Kamis, 30 Oktober 2014

Perusahaan Perkebunan "Musuh" Orang Rimba

TAK BERPENGHUNI: Inilah 50 unit rumah dari Departemen Sosial untuk Orang Rimba yang sudah dua tahun terbengkalai. Tapi perumahan tersebut tak lama ditinggalkan karena dibangun di Desa Padang Kelapo yang secara geografis bukan wilayah pemanfaatan mereka. FOTO IST Willy Marlupi

Keberadaan Suku Rimba di Sarolangun Masih Dilema


Ada sepuluh dari dua belas ke-tumenggungan orang rimba kini hidup diluar rumahnya “Bukit 12”. Mereka terpaksa hidup dipinggir-pinggir desa, disepanjang jalan lintas, dan di areal-areal kerja perusahaan-perusahaan.

R MANIHURUK, Jambi

Orang rimba ini ada yang mengemis dijalan raya. Ada yang ke kabupaten-kota menjadi peminta-minta. Ada yang ke areal perusahaan yang kemudian ‘memajak’ kendaraaan yang sedang lewat dengan alasan yang terkadang menurut orang luar susah untuk dimengerti.

Orang Rimba yang selama ini dikenal dengan kearifan lokal dan berpegang teguh pada adat istiadat seolah-olah memudar, resistensinya kemudian muncul. Mereka kerap bentrok dengan masyarakat desa dan kerap menjadi korban karena berhadapan dengan kelompok masyarakat yang lebih dominan. Pelaku usaha yang tempatnya diduduki orang rimba menjadi serba salah, karena orang rimba diangap sesuatu yang punya ‘imunitas dan sangat sensitif’.

Hal tersebut diungkapkan Willy Marlupi, Pendiri Sokola Rimba Jambi kepada Harian Jambi baru-baru ini. Menurutnya, jika dilihat dari keadaatannya, berpindahnya orang rimba disebabkan oleh beberapa hal Pertama, karena masih menjalani tradisi ‘melangun’ yaitu untuk menghilangkan rasa sedih akibat anggota keluarga meninggal dunia. Kedua, menghindari penyakit yang sedang mewabah Ketiga, kepentingan berladang dan mencari hasil hutan non kayu dan Keempat, menghindari perselisihan atau musuh.


“Kenapa orang rimba keluar dari bukit 12? Kenyataan diatas melahirkan pertanyaan dan rasa penasaran banyak pihak, sesungguhnya apa yang terjadi di bukit duabelas? apakah ada masalah dengan kehidupan orang rimba disana? apakah sumberdaya dibukit duabelas tidak mencukupi lagi kebutuhan hidup mereka,” kata Willy bertanya.

Disebutkan, kondisi terkini Orang Rimba Bukit 12 seperti Tumenggung Ngamal dan Ngirang. Kelompok ini dari kawasan sungai Kejasung Kecil, wilayah  Bukit 12, Kabupaten Batanghari. Mereka meninggalkan bukit 12 sudah dua tahun dan masuk ke areal kerja Perusahaan HTI di Kabupaten Batanghari.

“Kami disini mencari buah semangkuk dan beburu tringgiling. Kami keluar Bukit 12 karena wilayah itu sudah jadi hutan lindung taman nasional (maksudnya TNBD - taman nasional bukit duabelas). Sejak itu jalan disana tak pernah diperbaiki. Jalan rusak parah, kami tak bisa mengeluarkan hasil hutan atau kebun padahal kebun-kebun karet kami sudah ada yang bisa dipotong. Begitulah inti penjelasan Tumenggung Ngamal dan Tumenggung Ngirang menjawab pertanyaan kenapa meninggalkan wilayahnya, Kejasung Kecil, Bukit 12,” kata Willy.

Tumenggung Lidah Pembangun

Kata Willy, kelompok ini  diketahui masih satu kerabat dengan Kelompok Tumenggung Ngamal dan kelompok Tumenggung Ngirang. Kelompok ini juga sudah 3 tahun meninggalkan kampung halamannya Kejasung Kecil Bukit 12.

Mendiami areal kerja perusahaan HTI  Desa Muaro Killis, Lubuk Mandarsah dan Desa Suo-Suo, Kabupaten Tebo. Pola hidupnya bisa dikatakan sama dengan Kelompok Ngamal dan Ngirang, masih mencari hasil hutan non kayu, tinggal dipinggir koridor perusahaan, dan masih kurang terbuka dengan dunia luar atau beberapa program pembangunan, rentan berbenturan dengan masyarakat desa ataupun pengguna jalan yang menempuh koridor perusahaan.

Dikatakan, ada Tumenggung Hasan, Buyung dan Bujang Kabut. Ketiga kelompok ini masih satu kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Tupang yang pemanfaatan lahannya satu hamparan dengan kelompok Tumenggung Lidah Pembangun diwilayah Muaro Killis.

Pada Agustus lalu, kelompok Tumenggung Bujang Kabut menjadi pusat perhatian karena insiden bentrokan dengan beberapa desa di Kecamatan Tebo Ulu, Kabupaten Tebo.

Hubungan kekerabatan kelompok ini dengan orang rimba bukit 12 terjalin dari hubungan smendo-menyemendo atau tali perkawinan, khususnya kelompok Tumenggung Hasan dan Kelompok Tumenggung Buyung yang diketahui punya hubungan smendo dengan kelompok orang rimba air hitam Bukit 12, Kabupaten Sarolangun.

Begitu juga dengan kelompok Cukai yang sudah cukup lama tinggal di semerantihan dan sekarang bergabung dengan kelompok Tumenggung Hasan. Karena adanya hubungan perkawinan antara kelompok ini otomatis terbangun interaksi yang cukup kuat antara orang rimba diwilayah bukit 12 ke wilayah Orang Rimba Bukit 30 sekitarnya.

Tumenggung : Majid dan Betaring

Willy menjelaskan, Kelompok Majid masih ada kekerabatan dengan kelompok Tumenggung Jelitai Kejasung Besar Bukit 12, juga dengan beberapa kelompok yang ada di wilayah Sungai Makekal.

Kini mereka tinggal dipinggir Desa Pematang Kabau tepatnya diujung Jalan Singosari, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Kelompok Tumenggung Majid pernah mengalami benturan serius dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) dan Balai Taman Nasional Bukit Duabelas (BTNBD) karena implikasi pelaksanaan kebijakan Taman Nasioanal.

Sosialisasi aturan TNBD yang melarang berladang dan berburu menambah tebalnya persoalan dan memaksa Orang Rimba bukit 12  melaporkan kasus-kasus tersebut kepada KomnasHAM dan DPR RI di Jakarta (2007),

Kelompok Tumenggung Majid pernah beberapa kali menerima program perumahan yang dilakukan oleh departemen sosial, begitu juga dengan kelompok Bepak Beraden dan kelompok air panas diwilayah air hitam. Seperti biasa pembangunan proyek perumahan oleh Depsos rata-rata adalah eksitu, atau dibangun diluar wilayah pemanfaatan komunitas dan tidak diikuti dengan penyediaan lahan seperti program transmigrasi pada umumnya, sehingga tidak bertahan lama karena dan tidak adanya pemberdayaan yang berkelanjutan. (*/lee/bersambung)

Tidak ada komentar: