semampai. Padahal belum tentu produk iklan dari luar cocok untuk dikonsumsi perempuan Indonesia. Produk Milan, Paris, belum tentu cocok dengan perempuan Indonesia. Demikian juga dengan pemberitaan tentang kuliner, ramalan bintang, perempuan dihadapkan pada masalah yang tidak masuk akal,” sebutnya.

Yosep yang akrab disapa Stanley ini menyebutkan media yang memiliki segmen perempuan pun kerap melakukan kekerasan terhadap pemberitaan dengan menyebar berita dengan bahasa yang melecehkan perempuan.

“Setidaknya ada 22 kata yang melecehkan perempuan, misalnya, merenggut kegadisan, menggagahi, menipu luar dalam, menggilir dan lainnya,” sebut Stanley.

Sementara Uni Lubis yang merupakan mantan Anggota Dewan Pers yang kini merupakan Pemred IDN Times, mengatakan jurnalis perempuan itu harus ‘speak up, dalam artian berbicara mengkritisi kebijakan-kebijakan redaksi yang membuat bias gender.

Menurutnya, sudah saatnya jurnalis perempuan menyuarakan kebenaran dan mengkritisi kebijakan redaksi yang terkesan menyudutkan perempuan.

“Kalau tidak kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. Makanya jurnalis perempuan harus speak up,”sebut Uni Lubis, yang juga merupakan pembina FJPI.

Wakil Ketua DPD RI Prof Darmayanti Lubis dalam kesempatan menyatakan jurnalis perempuan saat ini memiliki tugas bagaimana agar bisa melangkah bersama dengan para aktivis lainnya untuk mempengaruhi  masyarakat, peradaban sosial, politik dan budaya agar tidak melakukan bias gender terhadap kaum perempuan.

“Saat ini jurnalis perempuan harus punya akses di setiap lini yang dia masuki agar kita bisa mempengaruhi orang-orang disekitar kita,” sebutnya.
Oleh sebab itulah, para jurnalis perempuan harus mampu mensejajarkan diri agar perempuan tidak diekspolitasi tapi juga harus memiliki akses untuk mempengaruhi orang-orang di sekitar kita, khususnya para pengambil kebijakan.

“Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan. Karena itu jurnalis perempuan pun harus mampu memiliki akses untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan tersebut, agar tetap responsif terhadap kaum perempuan,” ujar legislator dari Provinsi Sumut tersebut.

Sementara pemerhati media, yang juga mantan Ketua MA dan juga mantan Ketua Dewan Pers dua periode Prof. Bagir Manan mengatakan menyatakan profesionalitas dalam menyajikan berita kepada publik saat ini menjadi suatu keharusan terutama di era digital dimana media publik begitu massif.

“Jurnalis sebagai corong informasi berperan penting dalam mencerdaskan masyarakat. Tugas penting jurnalis yang profesional sesuai kode etik sangat berbanding lurus dengan citranya di masyarakat,” tuturnya.

Menurut Bagir Manan, jurnalis yang profesional dan bermartabat tentunya tidak mudah dimanfaatkan oleh para kandidat pada momen Pilkada dan Pemilu untuk memperkenalkan diri dan menaikkan  citra diri. 

"Netralitas media dalam momen pemilihan harus menjadi perhatian utama, karena masyarakat perlu dicerdaskan dengan berita-berita yang aktual, berimbang, dan bermanfaat," ujar Prof. Bagir Manan.(JP-Antero)

Tidak ada komentar: