JAMBI - Banyak cara untuk mengelola hutan yang ada di sekitar kita. Baik
mengelolanya dengan cara mendatangkan pengelola swasta yang akan menjarah dan
mengeksploitasi hutan tersebut untuk kepentingan pribadinya, atau pun
menggunakan komunitas adat yang kuat untuk mengelolanya dan mengolah hutan
tersebut menjadi basis perekonomian yang kuat bagi masyarakat adat yang ada disekitarnya,
yang notabene adalah masyarakat adat.
MUSLIHIN, Jambi
Lalu, untuk wilayah Jambi, cara manakah yang paling tepat?
Karena begitu luas dan mempesona kawasan hutan yang ada di Jambi, cukup
mengundang minat dan selera para pengusaha swasta untuk menjarah dan
menguasainya, meski dengan mengorbankan masyarakat yang ada di sekitar hutan
tersebut.
Di Jambi sendiri, saat ini sedang mencuat kasus soal
pengelolaan hutan. Tepatnya persengketaan antara pemilik Hak Guna Usaha (HGU)
PT Asiatic Persada di wilayah Kabupaten Batanghari. Sengketa tersebut terjadi
ditenggarai terjadi akibat adanya perebutan paksa wilayah atau kawasan hutan
yang sejak dahulu dikelola oleh masyarakat adat yang ada di sekitar wilayah
Batanghari oleh PT Asiatic Persada.
Aturan Tak Tertulis
Sebenarnya, sejak jauh-jauh hari, Hutan Adat telah muncul
dan tumbuh sebagai aturan tak tertulis di tengah masayarakat. Karena sejak
jaman bahoela dulu, mayoritas masyarakat di Jambi memang mengelola kawasan
hutan yang ada di sekitar tempoat tinggalnya senagai sumber mata pencahariannya
sehari-hari.
Namun seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit sistem
pengelolaan hutan ada tersebut mulai bergeser. Masyarakat adat tidak lagi
sebagai pengolah yang memiliki hak yang kuat dalam mengolah Sumber Daya Alam
(SDA) yang ada di sekitarnya, karena harus berbenturan dengan kepentingan
penguasa yang lebih memilih memberikan lahan tersebut kepada
pengusaha-pengusaha asing untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
Ketua Pelaksana Harian Wilayah Adat Jambi, Datuk Usman
Gumanti mengatakan, hukum nasional belum sinkron dengan hukum adat. Hal ini
dapat terlihat pada beberapa persoalan yang meski telah diselesaikan dengan
hukum adat, akan tetapi tetap diselesaikan dengan hukum nasional.
Lembaga adat yang ada di Indonesia dinilai lemah dan tidak
sinkron dengan hukumnasional.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pembunuhan, meski
persoalan tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat, namun dari
aparat keamanan juga tetap memproses kejadian tersebut. Ini menjadi salah satu
bukti bahwa hukum adat dan hukum nasional masih belum bisa sinkron, padahal
jauh sebelum negara ini ada, kearifan lokal hukum adat tersebut sudah ada.
Demikian juga, peranan dan fungsi dari Kelembagaan Adat
Melayu Jambi dinilai masih belum maksimal
100 persen untuk menyelesaikan sengketa-sengketa adat yang terjadi di
tengah masyarakat. Ini terjadi karena selain pengakuan hak masih lemah, juga
karena kelembagaan adat yang ada masih belum kuat.
Perda Lembaga Adat Perlu Dibenahi
Tidak hanya itu, Perda Kelembagaan Adat Melayu Jambi juga harus
dibenahi lagi, mengingat dinilai masih terdapat celah atau kekurangan. Karena
dengan perda tersebut, masyarakat adat di Provinsi Jambi tidak bisa hidup
seperti dulu.
Usman mengatakan, agar hukum adat di Provinsi Jambi bisa
diakui keberadaannya secara nasional, maka kelembagaan adat dan SDM
orang-orangnya harus lebih diperkuat lagi. Kelembagaan adat yang ada saat ini
dinilai masih lemah.
Pemerintah sudah mengakomodir mengenai adat. Misalnya dalam
UU No10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seandainya
hal itu tidak dimasukkan, maka hak masyarakat untuk melakukan judicial review.
Tapi sayangnya, hak-hak itu tidak pernah digunakan. “Dengan sinkronisasi
tersebut, bukan berarti hukum adat harus setara dengan hukum nasional. Tapi
lebih bagaimana pengakuan terhadap hukum lokal dan hak-hak masyarakat lokal
tersebut,” ujar Usman.
Di sisi lain, Kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai
masih lemah. Dan masih berkutat dalam hal-hal yang hanya bersifat simbolik,
meski demikian, diharapkan semua pihak terus melakukan pembenahan baik secara
kelembagaan maupun SDM para Pengurus Lembaga Adat di Tingkat Provinsi sampai
Tingkat Kecamatan yang ada serta melakukan sosialisasi ulang Perda Kelembagaan
Adat Melayu di Provinsi Jambi
Lebih jauh Usman mengatakan, penguatan peradilan adat, tidak
untuk melemahkan peradilan formal, tetapi lebih pada pertimbangan atas kenyataan
bahwa jangkauan peradilan formal sebagai wadah bagi masyarakat untuk mencari
keadilan masih sangat terbatas. Di saat yang sama disadari bahwa pada level tertentu ada hal dalam sistem peradilan
informal dan atau peradilan adat yang masih belum sejalan dengan prinsip dasar
hak asasi manusia (HAM), seperti pelibatan perempuan dalam pengambilan
keputusan.
Ketua Aman Wilayah Jambi, Datuk Sulaiman Hasan, seusai Seminar
Nasional di Bappeda Provinsi Jambi, dengan tema “Masyarakat adat antara issu
Redd dan kearifan lokal dan hukum adat” mengatakan, masalah masyarakat adat
perlu sekali diperhatikan secara serius, karena masyarakat adat dan hukum
adat merupakan penyangga keharmonisan tata
kehidupan dalam masyarakat.
Dahulu peranan adat sangat besar dalam menyelesaikan masalah
di tengah masyarakat, namun saat ini peranannya sedikit menurun dalam menentukan kebijakan. Terutama
dalam tataran hukum sering tumpang tindih dengan hukum nasional dan juga dalam
pengelolaan hutan.
Datuk sangat menyayangkan maraknya terjadi berbagai sengketa
dan perebutan wilayah kawasan hutan adat antara masyarakat dengan perusahaan.
Kepala Pusat Sumberdaya Burung Indonesia, Mangarah Silalahi mengatakan,
pada dasarnya sebelum kemerdekaan hukum adat cukup kuat peranannya dan ditaati
masyarakat. Namun setelah kemerdekaaan, hukum adat mulai dialihkan ke hukum negara, hingga menyebabkan secara berlahan hukum adat
sedikit tergeser karena pengaruh hukum formal yang diterapkan dalam negara.
Padahal, sesungguhnya, peran masyarakat dalam melestarikan
kawasan hutan, sangat berguna untuk menekan emisi rumah kaca, karena masyarakat
mengolah hutan dengan cara yang arif, sementara perusahaan HGU, mengelola hutan
dengan cara mengeksploitasinya dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.
Kearifan Masyarakat Adat dalam Mengelola Lingkungan Hutan
Ketua BPH Aman Wilayah Sulawesi Tengah Rizal Mahfud mengatakan, kearifan lokal tata kelola hutan masyarakat
adat perlu pengelolaan hutan yang arif dan berkelanjutan. Ini harus dilakukan
secara terus menerus, contohnya pada Wumbu Wana di daerahnya, yang adalah daerah puncak gunung yang ditumbuhi pepohonan
berdiameter kecil dan ditumbuhi lumut. Daerah ini merupakan daerah larangan, selain
dikeramatkan, fungsi lain dari Wumbu Wana adalah merupakan sumber mata air.
Menurut aturan adat zona ini sama sekali tidak boleh dijamah
oleh manusia. Kepemilikan wilayah ini adalah komunal Wana (Hijau muda) adalah Daerah ini kayunya
sudah besar-besar yang juga dilarang untuk dikelola karena merupakan daerah
penyangga jika dikelola akan mendatangkan banjir. Kepemilikan wilayah adat ini
adalah Komunal.
Pandulu (Hijau yg lebih muda lagi) adalah Hutan rimba (sekunder), merupakan habitat
tempat hidup hewan endemik seperti Anoa dan Babi Rusa. Zona ini juga menjadi
tempat mengambil hasil hutan non kayu seperti obat-obatan dan rotan.
Pengambilan hasil hutan di zona ini diatur oleh aturan adat. Bagi
masyarakat/setiap orang yang mengambil Damar atau Rotan di areal ini,dikenakan
pungutan 15 persen dari hasil pendapatannya dan disetor ke kas Adat Desa.
Disebutkannya lagi, ada dua hal yang menjadi patokan masyarakat
adat dalam mengelola hutan, yang pertama mengenai larangan, yakni larangan
keras pembukaan lahan perkebunan di wilayah yang dikeramatkan (zona inti), tidak
diperkenankan membuka hutan atau mengelolah hutan di sekitar sumber mata air, dilarang
menebang pohon atau membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan (Taolo).
Yang kedua disebut Pantangan, dilarang membawa hasil hutan
seperti rotan, pandan hutan dan bambu ke kampung melalui persawahan pada masa
padi dalam keadaan keluar buah. Dilarang menebang pohon di wilayah adat dan di kebun
milik pribadi pada saat duka di kampung,
Menurut Rizal ini bagi masyarakat yag melanggar contoh Sanksi Adat dalam
Pengelolaan Hutan Menebang kayu diwilayah adat atau dikebun orang lain tanpa
pamit dengan lembaga adat dan pemilik kebun akan dikenakan Sanksi Adat yaitu; satu
ekor Kerbau atau “di Kamba” dengan nilai uang Rp 7.500.000, dengan waktu
pembayaran paling lama satu bulan atau tiga puluh hari setelah orang itu
kedapatan melanggar ketentuan diatas
Dijelaskan Rizal, ada beberapa cara yang dapat dilakukan
dalam praktek kearifan masyarakat adat dalam mengelola hutan, pertama
masyarakat adat harus memiliki motivasi yang kuat untuk melindungi SDA dan Lingkungan
Hidup dibanding masyarakat lainnya, karena terkait langsung dengan
keberlanjutan kehidupan masyarakat adat.
Yang kedua, memiliki pengetahuan adat (tradisional) untuk
melestarikan dan memanfaatkan SDA secara berkelanjutan di wilayah adatnya, ketiga
memiliki hukum adat agraria atau SDA untuk ditegaskan. Keempat, memiliki
kelembagaan adat untuk mengurus dan mengatur interaksi harmonis antara mereka
dengan alam sekitarnya. Kelima, memiliki konsep penguasaan lahan atau wilayah
adat untuk menjaga keseimbangan yang dinamis antara hak individual sebagai
warga dan hak kolektif dan komunal sebagai satu komunitas adat otonom dan berdaulat.
G.M. Saragih MSi, Dosen Universitas Jambi mengatakan, potensi
masyarakat adat melalui kearifan lokal amatlah baik untuk meminimalisir laju pemanasan
global. Masyarakat adat sangat besar peranannya dalam mengurangi laju pemanasan
global.
Masyarakat adat itu sendiri dapat melakukan rehabilitasi lahan-lahan
kritis melalui program penghijauan dan reboisasi, menjaga kelestarian hutan dan
lahan gambut, melakukan pengendalian kebakaran lahan dan hutan, melakukan
penanaman pohon atau kembang di halaman rumah,
mengurangi konsumsi bahan bakar, membuat pupuk kompos dari sampah
organik, mengurangi volume sampah rumah tangga, menghemat listrik dan air,
serta melakukan pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).
Upaya lain yang dapat
dilakukan masyarakat adat untuk mengurangi laju pemanasan global, adalah; menjaga
kelestarian ekosistem Lahan gambut, pelestarian ekosistem mangrove (bakau), membuat
kompos dari sampah organik dengan metoda biopori, melestarikan Lubuk larangan,
pengelolaan lahan gambut.
Pengelolaan lahan gambut telah dilakukan secara arif oleh
masyarakat lokal, namun oleh pertambahan penduduk, pembukaan lahan gambut
dilakukan secara luas dan tidak memperhitungkan fungsi ekologisnya. Kandungan carbon yg terdapat dalam Gambut di
dunia sebesar 329-525 Gt atau 35 persen dari total C dunia. Apabila gambut
terbakar atau mengalami kerusakan, maka gambut akan mengeluarkan CO₂, NO₂ dan
CH₄ yang akan mempengaruhi iklim dunia. (*/ini)
****
Issu REDD+ di
Provinsi Jambi
Menurut Usman Gumanti dan Sulaiman Hasan, Masyarakat Adat merupakan
bagian dari masyarakat lain dan juga bagian dari Negara Indonesia, bahkan
bagian dari sistem dunia. Perubahan atau kejadian di tingkatan dunia akan
mempengaruhi kondisi Indonesia dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi
Masyarakat Adat.
Agenda-agenda internasional dalam hal fenomena perubahan
iklim yang terwujud salah satunya dalam mekanisme REDD+ (Reducing Emissions
from Deforestation and Forest Degradation). REDD+ pada intinya menghendaki
adanya pengurangan emisi karbon dengan cara mengurangi laju pengerusakan hutan
serta juga menjaga agar hutan yang masih adat tetap berfungsi maksimal dalam
hal penyerapan karbon dan pada sisi lain akan ada imbalan atau insentif terhadap kegiatan tersebut.
Dalam prosesnya, Kalimantan Tengah ditetapkan oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai salah satu tempat percontohan REDD+.
Berbicara tentang hutan, tentu saja akan juga berbicara tentang wilayah. Maka
hal tentang wilayah menjadi sarat dengan kepentingan. Tidak hanya kepentingan
bertaraf lokal dan nasional, bahkan juga sampai pada taraf internasional.
Masyarakat Adat di Provinsi Jambi, seperti juga Masyarakat
Adat di tempat lain, tidak dapat dipisahkan dengan wilayah adatnya. Tanpa
wilayah adat, maka Masyarakat Adat serupa batang pohon tanpa akar yang akan
menuju kepada kematian. Dalam konteks banyaknya kepentingan yang terhadap
wilayah, mau tidak mau Masyarakat Adat masuk ke dalam pusaran kepentingan
tersebut. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) sebagai wadah perjuangan
Masyarakat Adat dengan tegas menyatakan “No Rights, No REDD”.
Tanpa adanya pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, maka REDD
akan ditolak. Jangan sampai Masyarakat Adat karena kegiatan REDD menjadikannya
kehilangan hak-hak atas wilayah adatnya. Tentu saja pernyataan tersebut harus
diuraikan kembali tingkatan-tingkatan yang lebih operasional. Apalagi mengingat
bahwa dalam sistem REDD+ yang selama ini diketahui bernafaskan hukum positif.
Semua hal harus dapat dibuktikan secara material.
Pada konteks REDD+ selama ini, mekanisme REDD+ selalu datang
dari pihak di luar Masyarakat Adat. Yang tentu saja sarat dengan kepentingan
pihak luar tersebut. Dengan Proyek ini, Aman selangkah lebih maju dan berupaya
dengan proaktiv membuat mekanisme REDD+ ala Masyarakat Adat. Di mana Mekanisme
yang diharapkan lebih sesuai dan berpihak pada kepentingan Masyarakat Adat itu
sendiri.
Tentu saja mekanisme yang ditawarkan oleh masyarakat adat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya masyarakat adat dalam
mengembalikan hak-hak adatnya baik dengan merevitalisasi UUPA No 5 tahun 1960
serta UU No 5 1990 tentang konservasi dan perjuangan untuk mengimplementasikan
Keputusan MK No 35/PUU/X/2012 tentang pasal 1 poin 6 UU 41 tentang Kehutanan
yang menyatakan Hutan Adat bukan lagi Hutan Negara. Belum lagi desakan kepada
wakil rakyat di DPR RI untuk mempercepat proses pengesahan RUUPPMHA yang
merupakan perjuangan yang sudah cukup lama dilakukan. (*/ini)
*****
Tolong beri foto Rahmat Hidayat, Direktur KKI Warsi Jambi
Jambi Pelopor Hutan Adat
Dalam memanfaatkan hutannya, masyarakat adat di Jambi
menggunakan kearifan lokal yang berasaskan lestari dan berkelanjutan.
Masyarakat adat ini dinilai sangat paham akan manfaat hutan dan dampak yang
akan timbul dari pengelolaan hutan. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif
KKI Warsi Jambi, Rahmat Hidayat.
Adanya pengakuan hutan adat di Jambi, adalah sebagai langkah
maju Jambi dalam mengakomodir ruang kelola masyarakat yang hidup di dalam dan
di luar kawasan hutan,” ujar Rahmat.
Hingga saat ini, ada sekitar 9.406,69 hektare hutan adat yang
dilegalisasi dengan Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah. Dengan adanya
keputusan MK 25 Tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan
negara tentu merupakan angin segar bagi perjuangan hutan adat di Jambi.
Keputusan MK ini diharapkan KKI Warsi dapat menjadi latar
belakang yang kuat bagi pemerintah setempat untuk membuat Peraturan Gubernur
dan Peraturan Bupati pada tahap awal untuk mengisi kekosongan hukum, sebelum
adanya Perda tentang Pengakuan masyarakat Adat. “Mekanisme pengakuan harus ada,
agar bisa menjadi pedoman semua pihak. Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih
dan perebutan kawasan,” ujar Rahmat. (*/ini)
Sumber : Harian Jambiwww.harianjambi.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar