Jumat, 18 Juli 2014

Catatan Pinggir Simon Saragih: AKAN KAH KERINDUAN BERTAHUN-TAHUN INI TERWUJUD?



Lahir di desa dan sekolah di desa, kemudian meninggalkan desa untuk menempuh SMA di kota. Lulus SMA melintasi selat Sunda menempuh pendidikan di Pulau Jawa dan bertengger di Yogyakarta selama 5 tahun.

Bertemu lintas suku, agama dan melewati wilayah RI yang indah dan gemah ripah loh jinawi. Tentu ingin materi karena itu adalah juga bagian dari keinginan. Namun lebih merenyuhkan melihat sesama turut bahagia dan hidup makmur.

Inilah keinginan lama, keinginan sejak kecil, karena sering mendengar lagu-lagu Koes Plus berjudul "Nusantara", betapa indah Nusantara.

RI tidak terlalu buruk perkembangan ekonomi walau tidak semelejit tetangga Asia. Namun sering batin menjerit saat KKN di Purworejo dimana kemiskinan amat terasa tahun 1987 lalu. Sering menemukan buruh yang hanya mampu makan bakso karena gaji tak memadai sementara kerja harus lebih dari 8 jam.

Menjadi wartawan lapangan semakin membuka cakrawala tentang potret perih kehidupan di tengah dualisme ekonomi, dimana segelintir hidup mewah dan bisa plesiran ke luar negeri. Namun mayoritas tetap saja nestapa dan angka-angka pertumbuhan ekonomi lebih ditonjolkan walau distribusi pemerataan pendapatan tidak terlalu baik juga.

Serasa seperti di kiri ada jeritan kehidupan, di sisi kanan ada senyum sumringah bertabur kemakmuran. Aku seperti ada di tengah, dengan kecenderungan jeritan kehidupan selalu mewarnai rekan hingga terbawa tidur.


Meliput berita lintas negara semakin mematrikan potret negara yang sering ditertawakan negara lain dengan isu korupsi, manipulasi. Lebih perih, bertemu elite RI di bandara-bandara transit internasional, dan di sisi lain ada setumpuk TKI-TKI hendak mengadu nasib di seberang.

Ouh, menangis hati ini melihat sesama warga yang terpaksa hijrah memperbaiki hidup di seberang. Tentu terbayang betapa dia akan rindu pada negaranya, yang tidak bisa menghidupinya.

Menjerit hati ini karena negaraku memiliki sumber daya alam nan kaya tetapi tak mampu membalikkan status sosial ekonomi mayoritas sesama bangsa. Demikianlah jerita bertahun-tahun, yang rasanya tak tahu harus disampaikan lagi kemana.

Bicara pada elite atau pemerintah pun serasa buntu. Adakah penentu kebijakan ini benar-benar peduli pada rakyatnya. Demiikian sering suara batin bergumam sendiri.

Iri dan ingin melihat Skandinavia terwujud di RI tetapi bertahun-tahun rasanya itu adalah sebuah utopia.

Setiap kali rilis The Transparency Internasional (TI) muncul, setiap kali RI bertengger di jajaran negara terkorup, bahkan disetarakan dengan negara-negara Afrika.

Setiap kali membaca rilis "World Competitiveness Report" buatan World Economi Forum (WEF), setiap kali terlihat ranking daya saing negaraku yang tak membanggakan.

Terkonfirmasi pula dari riset TI dan WEF bahwa masalah RI selalu serupa, dengan masalah yang itu-itu saja, yakni birokrasi kaku, perizinan kaku, dan pemerintahan yang tidak bersih dan pemerintahan dengan cara memerintah yang tak baik.

Padahal inilah kiat utama pembangunan dan kiat utama menuju kemakmuran, yakni clean government dan good government. Itu pulalah yang bertahun-tahun jadi stigma negara ini dalam perbandingan negara-negara. Tentu tidak lebih buruk dari negara-negara terjebak perang, dan tentu pula tak layak sebenarnya RI menyandang cap buruk itu terjadi di negara yang kaya dan ramah ini, diturunkan kakek moyang.

Maka dari itu, sering menjerit mendengar iklan Garuda Indonesia dengan tembang "Tanah Airku Tidak Kulupakan", apalagi ketika itu terdengar saat berada di seberang. Sering makin menangis saat mendengar lirik dan melodi indah tembang "Nyiur Melambai" dan "Raja Kelana", yang begitu indah dan syahdu tetapi menjadi rasa sepat saat menyaksikan nyata keadaan lapangan dan kenyataan nyata para tetangga kiri-kanan.

Begitu lama hal itu berlangsung hingga hati berkesimpulan dan bertanya, "Bagaimana Tuhan, mengubah keadaan dan membuka mata dan hati para penentu kebijakan ini?"

Muncul pula kesimpulan diri, "Akh, mengapa lah aku harus pikirkan itu semua, Bodohnya aku." Namun tetap saja tak bisa dan tetap sulit untuk abai pada nasib sesama, apalagi dengan kehidupan yang banyak jeritan, hingga membiayai operasi cesar pun tak mampu.

Mendadak Pilpres 2014 seperti menyemburkan secercah harapan. Quick Count itu menyergap aura optimisme saya, tetapi kemudian menjadi kabur seketika itu pula.

Setiap hari sibuk mengikuti perkembangan real count dengan harapan yang sejauh ini masih terus di level harapan.

Namun 3/4 batin ini semakin kuat mengharapkan akan adanya sebuah era baru. Itu terpaut dengan asa ini yang entah itu utopis, tetapi ingin sesama warga hidup lepas dari jerat kemiskinan.

Oh Tuhan, aku memang melankolis tetapi nyata kok jeritan kehidupan mayoritas sesama RI-ku, yang sering kulihat untuk menyekolahkan anaknya saja tak mampu, jangankan bicara liburan di Genting Highland Malaysia, apalagi ke Menara Eiffel di Paris.

Izinkan aku bermimpi Tuhan, kali ini juga, atau izinkan aku Tuhan bermohon, kali ini juga, aku ingin RI yang beranjak ke arah lebih baik. Tidak usah pun seperti Jepang atau AS dan Eropa, tetapi sederhana saja, izinkan RI menjadi negara yang lebih makmur lagi harmonis.
Akankah ini terwujud Tuhan? Rasanya sih, tidak ada yang mustahil bagi Tuhan.(Simon Saragih :Salam Pamulang Permai Tangsel Banten)

Tidak ada komentar: