Rabu, 13 Januari 2016

JOHAN BUDI DAN ISTANA

Jokowi Tunjuk Johan Budi Jadi Juru Bicara Presiden
Presiden Joko Widodo mengumumkan Johan Budi jadi Juru Bicara .Imanuel Nicolas Manafe/Tribunnews.com
Mendapatkan kabar dari Istana tentang pengangkatan Johan Budi sebagai Jurubicara istana mengingatkan saya dengan tulisan setahun yang lalu, ADU STRATEGI JOHAN BUDI DAN BOY AMAR. 
 
Tulisan setahun lalu ditujukan terhadap kedua orang sebagai jurubicara dari kedua lembaga yang sedang hot-hotnya (Johan Budi/KPK dan Boy Amar/Mabes Polri) bertikai. 
 
Perseteruan KPK vs Polri setelah penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK. Terlepas dari polemic, kedua peran sentral memang tidak bisa dipisahkan dari keduanya. Keduanya “sedikit adem” meladeni wartawan sehingga konflik KPK vs Polri kemudian berhasil dilewati. 
 
Di tengah “gagapnya” berbagai Kementerian dibawah Jokowi didalam menyampaikan gagasan tentang pembangunan yang tengah dilakukan Jokowi, “kepiawaian” Johan Budi “diharapkan” dapat mewarnai setelah masuknya Teten Masduki dalam jajaran lingkaran inti Presiden. 
 
Setelah Andrianof Chaniago, Andi Widjajanto yang kemudian “terpental” dalam pusaran inti Jokowi, hampir praktis, sentral komunikasi menjadi “tersebar”. 
 
Jusuf Kalla dengan berbagai komentarnya, Menko Maritim Rizal Ramli yang terkenal dengan “saya kepret”, Menteri Susi yang lebih banyak berkata “saya tenggelamkan kapal”, berbagai kegiatan Jokowi “kurang menarik” dari bacaan public. Selain tentu saja Menteri-menteri yang “gagal” menyampaikan berbagai ide-ide Jokowi.
 
Dalam kondisi seperti ini, Jokowi “perlu orang” yang telaten menjawab pertanyaan public terhadap rencana pembangunan Nawacita Jokowi. Jokowi “memerlukan” speaker yang “tenang”, tuntas namun tetap “menggigigit” dari sang speaker.
 
Berbagai “keseleo” dari Jokowi yang membuat Jokowi “sempat” menjadi masalah dalam berkomunikasi. Masih ingat ketika Jokowi “terlibat” polemic dalam persoalan “tempat kelahiran Soekarno”, “sikap garang dari Jokowi ketika melihat persidangan MKD dalam kasus “papa minta saham” maupun berbagai issu yang sempat menarik perhatian public.
 
Dalam berbagai kesempatan, “corong” lebih banyak “disuarakan” oleh pemangku istana yang berkompeten. Dalam persoalan BBM, sempat tarik menarik “siapa yang harus mengumumkan kenaikan bbm”. 
 
Begitu juga dalam persoalan “eksekusi hukuman mati”. Termasuk dalam persoalan kebakaran yang membuat informasi menjadi simpang siur antara lembaga Negara. Kesemuanya “kendali informasi” tidak terpusat dan sentral komunikasi kemudian tersebar.
 
Jokowi kemudian menyadari berbagai informasi penting, “harus” dikendalikan dalam satu pintu. Pintunya harus terpusat sehingga tidak menimbulkan polemic.
 
Sehingga terhadap kebutuhan ‘satu pintu” membuat Jokowi “menarik” Johan Budi ke istana. Sebuah pengujian dari kapasitas Johan Budi setelah 10 tahun berhasil membawa KPK sebagai salah satu lembaga yang kredibel dimata public.(Musri Nauli)

Tidak ada komentar: