Rabu, 10 Juni 2015

Membaca Peluang HBA Vs Zola di Pilgub Jambi


Jambi, MR-Berdasarkan hasil riset yang dilakukan IDEA INSTITUT terhadap wartawan cetak, online dan TV di Kota Jambi pada awal Januari 2015 lalu, pemilih menganggap yang memiliki kemungkinan maju/ menjadi  di Pilgub, yakni Hasan Basri Agus (HBA) 78 persen  dan Zumi Zola? 62 persen.

Sedangkan yang lainnya memperoleh keyakinan responden dibawah 20 persen, seperti Sutan Adil Hendra 16%, Cek Endra 8%, Sukandar 6%, dan Edi Purwanto 4%. Sehingga masyarakat yakin hanya HBA dan Zola yang memiliki peluang besar untuk maju dalam  Pilgub Jambi mendatang.

Menurut Jafar Ahmad Periset dari Idea Institute yang dirilis, Kamis (4/6) menyebutkan, pada awalnya dimaksudkan untuk menanyakan pendapat wartawan yang berdomisli di Kota Jambi terhadap kondisi riil masyarakat Kota Jambi terkait dengan persepsi mereka terhadap Pilgub Jambi mendatang.


Apakah wartawan bisa membaca perkembangan politik dan persepsi politik masyarakat atau tidak? Hasil riset yang melibatkan 50 orang wartawan sebagai responden ini, diyakini bisa memprediksi fenomena sosial politik seputar Pilgub.

“Namun untuk lebih jauh, terutama memprediksi pilihan individu masyarakat Jambi, hasil temuan ini perlu ditinjau lebih lanjut. Karena pada saat menjawab pertanyaan mengenai siapa yang dipililih oleh masyarakat Jambi, sebagian responden menjawab sama dengan jawaban mereka sendiri,” kata Jafar Ahmad.

Itu artinya terlihat ada upaya “memaksa” kehendak publik agar sesuai dengan persepsi personal responden. Namun, hal ini lagi-lagi perlu diteliti lebih jauh. Sehingga, untuk sementara, sebelum ada penelitian lain yang menyanggah atau mengkonfirmasi hasil riset ini, IDEA INSTITUTE berkesimpulan hasil riset ini hanya menggambarkan opini kelompok wartawan saja, atau komunitas/ kelompok lain yang profilnya mirip wartawan, seperti aktivis LSM, para dosen, dan mungkin sebagian kelompok aktivis mahasiswa.

Menurut Jafar Ahmad, hasil riset menunjukkan bahwa mayoritas wartawan mempercayakan suara mereka untuk HBA, yakni sebesar 50 persen. Sementara itu, mereka hanya memberikan 10 persen ke Zumi Zola dan sisanya 40 persen belum menyatakan pilihan atau tidak tahu.

Ketika wartawan diminta memprediksi/ menebak suara masyarakat, sebanyak 46 persen memprediksi HBA, 16 persen Zola, dan 38 persen tak tahu. Dari situ nampak bahwa suara masyarakat mengikuti suara wartawan, artinya bahwa wartawan cenderung menyamakan persepsi masyarakat dengan pilihan mereka sendiri. Bagaimana sebenarnya yang terjadi di tengah-tengah pemilih pada umumnya? perlu ada penelitian lain untuk membuktikannya.

“Seperti telah disebutkan di atas, karena riset ini memotret pemilih komunitas tertentu, maka hasil riset tidak berpretensi (berupaya) menggeneralisir suara masyarakat Kota Jambi secara keseluruhan yang heterogen. Namun, hasil riset ini bisa dijadikan pedoman untuk melihat komunitas lain yang posturnya sama dengan wartawan. Misalnya postur LSM, Dosen, Praktisi politik dan sejenisnya. Hasil riset ini juga akan disampaikan kepada Tim Pemenangan HBA dan Zumi Zola,” kata Jafar Ahmad.

Berikut Hasilnya

Pemilih menganggap yang memiliki kemungkinan maju/ menjadi  di Pilgub, yakni HBA (78 persen) dan Zola? (62 persen), sedangkan yang lainnya memperoleh keyakinan responden dibawah 20 persen, seperti sutan adil (16%), Cek Endra (8%), Sukandar (6%), dan Edi Purwanto (4%) . Sehingga masyarakat yakin hanya HBA dan Zola yang memiliki peluang besar untuk maju dalam  Pilgub Jambi mendatang.

Terhadap HBA, responden mempersepsikan HBA punya beberapa kelebihan yakni: kesantunan, religius (agamis), visioner, dan berpengalaman. Dari seluruh hal positif ini, faktor “pengalaman” yang paling menonjol pada diri HBA.

Sedangkan terhadap Zola, mereka mempersepsikan Zola cuma punya satu kelebihan yang menonjol yakni gagah/menawan saja. Tak ada kelebihan lain yang nampak dominan.

Terhadap hasil pada poin 2 dan 3, analisis ini memberi kesimpulan, bahwa ada kemungkinan, para pemilih akan bergeser pilihannya, jika citra terhadap calon ini bergeser pula.  Maksudnya, jika Zola mampu meningkatkan kemampuan lain dan menghilangkan bahwa kelebihannya cuma ganteng, tidak ada yang lain atau dengan kata lain bila Zola bisa mempersepsikan bahwa dia punya kelebihan lain, maka pemilih bisa saja bergeser.

Tentu Zola harus bekerja keras tingkatkan kapasitasnya yang lain tersebut. Zola harus membuat publik mempersepsikan dirinya, di samping menawan, juga seorang yang visioner, pendombrak dan seterusnya.

Hasil riset menunjukkan bahwa orang hanya tahu kelebihan Zola cuma ganteng/ menawan saja,  bahkan sampai 78 persen, kelebihan lain, seperti visioner, pendobrak, dan religius, bahkan 15 persen saja tidak sampai.

Begitupun dengan HBA. Tim harus bisa memastikan dan mempertahan persepsi publik bahwa HBA memang memiliki kelebihan-kelebihan yang dipersepsikan oleh para wartawan ini (berpengalaaman, Santun, Visioner, dan agamis ). Kelebihannya yang lain juga perlu ditingkatkan.

Seterusnya, survey ini juga mencoba untuk menggali beberapa kekurangan yang dimiliki oleh dua calon di atas. Kekurangan HBA, yang nampak paling menonjol adalah campur tangan keluarga (44 persen), staf lemah (22 persen), program bagus tapi tak terdengar (20 persen), program tak tuntas (18 persen), beberapa kekurangan lain tidak tampak menonjol,seperti korupsi tidak terlihat.

Analisisnya, meskipun orang beranggapan campur tangan keluarga besar, namun, di sisi lain mereka yakin bahwa Zola cuma punya satu kelebihan, yakni menawan saja, maka itu tak akan berpengaruh terhadap pilihan. Pemilih HBA tak terpengaruh dengan anggapan negatif ihwal campur tangan keluarga, birokrasi lemah dan sebagainya.

Hal ini mungkin terjadi, ketika jika mereka hanya tahu bahwa kelebihan Zola cuma ganteng saja.  Dan, ditambah lagi dalam waktu bersamaan mereka tahu, bahwa disamping ganteng, kelemahan Zola juga banyak. Misalnya terlalu muda (54 persen), gagal bangun Tanjabtim (42 persen), tergantung ZN (32 persen). Maka pemilih HBA semakin sulit bergeser.

Serangan kepada incumbent, siapapun dia biasanya pada tiga area, pertama program yang kurang baik, kedua pada dinasti politik (nepotisme/ campur tangan keluarga), atau moral kepemimpinan. Untuk itu, semua tim incumbent harus memahami ini sebagai sebuah sinyal bahaya, bagaimana menarasikan calonnya ke publik.

Maka, kesimpulannnya HBA harus pastikan semua kelemahan Zola itu betul adanya dan begitupun sebaliknya, Zola supaya mengubah postur pemilih, bahwa dia bukan seperti yang dipersepsikan para wartawan.

Bagi tim HBA, yang harus dilakukan adalah berupaya keras untuk mendesain postur/ profil pemilih agar persepsinya sesuai dengan Postur yang sama dengan kelompok wartawan atau sejenisnya.

Sedangkan yang harus dilakukan tim Zola, mendesain sebuah Postur pemilih, supaya persepsi mereka tidak sama dengan kelompok wartawan. Sehingga kelemahan zola harus dihilangkan, paling tidak dikurangi. Disi lain harus bisa tonjolkan kelebihan lain. Orang harus tahu, walau muda tapi banyak prestasi.

Kelemahan penantang baru selalu dipotret dari satu sisi utama. Sudah mampukah dia menjadi lebih baik dari incumbent. Tim sukses Zola harus menjadikan ini sebagai pertanyaan besar agar dalam melakukan gerakan menjadi lebih aware terhadap isu-isu negatif itu tadi.

Intinya adalah bahwa tim pemenangan, baik HBA maupun Zola, harus merekrut orang-orang yang mampu menarasikan kandidatnya dengan tepat, agar postur pemilihnya sesuai dengan postur ideal yang diinginkan.


Terakhir, hasil riset ini tentu banyak kekurangan. Untuk memastikan riset ini betul atau salah, diperlukan penelitian lain untuk mengujinya. Untuk itu, IDEA INSTITUTE mengundang peneliti lain yang tertarik, melakukan riset dalam berbagai bentuk untuk mengujinya, misalkan dengan FGD atau riset ulang kepada kelompok wartawan atau yang sejenis. Intinya, sebagai peneliti saya meyakini riset ini tentu memiliki kemungkinan salah. (Lee) 

Tidak ada komentar: