Selasa, 04 Februari 2014

Hutan Adat, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat

IST
JAMBI - Banyak cara untuk mengelola hutan yang ada di sekitar kita. Baik mengelolanya dengan cara mendatangkan pengelola swasta yang akan menjarah dan mengeksploitasi hutan tersebut untuk kepentingan pribadinya, atau pun menggunakan komunitas adat yang kuat untuk mengelolanya dan mengolah hutan tersebut menjadi basis perekonomian yang kuat bagi masyarakat adat yang ada disekitarnya, yang notabene adalah masyarakat adat.

MUSLIHIN, Jambi

Lalu, untuk wilayah Jambi, cara manakah yang paling tepat? Karena begitu luas dan mempesona kawasan hutan yang ada di Jambi, cukup mengundang minat dan selera para pengusaha swasta untuk menjarah dan menguasainya, meski dengan mengorbankan masyarakat yang ada di sekitar hutan tersebut. 

Di Jambi sendiri, saat ini sedang mencuat kasus soal pengelolaan hutan. Tepatnya persengketaan antara pemilik Hak Guna Usaha (HGU) PT Asiatic Persada di wilayah Kabupaten Batanghari. Sengketa tersebut terjadi ditenggarai terjadi akibat adanya perebutan paksa wilayah atau kawasan hutan yang sejak dahulu dikelola oleh masyarakat adat yang ada di sekitar wilayah Batanghari oleh PT Asiatic Persada.

Aturan Tak Tertulis

Sebenarnya, sejak jauh-jauh hari, Hutan Adat telah muncul dan tumbuh sebagai aturan tak tertulis di tengah masayarakat. Karena sejak jaman bahoela dulu, mayoritas masyarakat di Jambi memang mengelola kawasan hutan yang ada di sekitar tempoat tinggalnya senagai sumber mata pencahariannya sehari-hari.

Namun seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit sistem pengelolaan hutan ada tersebut mulai bergeser. Masyarakat adat tidak lagi sebagai pengolah yang memiliki hak yang kuat dalam mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di sekitarnya, karena harus berbenturan dengan kepentingan penguasa yang lebih memilih memberikan lahan tersebut kepada pengusaha-pengusaha asing untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya.

Ketua Pelaksana Harian Wilayah Adat Jambi, Datuk Usman Gumanti mengatakan, hukum nasional belum sinkron dengan hukum adat. Hal ini dapat terlihat pada beberapa persoalan yang meski telah diselesaikan dengan hukum adat, akan tetapi tetap diselesaikan dengan hukum nasional.

Lembaga adat yang ada di Indonesia dinilai lemah dan tidak sinkron dengan hukumnasional.
Pada kasus-kasus tertentu seperti pembunuhan, meski persoalan tersebut sudah diselesaikan secara hukum adat,  namun dari aparat keamanan juga tetap memproses kejadian tersebut. Ini menjadi salah satu bukti bahwa hukum adat dan hukum nasional masih belum bisa sinkron, padahal jauh sebelum negara ini ada, kearifan lokal hukum adat tersebut sudah ada. 

Demikian juga, peranan dan fungsi dari Kelembagaan Adat Melayu Jambi dinilai masih belum maksimal  100 persen untuk menyelesaikan sengketa-sengketa adat yang terjadi di tengah masyarakat. Ini terjadi karena selain pengakuan hak masih lemah, juga karena kelembagaan adat yang ada masih belum kuat. 

Perda Lembaga Adat Perlu Dibenahi

Tidak hanya itu, Perda Kelembagaan Adat Melayu Jambi juga harus dibenahi lagi, mengingat dinilai masih terdapat celah atau kekurangan. Karena dengan perda tersebut, masyarakat adat di Provinsi Jambi tidak bisa hidup seperti dulu.

Usman mengatakan, agar hukum adat di Provinsi Jambi bisa diakui keberadaannya secara nasional, maka kelembagaan adat dan SDM orang-orangnya harus lebih diperkuat lagi. Kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai masih lemah. 

Pemerintah sudah mengakomodir mengenai adat. Misalnya dalam UU No10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Seandainya hal itu tidak dimasukkan, maka hak masyarakat untuk melakukan judicial review. Tapi sayangnya, hak-hak itu tidak pernah digunakan. “Dengan sinkronisasi tersebut, bukan berarti hukum adat harus setara dengan hukum nasional. Tapi lebih bagaimana pengakuan terhadap hukum lokal dan hak-hak masyarakat lokal tersebut,” ujar Usman.

Di sisi lain, Kelembagaan adat yang ada saat ini dinilai masih lemah. Dan masih berkutat dalam hal-hal yang hanya bersifat simbolik, meski demikian, diharapkan semua pihak terus melakukan pembenahan baik secara kelembagaan maupun SDM para Pengurus Lembaga Adat di Tingkat Provinsi sampai Tingkat Kecamatan yang ada serta melakukan sosialisasi ulang Perda Kelembagaan 

Adat Melayu di Provinsi Jambi
 
Lebih jauh Usman mengatakan, penguatan peradilan adat, tidak untuk melemahkan peradilan formal, tetapi lebih pada pertimbangan atas kenyataan bahwa jangkauan peradilan formal sebagai wadah bagi masyarakat untuk mencari keadilan masih sangat terbatas. Di saat yang sama disadari bahwa pada  level tertentu ada hal dalam sistem peradilan informal dan atau peradilan adat yang masih belum sejalan dengan prinsip dasar hak asasi manusia (HAM), seperti pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan.

Ketua Aman Wilayah Jambi, Datuk Sulaiman Hasan, seusai Seminar Nasional di Bappeda Provinsi Jambi, dengan tema “Masyarakat adat antara issu Redd dan kearifan lokal dan hukum adat” mengatakan, masalah masyarakat adat perlu sekali diperhatikan secara serius, karena masyarakat adat dan hukum adat  merupakan penyangga keharmonisan tata kehidupan dalam masyarakat. 

Dahulu peranan adat sangat besar dalam menyelesaikan masalah di tengah masyarakat, namun saat ini peranannya sedikit  menurun dalam menentukan kebijakan. Terutama dalam tataran hukum sering tumpang tindih dengan hukum nasional dan juga dalam pengelolaan hutan.

Datuk sangat menyayangkan maraknya terjadi berbagai sengketa dan perebutan wilayah kawasan hutan adat antara masyarakat dengan perusahaan.

Kepala Pusat Sumberdaya Burung Indonesia, Mangarah Silalahi mengatakan, pada dasarnya sebelum kemerdekaan hukum adat cukup kuat peranannya dan ditaati masyarakat. Namun setelah  kemerdekaaan,  hukum adat mulai dialihkan ke hukum negara,  hingga menyebabkan secara berlahan hukum adat sedikit tergeser karena pengaruh hukum formal yang diterapkan dalam negara.

Padahal, sesungguhnya, peran masyarakat dalam melestarikan kawasan hutan, sangat berguna untuk menekan emisi rumah kaca, karena masyarakat mengolah hutan dengan cara yang arif, sementara perusahaan HGU, mengelola hutan dengan cara mengeksploitasinya dan meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Kearifan Masyarakat Adat dalam Mengelola Lingkungan Hutan

Ketua BPH Aman Wilayah Sulawesi Tengah Rizal Mahfud mengatakan,  kearifan lokal tata kelola hutan masyarakat adat perlu pengelolaan hutan yang arif dan berkelanjutan. Ini harus dilakukan secara terus menerus, contohnya pada Wumbu Wana di daerahnya, yang adalah  daerah puncak gunung yang ditumbuhi pepohonan berdiameter kecil dan ditumbuhi lumut. Daerah ini merupakan daerah larangan, selain dikeramatkan, fungsi lain dari Wumbu Wana adalah merupakan sumber mata air.

Menurut aturan adat zona ini sama sekali tidak boleh dijamah oleh manusia. Kepemilikan wilayah ini adalah komunal  Wana (Hijau muda) adalah Daerah ini kayunya sudah besar-besar yang juga dilarang untuk dikelola karena merupakan daerah penyangga jika dikelola akan mendatangkan banjir. Kepemilikan wilayah adat ini adalah Komunal. 

Pandulu (Hijau yg lebih muda lagi) adalah  Hutan rimba (sekunder), merupakan habitat tempat hidup hewan endemik seperti Anoa dan Babi Rusa. Zona ini juga menjadi tempat mengambil hasil hutan non kayu seperti obat-obatan dan rotan. Pengambilan hasil hutan di zona ini diatur oleh aturan adat. Bagi masyarakat/setiap orang yang mengambil Damar atau Rotan di areal ini,dikenakan pungutan 15 persen dari hasil pendapatannya dan disetor ke kas Adat Desa.

Disebutkannya lagi, ada dua hal yang menjadi patokan masyarakat adat dalam mengelola hutan, yang pertama mengenai larangan, yakni larangan keras pembukaan lahan perkebunan di wilayah yang dikeramatkan (zona inti), tidak diperkenankan membuka hutan atau mengelolah hutan di sekitar sumber mata air, dilarang menebang pohon atau membuka lahan perkebunan di daerah kemiringan (Taolo).

Yang kedua disebut Pantangan, dilarang membawa hasil hutan seperti rotan, pandan hutan dan bambu ke kampung melalui persawahan pada masa padi dalam keadaan keluar buah. Dilarang menebang pohon di wilayah adat dan di kebun milik pribadi pada saat duka di kampung,

Menurut Rizal ini bagi masyarakat  yag melanggar contoh Sanksi Adat dalam Pengelolaan Hutan Menebang kayu diwilayah adat atau dikebun orang lain tanpa pamit dengan lembaga adat dan pemilik kebun akan dikenakan Sanksi Adat yaitu; satu ekor Kerbau atau “di Kamba” dengan nilai uang Rp 7.500.000, dengan waktu pembayaran paling lama satu bulan atau tiga puluh hari setelah orang itu kedapatan melanggar ketentuan diatas

Dijelaskan Rizal, ada beberapa cara yang dapat dilakukan dalam praktek kearifan masyarakat adat dalam mengelola hutan, pertama masyarakat adat harus memiliki motivasi yang kuat untuk melindungi SDA dan Lingkungan Hidup dibanding masyarakat lainnya, karena terkait langsung dengan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat. 

Yang kedua, memiliki pengetahuan adat (tradisional) untuk melestarikan dan memanfaatkan SDA secara berkelanjutan di wilayah adatnya, ketiga memiliki hukum adat agraria atau SDA untuk ditegaskan. Keempat, memiliki kelembagaan adat untuk mengurus dan mengatur interaksi harmonis antara mereka dengan alam sekitarnya. Kelima, memiliki konsep penguasaan lahan atau wilayah adat untuk menjaga keseimbangan yang dinamis antara hak individual sebagai warga dan hak kolektif dan komunal sebagai satu komunitas adat otonom dan berdaulat. 

G.M. Saragih MSi, Dosen Universitas Jambi mengatakan, potensi masyarakat adat melalui kearifan lokal amatlah baik untuk meminimalisir laju pemanasan global. Masyarakat adat sangat besar peranannya dalam mengurangi laju pemanasan global. 

Masyarakat adat itu sendiri dapat melakukan rehabilitasi lahan-lahan kritis melalui program penghijauan dan reboisasi, menjaga kelestarian hutan dan lahan gambut, melakukan pengendalian kebakaran lahan dan hutan, melakukan penanaman pohon atau kembang di halaman rumah,  mengurangi konsumsi bahan bakar, membuat pupuk kompos dari sampah organik, mengurangi volume sampah rumah tangga, menghemat listrik dan air, serta melakukan pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB). 

Upaya lain  yang dapat dilakukan masyarakat adat untuk mengurangi laju pemanasan global, adalah; menjaga kelestarian ekosistem Lahan gambut, pelestarian ekosistem mangrove (bakau), membuat kompos dari sampah organik dengan metoda biopori, melestarikan Lubuk larangan, pengelolaan lahan gambut.

Pengelolaan lahan gambut telah dilakukan secara arif oleh masyarakat lokal, namun oleh pertambahan penduduk, pembukaan lahan gambut dilakukan secara luas dan tidak memperhitungkan fungsi ekologisnya.  Kandungan carbon yg terdapat dalam Gambut di dunia sebesar 329-525 Gt atau 35 persen dari total C dunia. Apabila gambut terbakar atau mengalami kerusakan, maka gambut akan mengeluarkan CO₂, NO₂ dan CH₄ yang akan mempengaruhi iklim dunia. (*/ini)

****
 

Issu REDD+  di Provinsi Jambi 

Menurut Usman Gumanti dan Sulaiman Hasan, Masyarakat Adat merupakan bagian dari masyarakat lain dan juga bagian dari Negara Indonesia, bahkan bagian dari sistem dunia. Perubahan atau kejadian di tingkatan dunia akan mempengaruhi kondisi Indonesia dan pada akhirnya juga akan mempengaruhi Masyarakat Adat.

Agenda-agenda internasional dalam hal fenomena perubahan iklim yang terwujud salah satunya dalam mekanisme REDD+ (Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation). REDD+ pada intinya menghendaki adanya pengurangan emisi karbon dengan cara mengurangi laju pengerusakan hutan serta juga menjaga agar hutan yang masih adat tetap berfungsi maksimal dalam hal penyerapan karbon dan pada sisi lain akan ada imbalan atau  insentif terhadap kegiatan tersebut. 

Dalam prosesnya, Kalimantan Tengah ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai salah satu tempat percontohan REDD+. Berbicara tentang hutan, tentu saja akan juga berbicara tentang wilayah. Maka hal tentang wilayah menjadi sarat dengan kepentingan. Tidak hanya kepentingan bertaraf lokal dan nasional, bahkan juga sampai pada taraf internasional.

Masyarakat Adat di Provinsi Jambi, seperti juga Masyarakat Adat di tempat lain, tidak dapat dipisahkan dengan wilayah adatnya. Tanpa wilayah adat, maka Masyarakat Adat serupa batang pohon tanpa akar yang akan menuju kepada kematian. Dalam konteks banyaknya kepentingan yang terhadap wilayah, mau tidak mau Masyarakat Adat masuk ke dalam pusaran kepentingan tersebut. AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) sebagai wadah perjuangan Masyarakat Adat dengan tegas menyatakan “No Rights, No REDD”. 

Tanpa adanya pengakuan hak-hak Masyarakat Adat, maka REDD akan ditolak. Jangan sampai Masyarakat Adat karena kegiatan REDD menjadikannya kehilangan hak-hak atas wilayah adatnya. Tentu saja pernyataan tersebut harus diuraikan kembali tingkatan-tingkatan yang lebih operasional. Apalagi mengingat bahwa dalam sistem REDD+ yang selama ini diketahui bernafaskan hukum positif. Semua hal harus dapat dibuktikan secara material.

Pada konteks REDD+ selama ini, mekanisme REDD+ selalu datang dari pihak di luar Masyarakat Adat. Yang tentu saja sarat dengan kepentingan pihak luar tersebut. Dengan Proyek ini, Aman selangkah lebih maju dan berupaya dengan proaktiv membuat mekanisme REDD+ ala Masyarakat Adat. Di mana Mekanisme yang diharapkan lebih sesuai dan berpihak pada kepentingan Masyarakat Adat itu sendiri. 

Tentu saja mekanisme yang ditawarkan oleh masyarakat adat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya masyarakat adat dalam mengembalikan hak-hak adatnya baik dengan merevitalisasi UUPA No 5 tahun 1960 serta UU No 5 1990 tentang konservasi dan perjuangan untuk mengimplementasikan Keputusan MK No 35/PUU/X/2012 tentang pasal 1 poin 6 UU 41 tentang Kehutanan yang menyatakan Hutan Adat bukan lagi Hutan Negara. Belum lagi desakan kepada wakil rakyat di DPR RI untuk mempercepat proses pengesahan RUUPPMHA yang merupakan perjuangan yang sudah cukup lama dilakukan. (*/ini)
*****

 

Tolong beri foto Rahmat Hidayat, Direktur KKI Warsi Jambi
Jambi Pelopor Hutan Adat

Dalam memanfaatkan hutannya, masyarakat adat di Jambi menggunakan kearifan lokal yang berasaskan lestari dan berkelanjutan. Masyarakat adat ini dinilai sangat paham akan manfaat hutan dan dampak yang akan timbul dari pengelolaan hutan. Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif KKI Warsi Jambi, Rahmat Hidayat.

Adanya pengakuan hutan adat di Jambi, adalah sebagai langkah maju Jambi dalam mengakomodir ruang kelola masyarakat yang hidup di dalam dan di luar kawasan hutan,” ujar Rahmat.

Hingga saat ini, ada sekitar 9.406,69 hektare hutan adat yang dilegalisasi dengan Surat Keputusan Bupati atau Peraturan Daerah. Dengan adanya keputusan MK 25 Tahun 2012 yang mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan negara tentu merupakan angin segar bagi perjuangan hutan adat di Jambi.

Keputusan MK ini diharapkan KKI Warsi dapat menjadi latar belakang yang kuat bagi pemerintah setempat untuk membuat Peraturan Gubernur dan Peraturan Bupati pada tahap awal untuk mengisi kekosongan hukum, sebelum adanya Perda tentang Pengakuan masyarakat Adat. “Mekanisme pengakuan harus ada, agar bisa menjadi pedoman semua pihak. Sehingga tidak ada lagi tumpang tindih dan perebutan kawasan,” ujar Rahmat. (*/ini)

Sumber : Harian Jambiwww.harianjambi.com

Tidak ada komentar: