Jumat, 22 Agustus 2014

OJK Godok Pembentukan LPS-nya Asuransi



Kredit Macet di Sektor UKM Masih Tinggi

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong seluruh perusahaan asuransi baik jiwa maupun umum untuk membentuk Lembaga Penjamin Polis (LPP). Lembaga ini berfungsi menjamin nasabah asuransi apabila merasa dirugikan.

Deputi Komisioner OJK Pengawasan Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Ngalim Sawega mengatakan, lembaga ini dibentuk sebagai perlindungan kepada nasabah asuransi layaknya perbankan yang punya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).


“Lembaga Penjamin Polis (LPP) ini sedang dibahas. Paling tidak memang perlu ada program penjaminan polis, semua perusahaan asuransi baik jiwa maupun umum wajib ikut di situ. Ide besarnya hampir mirip dengan LPS," kata Ngalim saat acara media briefing terkait Perkembangan Industri Keuangan Non Bank, di Gedung Soemitro OJK, Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (21/8).

Menurut dia, pembentukan lembaga ini untuk memberikan perlindungan kepada para nasabah terhadap potensi kerugian ke depan. "Jadi memberikan perlindungan kepada konsumen. Kalau perusahaan asuransi ditutup akan ada jaminannya," kata Ngalim.

Ngalim mengungkapkan, pembentukan lembaga tersebut masih dibahas bersama-sama dengan LPS dan DPR melalui Rancangan Undang-Undang (RUU). Nantinya, lembaga ini akan berada di bawah LPS.

Lembaga ini, kata Ngalim, sudah lebih dulu diterapkan di negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Kanada, Korea Selatan, dan Jepang. Di sana, perlindungan nasabah asuransi sudah cukup tinggi.

“Kita tentu ingin seperti negara lain juga sudah menerapkan seperti Singapura, Malaysia, Kanada, Korea, Jepang," ujarnya.
Naik Jadi 4,13%

Sementara OJK juga mencatat kenaikan kredit macet atau NPL di sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM) di bulan Juni 2014 menjadi 4,13%. 

Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK dalam situs resminya tercatat total baki debet UMKM di bulan Mei 2014 mencapai sebesar Rp 635,43 triliun dengan total NPL sebesar Rp 25,25 triliun. Dengan angka tersebut, artinya NPL UMKM bulan Mei 2014 mencapai sekitar 3,97%.

“NPL UMKM Juni 2014 naik, 4,13%. Perbankan perlu mewaspadai, peningkatan NPL di UMKM cukup besar," kata Deputi Komisioner Manajemen Strategis IB OJK Lucky FA Hadibrata saat konferensi pers di Gedung OJK, Jakarta.

Dia menjelaskan, kenaikan kredit macet ini disebabkan karena bisnis di sektor UMKM tertekan. Suku bunga kredit UMKM dinilainya masih stabil di kisaran 12-13%.

“Suku bunga kredit UMKM bulan Juni 12,62%. Kredit konsumsi 13,26%, kredit investasi 12,10%, kredit modal kerja 12,51%, jadi rata-rata masih 12-13%," jelas dia.

Lucky menyebutkan, penyaluran kredit UMKM hingga bulan Juni 2014 mencapai Rp 711,45 triliun atau tumbuh 17,25% secara year on year (yoy). Pertumbuhan ini lebih lambat dari pertumbuhan bulan Mei secara yoy sebesar 19,25%.

Dia mengungkapkan, pihaknya mengimbau kepada seluruh perbankan untuk mengantisipasi kenaikan kredit macet khususnya di sektor UMKM.

“Pengawas minta ke seluruh perbankan untuk bisa menyelesaikan dengan sebaiknya. Pengawasan memberikan rekomendasi langkah bank-bank untuk mulai bagaimana cara penanganan kredit UMKM. Kalau sudah mencapai 4% semua sibuk. Bagaimana mereka recovery jangan sampai lebih dari 5%, pengawas tidak diam untuk melakukan langkah-langkah pencegahan, pengawas melakukan monitoring," pungkasnya.

Kondisi Industri Keuangan Indonesia

OJK menilai perkembangan industri jasa keuangan secara umum dalam kondisi baik. Penilaian tersebut merupakan kesimpulan Rapat Bulanan Dewan Komisioner OJK yang digelar rutin pada minggu kedua setiap bulan untuk mengevaluasi perkembangan dan profil risiko di industri jasa keuangan.

“Industri jasa keuangan secara umum dalam kondisi baik. Secara global pemulihan ekonomi pada negara maju tetap berlanjut namun melambat," ujar Lucky.

Dia mengatakan, kondisi lembaga keuangan secara umum dan risiko likuiditas menunjukkan bahwa alat likuid perbankan cukup memadai untuk mengantisipasi potensi penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK). Selain itu gearing ratio atau rasio utang terhadap modal perusahaan pembiayaan meningkat.

Dari sisi risiko kredit, jumlah kredit yang berkualitas rendah dan konsentrasi kredit pada debitur inti perbankan tergolong tinggi. Sementara NPL perbankan dan NPF perusahaan pembiayaan meningkat, namun masih di bawah treshold.

Risiko pasar relatif rendah. Nilai investasi asuransi, dana pensiun, dan reksa dana meningkat seiring penguatan pasar.

Membaiknya industri keuangan juga terlihat dari beberapa indikator pada bulan Juli meliputi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai tukar rupiah, dan yield SBN yang mengalami kenaikan secara month to month (mtm).

Dia menyebutkan, IHSG menguat 4,31%, penguatan dilatarbelakangi sentimen positif global dan regional. Sementara itu, rupiah mengalami apreasiasi 2,33% ditopang pekembangan politik seiring perbaikan persepsi rasio. Yield SBN mengalami penurunan rata-rata 20 bps.

Net buy asing Juli tercatat Rp 13,07 triliun atau mengalami peningkatan Rp 3,57 triliun dibanding bulan sebelumnya. SBN net asing sebesar Rp 14,67 triliun meningkat sebesar Rp 8,24 triliun dari bulan Juni.

“Perkembangan sektor jasa keuangan secara umum menunjukan kondisi yang baik, permodalan perbankan tergolong tinggi dengan level CAR 19,46%," kata dia.

Kondisi pasar modal menguat pada bulan Juli diikuti peningkatan NAB reksa dana yang tercatat sebesar Rp 212,79 triliun, meningkat sebesar Rp 2,81 triliun atau sebanyak 1,34%.

Sementara, untuk industri asuransi tercatat aset sebesar Rp 621,57 triliun pada triwulan I dengan nilai investasi mencapai Rp 505 triiliun.


“Pertumbuhan piutang perusahaan pembiayaan mengalami perlambatan walaupun tetap meningkat," pungkasnya.(dtk/lee)

Tidak ada komentar: