Ephorus GKPS Pdt Jaharianson Saragih MTh PHd. |
( Oleh Vik.Pdt.Freddy
Purba STh-GKPS Bangko, Resort Muarabungo)
Sejarah masuknya Injil
Ke Simalungun digagas oleh badan zending dari Jerman yakni RMG. Pada tanggal 16
Maret 1903, RMG dari Barmen mengirim telegram yang merekomendasikan Nommensen,
agar segera melaksanakan pekabaran Injil ke Timorlanden. Adapun isi telegram
tersebut yakni “Tole!
Den Timorlanden Das Evangelium !” artinya “ Segeralah ! Beritakan Injil ke
Timorlanden (Tanah Timur).
Pada bulan Juni 1903,
G.K. Simon, August Theis dan Nommensen bersama dengan para evanggelist Kristen
pribumi dari Tapanuli membuat perintisan pekabaran Injil (pI). Kemudian membangun
rumah zending di Tigaras, selanjutnya Tigaras dijadikan pintu masuk bagi parazendeling dalam rangka
mengkristenkan orang Simalungun yang masih menganut agama suku.
Pada tanggal 02
September 1903, August Theis tiba di Pamatang Raya (pos pI pertama), tanggal
inilah dijadikan sebagai tahun berdirinya GKPS. Penginjilan yang dilakukan RMG
kurang memberi ruang bagi budaya Simalungun, mereka tidak menguasai bahasa
daerah Simalungun,ditambah pula dengan
sikap para evanggelist suku Toba dari Tapanuli yang menggunakan bahasa Toba
dalam mengkomunikasikan Injil, dengan demikian orang Simalungun tidak mengerti
maksud pesan firman Tuhan.
Pengkristenan sangat
sulit berkembang akibat tidak adanya usaha RMG untuk menjelaskan Injil dengan
sarana nilai-nilai budaya Simalungun. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya Injil
di Simalungun selama 25 tahun, yaitu pada tahun 1928 (1903-1928) hanya 900
orang berhasil dibaptiskan. Melihat situasi ini tergeraklah hati para Kristen
pribumi untuk berperan aktif terlibat melaksanakan pekabaran Injil.
Ini berawal dari pesta
peringatan 25 tahun Injil di Simalungun yang diadakan di Pamatang Raya pada
tanggal 3 September 1928. Orang Kristen Simalungun menyadari keadaan gerejanya
untuk berbenah diri secara khusus dalam pewartaaan Injil kepada etnisnya.
Menuju Kemandirian GKPS
(1928-1952)
Hadirnya gerakan pI
Kristen pribumi sejak berdirinya Komite Na Ra Marpodah (1928) di Pamatang Raya,
Kongsi Laita (1931) di Sondi Raya dan Parguru Saksi Kristus (1942) di Pamatang
Raya merupakan benih menuju kemandirian HKBP Simalungun.
Para etnis Kristen
Simalungun berusaha menuju kemandirian yang otonom, baik secara daya,
administrasi dan
teologia. Itu menunjukkan sudah adanya kesadaran akan tugas pekabaran Injil
sebagai tanggungjawab mereka. Itu tampak dari kesediaan jemaat secara sukarela
memberikan bantuan tenaga dan materi demi keberlangsungan pelayanan gereja.
Cikal-bakal kemandiran
itu dimulainya ketika pembentukan wadah gerakan pI Kristen Pribumi. Selanjutnya
ketika orang Simalungun tidak diperhitungkan dalam badan-badan HKBP dengan
diubahnya distrik “Simalungun-Oostkust” menjadi distrik “Sumatera Timur, Aceh dan
Dairi” pada tahun 1935, membuat kemarahan bagi etnis Simalungun karena dianggap
disepelekan dan tidak mengindahkan identitas mereka.
Selanjutnya tendensi
menuju kemandirian muncul lagi pada tahun 1952. Hal ini disebabkan janji palsu
HKBP terhadap orang Simalungun. Permasalahannya berawal ketika tujuh orang
Simalungun menyelesaikan studinya pada sekolah pendeta di Pamatang Raya.
Hal itu dapat tercapai
karena setiap jemaat membiayai secara sukarela memenuhi kebutuhan dari tujuh
orang sekolah pendeta tersebut selama dua tahun. Sesuai dengan perjanjian
dengan HKBP, jika mereka tamat akan ditempatkan di daerah Simalungun.
Tapi setelah penabhisan
ke tujuh pendeta pada tanggal 28 September 1952 oleh Ephorus J.Sihombing di
Pamatang Raya, janji manis HKBP itu diingkari dengan menugaskan empat orang di
luar Simalungun dan tiga orang melayani di Simalungun. Atas keputusan ini etnis
Simalungun merasa direndahkan.
Untuk menanggapi
keputusan HKBP tersebut, pada tanggal 5 Oktober 1952 pengurus harian distrik
Simalungun yang dipimpin oleh praeses Kerpanus Purba, mengundang anggota synode
distrik Simalungun dalam rapat istimewa untuk membicarakan masalah penempatan
pendeta itu.
Setelah bertukaran
pikiran, didapatkan kesimpulan, bahwa HKBP Pearaja tidak senang melihat
kemajuan pemberitaan Injil di Simalungun. Maka diambil keputusan bahwa distrik
Simalungun harus berdiri, terpisah dari HKBP.
Lalu synode distrik
Simalungun mengangkat dirinya menjadi synode bolon HKBP Simalungun dan menetapkan
pengurus harian (wakil ephorus dan sekretaris Jendral), yaitu J.Wismar Saragih
dan A.Wilmar Saragih. Demikianlah usaha-usaha yang diterapkan, meskipun pada
awalnya orang Simalungun tidak berkeinginan untuk memisahkan diri dari HKBP,
tapi karena sikap HKBP kurang memberi ruang terhadap keberadaan orang Simalungun,
maka terjadi usaha membangkitkan identitas orang Simalungun.
Semenjak J.Wismar
Saragih terpilih menjadi wakil ephorus HKBP Simalungun selama dua periode
(1952-1960), ia banyak memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka pemantapan
organisasi gereja, Persoalan identitas suku dan tugas pewartaan Injil kepada
etnis Simalungun menjadi faktor utama akan adanya perjuangan pihak HKBP Simalungun
untuk mandiri dari HKBP.
Seharusnya gereja itu
tampil untuk menjawab pergumulan jemaat, tapi saat itu HKBP menghalang-halangi pembentukan HKBP Simalungun
(1952) yang merupakan impian orang Simalungun untuk menjadi gereja yang mandiri.
Pihak HKBP membuat peraturan-peraturan yang menyulitkan kemandirian dan
pimpinan HKBP Simalungun mendapat tekanan sewaktudipimpin oleh JWS,
meskipun memang ada sebagian pendeta HKBP yang mendukung kemandirian tersebut.
Persoalan tuntutan
orang Simalungun menurut HKBP dianggap sebagai perpecahan gereja, padahal orang
Simalungun berpikir tujuan utama bukan soal organisasi gereja. Tetapi sebagai
suatu jalan mempercepat laju pengkristenan di Simalungun, sehingga mampu mengurusi
dirinya sendiri. Sikap HKBP setelah terbentuknya HKBP Simalungun (1952) kurang
mendukung. Hal itu tampak dari beberapa usulan ke badan zending RMG dan LWF
(Lutheran World Federation),agar segala utusan yang
berada di Simalungun kembali ke Pearaja.
H.Volmer disuruh berhenti
sementara dari pelayanannya. Sebenarnya Volmer tidak sepakat dengan HKBP.
Tetapi atas suruhan pimpinan, maka ia mengalihkan pelayanannya untuk mengoreksi
terjemahan PB yang dikerjakan oleh J.Wismar Saragih. Selanjutnya HKBP juga memintakan
kepada LWF, agar Williams yang bekerja sebagai pimpinan poliklinik di
Saribudolok menghentikan pekerjaannya.
Akhirnya Williams untuk
beberapa bulan harus meninggalkan Simalungun dan ditugaskan melayani di Toba. Salah
satu alasan HKBP untuk tidak segera memberikan kemandirian yakni karena masih
sedikitnya pendeta dari Simalungun, yang dikuatirkan akan menyimpang dari
ajaran HKBP.
Meski demikian perjuangan
dan desakan orang Simalungun terus digalakkan dengan sikap arief dan bijaksana.
Atas desakan tersebut, maka pimpinan HKBP memilih Ds.J. Bos yang menjadi
perantara dua belah pihak. Pada tahun 1953 melalui pendekatan-pendekatan yang
dilakukan, barulah HKBP mengakui keberadaan HKBP Simalungun walaupun belum
mandiri 100%, tapi diberikan wewenang untuk mengurusi segala kegiatan dan keuangan
gerejanya. Hal itu juga diputuskan pada synode godang HKBP pada tahun 1953.
HKBP mensyahkan
Praeadvis Kerksbestur yakni Wakil Ephorus dan Sekretaris Djenderal HKBP
Simalungun. Pada periode 1928-1952, kristen pribumi Simalungun sangat antusias dalam
penginjilan ke seluruh pelosok Simalungun, pada masa inilah banyak penganut
suku Simalungun menjadi pengikut Kristus. Ada beberapa lembaga penginjilan dan
seksi, yang turut berperan dalam kristenisasi di Simalungun, yakni:
1. Comite Na Ra
Marpodah ( 13 Oktober 1928) Situasi pengkristenan pada tahun 1903-1928
sangatlah memprihatinkan karena belum adanya pemuridan yang diterapkan RMG bagi
kalanganetnis Simalungun,
sehingga menjadi kendala dalam hal pewartaan. Ditambah pula keberadaan budaya
Simalungun mulai tersisihkan dari kegiatan-kegiatan gerejawi oleh karena bahasa
Toba dijadikan sebagai bahasa pengantar.
Permasalah tersebut
menjadi pukulan bagi orang Kristen Simalungun terutama bagi mereka yang telah
bekerja sebagai guru zending dan pejabat di pemerintahan, mereka memahami pentingnya
suatu kemajuan terhadap regenerasi suku Simalungun dan harus ada suatu upaya
untuk memperbaiki identitas sukunya menujuperubahan.
Pesta peringatan 25
tahun Injil di jemaat Pamatang Raya melatar belakangi pembentukan Komite Na Ra
Marpodah. Pada tanggal 13 Oktober 1928 beberapa orang Kristen Simalungun
berkumpul di rumah pangulu balai Djaudin Saragih untuk membahas pendirian
Komite Na Ra Marpodah, yang berfungsi memberikan pengarahan, nasehat dan petunjuk
bagi etnisnya. Sebagai bentuk pelayanan yang berfokus pada penerbitan buku-buku
dan renungan dalam bahasa Simalungun, komite tersebut menetapkan tanggal 2
September 1928 sebagai tanggal berdirinya Komite Na Ra Marpodah.
Berdirinya wadah
tersebut, sebagai babak baru lahirnya pI yang kontekstual dalam mencapai
hamajuon (kemajuan) di
Simalungun. Didorong oleh semangat kesukuan dan hamajuon, para pendiri komite
dan bahkan para perantau memberikan bantuan uang secara suka rela untuk
mendukung tugas pelayanan komite itu. Pada tahun 1929 dapat dicatat berbagai pandangan
dan sambutan atas hadirnya Komite Na Ra Marpodah.
Pemerintah Belanda
sendiri turut memberikan bantuan sebesar f. 1000 pada tahun 1931 dan f.350 pada
bulan Desember 1936 dari hasil keuntungan perkebunan karet. Pemerintah Belanda
melihat bahwa tujuan komite ini bukanlah suatu upaya perlawanan terhadap
mereka, akan tetapi dimengerti sebagai wujud kesadaran etnis Simalungun untuk
berbenah diri secara khusus dalam hal pendidikan.
Peran serta JWS dalam
menggerakkan komite tersebut sudah dimulai semasa kuliah di Sipoholon. Ia
menerjemahkan buku-buku sekolah dan pengajaran Kristen yang akan diterbitkan
oleh komite tersebut.
Setelah JWS menjadi
pendeta, ia tetap berusaha memajukan Komite Na Ra Marpodah. Menurut J.L.
Swellenggerebel, JWS-lah sebagai tokoh utama dalam komite tersebut. Pada tahun
1935, RMG berusaha memisahkan JWS dari komite itu dengan cara memindahkannya ke
Pearaja, tetapi JWS menolak surat pemindahan itu.
Pada awalnya RMG kurang
bersimpati terhadap usaha-usaha yang diterapkan Komite Na Ra Marpodah. Namun
demikian, usaha-usaha karya komite ini mendapat pengakuan dari utusan RMG yaitu
P.Voorhove. Ia mengatakan bahwa kinerja komite ini sangat berjasa dalam pengkristenan
di Simalungun, bahkan pekerjaan komite ini juga telah membuat orang Simalungun
menjadi pintar melalui usaha-usaha penerjemahan buku-buku sekolah ke dalam
bahasa Simalungun.
Pada tahun 1942,
pekerjaan Komite Na Ra Marpodah berakhir seiring masuknya Jepang ke Simalungun
yang melarang segala aktivitas gereja, termasuk melarang terbitnya surat kabar
Sinalsal.
2. Kongsi Laita (15
November 1931)
Hadirnya Kongsi Laita
adalah sebagai mata rantai dari lahirnya Komite Na Ra Marpodah. Cikal bakal
berdirinya wadah ini dimulai pada tahun 1931. Benih Injil yang selama ini
ditabur mendapat respon positif dari jemaat. Itu dibuktikan ketika jemaat
selesai mengikuti ibadah minggu, mereka sering memperbincangkannya khotbah yang
didengar di gereja secara khusus di Sondi Raya.
Para penatua gereja
semakin gencar mengunjungi rumah-rumah yang belum menganut agama Kristen pada
minggu sore. Akibatnya Injil semakin merambat yang membawa dampak terhadap
meningkatnya penganut agama suku menjadi Kristen. Untuk merespon kabar baik
tersebut, mereka mengadakan rapat pada tanggal 15 November 1931 memilih
pengurus dan menamakan organisasi tersebut “Kongsi Laita”. Motto dari Kongsi Laita,
yakni bercakap-cakap sampai 5 menit mesti mengabarkan firman Tuhan.
Perkembangan
selanjutnya, organisasi ini menghimpun orang Kristen Simalungun, untuk
mengadakan penginjilan kepada penduduk kampung di sekitar Sondi Raya/Pamatang
Raya dan mengadakan evanggelisasi pada malam hari. Sejak tahun 1935 pelayanan
Kongsi Laita diperluaskembali dengan mengutus
para evanggelist dan para jemaat untuk melaksanakan pekabaran Injil ke
pelosok-pelosok Simalungun.
Semua utusan tersebut
membuat laporan mengenai hasil pI mereka kepada pengurus. Berkat kegiatan
Kongsi Laita di bidang pI, maka pada tahun 1956 synode HKBPS menjadikan kongsi
ini sebagai salah satu seksi HKBPS.
3. Parguru Saksi
Kristus (15 April 1941) Berdirinya PSK dikarenakan oleh adanya kesadaran
sendiri (Parmaluon) dari pihak Kristen pribumi dan ahab siparutang (rasa berhutang)
terhadap tanah kelahirannya. Hal tersebut telah diawali dengan adanya komunitas
Simalungun seperti Komite Na Ra Marpodah (1928) dan Kongsi Laita (1931) yang
berperan dalam pekabaran Injil.
Tetapi komunitas ini
belum dapat menjawab pergumulan para pelayan gereja, secara khusus rendahnya
pengetahuan tentang doktrin Kristen dan juga oleh karena sedikitnya pelayan
pada masa itu. Hal yang ikut juga mempengaruhi pendirian PSK yaitu atas
hadirnya tentera Jepang (Nippon) ke daerah Simalungun. Di mana ketika
pemerintah Jepang telah berkuasa, mereka sangat anti terhadap kekristenan dan melarang
perkumpulan Kristen. Nyayian-nyanyian gereja tidak lagi terdengar.Sementara banyak
nyanyian Jepang bergema di tanah Simalungun. Dengan kondisi demikian sangat
sulit membuat gerakan penginjilan pada masa itu.
Pada tanggal 15 Oktober
1942 dimulailah kursus tersebut di Pamatang Raya, yang diikuti 72 orang. Syarat
utama untuk menjadi murid PSK adalah harus yang sudah dibaptis dan belajar jadi
saksi Kristus selama setahun dengan 12 pelajaran. Setelah menjalani proses
kursus selama setahun, tamatan kursus pertama ada 57 orang dinyatakan lulus
dari Pamatang Raya. Mereka dilantik pada ibadah minggu.
Pada kesempatan itu
pula, JWS mengundang para pendeta Simalungun, untuk menyaksikan murid PSK yang
hendak dilantik, sekaligus mendiskusikan bagaimana agar kursus PSK tersebut
dapat dilaksanakan juga di setiap daerah Simalungun. Pada tahun 1943, Kerpanus
Purba memulai kursus PSK di Nagori Dolok dan menamatkan murid PSK sebanyak 22 orang
pada tahun 1944.
Pada tahun selanjutnya
diikuti oleh jemaat Tigarunggu dan Saribudolok. Kemudian untuk memperlancar
proses kemajuan PSK, JWS menyusun pengurus lengkap dari organisasi tersebut.
Pengurus dari PSK inilah yang akan memberangkatkan para utusan penginjil yang
sudah tamatmelaksanakan pekabaran
Injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Para utusan PSK itu nantinya
akan membuat laporan mengenai pelayanan mereka kepada pengurus PSK.
Berdirinya GKPS ( 1
September 1963)
Perkembangan
selanjutnya pada synode HKBP Simalungun tahun 1961 telah diputuskan agar HKBP
Simalungun seutuhnya mandiri. Untuk itu pada tanggal 24-26 Agustus 1961
dibentuk panitia khusus P3- HKBP Simalungun untuk membantu kersbektur mengurusi
kemandirian. HKBP Simalungun juga mendiskusikan keinginan mereka kepada DGI,
RMG dan LWF untuk meminta nasehat-nasehat.
Percakapan dengan pihak
HKBP tidak membuahkan hasil. HKBP agaknya kurang memberi ruang gerak bagi para
pelopor kemandirian HKBP Simalungun. Perjuangan tidak berhenti di situ. Desakan
HKBP Simalungun untuk mandiri 100 % dari HKBP tidak terbendung lagi oleh puncuk
pimpinan HKBP (saat itu dipimpin oleh Ephorus Justin Sihombing).
Akhirnya kerkbestur
HKBP dengan kerkbestur HKBP Simalungun melaksanakan rapat pada tanggal 15 Juni
1962 untuk membahas permasalahan tersebut. Setelah mengadakan dialog, keputusan
rapat mengatakan “Ta oloi ma mandjae 100 % HKBP Simalungun” (kita setujuilah
HKBP Simalungun mandiri 100 %). Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut,
diangkatlah 10panitia untuk mengurusi
segala keperluan dalam rangka kemandirian HKBP Simalungun, yakni 5 orang dari
HKBP dan 5 orang dari HKBP Simalungun, yaitu:
HKBP
HKBP Simalungun
-
Pd. J. Togatorop
-
Pd. H. Pakpahan
-
Tn. I. Pardede
-
Pd. G. Siahaan
-
St.T.D. Pardede - Pd, H. Tondang
-
Pd. J. Purba Saribu
-
Gr.J. Purba
-
Gr. L. Purba
-
Pd. Lesman Purba
Setelah panitia
melaksanakan tugasnya, diputuskanlah bahwa :
1. Bukan karena
perbedaan dogma, maka HKBP Simalungun mandiri (mandjae).
2. Segala kekayaan
seperti: rumah gereja, gedung sekolah, tanah gereja yang sudah dikelola HKBP
Simalungun menjadi milik mereka setelah mandiri.
3. Meskipun HKBP
Simalungun mandiri, tetapi masih ada kerjasama dalam bidang:
- Sekolah pendeta
- Diakonia sosial
- Tugas zending
4. Peresmian
kemandirian dilaksanakan pada tanggal 1 September 1963 berdasarkan permintaan
dari pihak HKBP Simalungun agar tepat hari itu sebagai masuknya Injil ke-60
tahun di Simalungun.
5. Pada hari
kemandirian itu HKBP Simalungun menjadi gereja yang otonom, dan namanya berubah
menjadi Gereja Kristen Prostestan Simalungun (GKPS).
6. Segala sesuatu
keputusan yang agaknya kurang jelas dalam kepanitiaan ini, akan di tindak
lanjuti lagi oleh pihak HKBP dengan HKBP Simalungun (GKPS) di kemudian hari
dengan kemufakatan bersama. Dengan demikian, setelah peresmian HKBP Simalungun
menjadi GKPS,
terwujudlah cita-cita
orang Simalungun untuk menjadi gereja yang mandiri secara otonom yang mampu
mengurusi dirinya sendiri.
Sejarah penulisan BIBEL
SIMALUNGUN.
KITAB Lukas sebagai
Langkah Awal:
Langkah awal yang
diterapkan J.Wismar Saragih (JWS) untuk memperkenalkan Injil Kristus kepada
orang Simalungun yaitu menerjemahkan kitab Lukas ke dalam bahasa Simalungun.
Namun demikian ada beberapa kendala dalam penerjemahan tersebut. Salah satunya
adalah rendahnya pengetahuan JWS dalam bahasa Yunani sebagai bahasa asli kitab
Perjanjian Baru. Untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Simalungun, ia
memperbandingkan berbagai bahasaAlkitab, seperti
Alkitab bahasa Karo, Toba, Angkola dan Belanda.
Setelah
memperbandingkan kitab Lukas dari berbagai sumber Alkitab tersebut, ia membuat
hasil terjemahan akhirnya ke dalam bahasa Simalungun. Selain kendala bahasa, ia
juga mengalami hambatan dalam hal penyesuaian nama-nama jenis kayu dan jenis
binatang yang ada dalam kitab Lukas, sebab kondisi flora dan fauna di Palestina
sangatlah berbeda dengan konteks Simalungun.
Selama proses
penerjemahan kitab Lukas, ia dibantu oleh P. Voorhoeve (utusan RMG). Ia mampu
menguasai bahasa Yunani dan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam hal
penerjemahan Alkitab. JWS memberikan hasil terjemahan akhirnya untuk dikoreksi oleh
Voorhoeve, sebab beliau pun sudah dapat menguasai bahasa Simalungun dengan
lancar.
Setelah penerjemahan kitab Lukas selesai, lembaga kongsi Bibel dari
Belanda memberikan dana untuk biaya percetakan. Karya JWS dalam hal
penerjemahan Alkitab Simalungun mendapat sambutan yang baik dari kalangan orang
Kristen Simalungun, karena dengan demikian mereka lebih mudah memahami firman
Tuhan dalam bahasa mereka sendiri. Sebelumnya hanya ada dalam terjemahan bahasa
Toba, sehingga ada kesulitan dalam memahaminya.
Hal itu juga dituturkan
oleh Jasalem Saragih, ketika beliau mengikuti kursus PSK dengan menggunakan
Alkitab dalam bahasa Toba pada tahun 1943. Kitab Lukas itu, baru diedarkan pada
tahun 1939.
Seluruh Kitab PB dan
Sebagian Kitab PL Penerjemahan ini adalah
tindak lanjut dari penerjemahan kitab Lukas yang dilihat JWS sangat membantu
warga Kristen Simalungun mengerti tentang Injil. Untuk mempercepat
penerjemahan, JWS memprakarsai suatu wadah yang bertujuan menerjemahkan seluruh
Alkitab ke dalambahasa Simalungun.
Akhirnya terbentuklah Kongsi Bibel Simalungun pada tanggal 10 Agustus 1944.
Tetapi ketika ada pembagian tugas kepada para anggota, kesungguhan mereka tidak
nyata dengan alasan kesibukan tugas masing-masing.
Selama 3 tahun Kongsi
Bibel Simalungun berdiri, belum ada buah pekerjaan penerjemahan. Melihat situasi
yang demikian, JWS memutuskan untuk mengerjakan penerjemahan seorang diri.
Kesulitan yang dialami JWS sama seperti ia menerjemahkan kitab Lukas, yaitu
ketidaktahuannya dalam bahasa Yunani dan Ibrani.
Untuk itu ia
mempergunakan 5 Alkitab dari berbagai bahasa sebagai bahan perbandingan yaitu
Alkitab dalam bahasa Indonesia, Belanda, Angkola, Toba dan Karo. Penerjemahan seluruh
kitab PB dilakukannya selama 6 tahun (1944-1950). Setelah selesai diketik
keseluruhan, JWS mengirimkannya ke Belanda untuk diperiksa oleh P.Voorhoeve
agar disesuaikan dengan bahasa aslinya.
Setelah pengerjaan
kitab PB rampung, ia berjuang kembali dalam penerjemahan kitab PL. Namun
pekerjaan penerjemahan tidak dapat diselesaikannya berhubung kesehatannya
kurang mengijinkan. JWS hanya mampu mengerjakan kitab Mazmur, Amsal dan
setengah kitab Jesaya. Pada perkembangan Selanjutnya, Pdt Petrus Purba menyelesaikan
secara utuh penerjemahan Bibel Simalungun, termasuk perbaikan-perbaikannya.Barulah
pada tanggal 16 Januari 1977, bibel Simalungun baik itu PB dan PL diterbitkan
secara utuh.
Catatan.
Kuasai tentang
statistik GKPS dan tanggal-tanggal berdirinya badan/seksi di GKPS, itu ada di
Susukkara GKPS tahun 2013. Jumlah jemaat sa- GKPS ada 634 jemaat - Jumlah jiwa
sa-GKPS ada 213.042 jiwa (data 2013). Jumalah resort sa-GKPS ada 124 Resort dan
jumlah distrik ada 7distrik. Distrik VI Ada
12 Resort. Praeses Distrik VI (Pekanbaru) Pdt Jameldin Sipayung STh MA.
Pendeta Pertama orang
Simalungun adalah Pdt.Jaulung Wismar Saragih. Ephorus pertama GKPS adalah
Pdt.Jenus Purba, Sekjend pertama adalah Lesman Purba.
Siapa Ephorus sekarang
dan Sekjend? (Pdt.Jahariason Saragih Ephorus dan Pdt.El Imanson
Sumbayak/Sekjed) Struktur tingkatan di GKPS yakni: Pengantar jemaat (Pengantar jemaat)
–Resort (Pendeta Resort) – Distrik (Praeses) - Pimpinan Pusat Pimpinan
pusat-kepala departemen (Pelayanan, administarasi, Diakonia,Persekutuan.
Litbang) – Prases- Pendeta Resort (Vikar
pendeta, Penginjil).
Kepengurusan jemaat
yakni : Pengantar Jemaat, Wakil pengantar jemaat, Sekretaris, bendahara dan
pengurus seksi (seksi Lansia,Wanita, Bapa, Pemuda dan Sekolah minggu). Ini juga
sama
kepengurusannya baik
dalam tingkat resort, distrik dan pusat.
Tema dan Sub Tema GKPS (2010-2015)
2013? Yaitu: Tema: Hita Do Saksi Ni Kristus (Lahoan Ni Apostel 1:8) dan Sub
Tema: Ambilankon Hita ma Ambilan Namadear Bani sagala na Tinompa Ase Jumpahan
Haluahon (Markus 16:15).
GKPS 1903 Pamatang Raya
adalah gereja pertama di GKPS.
GKPS memiliki aturan
yang diatur dalam Tata Gereja GKPS. Ruhut Paminsangon sebagai sarana
pengembalaan, jika ada jemaat yang melanggar maka ia akan dikenakan siasat
gereja. Apakah itu ditegur, menjadi anggota siasat atau dikucilkan.
Berapa jumlah lagu
Haleluya yang ada Bibel Simalungun?..Ada No 506 haleluya. Hafal juga syair lagu
Jubileum GKPS 110 Tahun Injil di Simalungun?
SELAMAT
BERGUMUL........Bahen nasiam songon namenghafal ujian i sikolah atau
perkuliahan, pasti ham gabe pemenang. Percayalah. Tabi.
******************
Injil Mencerahkan Masyarakat
Simalungun
Tanah Simalungun termasuk daerah
yang paling sulit ditembus pekabaran injil (PI) di tanah Batak, Sumatera Utara.
Hal tersebut ditandai dengan lambatnya PI masuk ke tanah Simalungun. PI baru
dimulai di tanah Simalungun, 2 September 1903 oleh Misionaris asal Jerman, Pdt
August Theis.
Sedangkan di tanah Batak Toba (Tapanuli), PI yang dilakukan misionaris Jerman Pdt Ilnommensen sudah dimulai 7 Oktober 1861 yang ditandai dengan berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
Sedangkan di tanah Batak Toba (Tapanuli), PI yang dilakukan misionaris Jerman Pdt Ilnommensen sudah dimulai 7 Oktober 1861 yang ditandai dengan berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
PI di tanah Karo dimulai tahun
1890 oleh misionaris Jerman, Pdt Hguiellaume atau tertinggal sekitar 42 tahun
dari PI di tanah Batak Toba dan 13 tahun dari PI di tanah Karo. Lambatnya PI di
tanah Simalungun dipengaruhi tradisi masyarakat Simalungun yang masih banyak
menganut animisme.
Kemudian masyarakat Simalungun juga memiliki sifat yang tertutup terhadap dunia luar. Selain itu daerah-daerah Simalungun tempo dulu rata-rata terisolasi dari dunia luar dan sebagian daerah Simalungun sudah dimasuki agama Islam.
Kemudian masyarakat Simalungun juga memiliki sifat yang tertutup terhadap dunia luar. Selain itu daerah-daerah Simalungun tempo dulu rata-rata terisolasi dari dunia luar dan sebagian daerah Simalungun sudah dimasuki agama Islam.
Berhala menurut mantan Ephorus
Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Pdt Jas Damanik STh dalam sebuah
tulisan-nya berjudul “Pengaruh GKPS di Simalungun serta arah kebijaksanaan dan
strategi pengem-bangannya”, sebelum injil ma-suk ke Tanah simalungun,
masyarakat Simalungun sebagian besar menganut kepercayaan animisme (menyembah
berha-la).
Mereka percaya adanya roh benda-benda seperti gunung, sungai kayu besar dan sebagai-nya. Mereka sangat taat kepada adat-istiadat, sehingga sulit menerima nilai-nilai maupun ajaran lain dari luar, termasuk injil.
Mereka percaya adanya roh benda-benda seperti gunung, sungai kayu besar dan sebagai-nya. Mereka sangat taat kepada adat-istiadat, sehingga sulit menerima nilai-nilai maupun ajaran lain dari luar, termasuk injil.
Secara geografis, sebagian besar
desa (nagori) di tanah Simalungun termasuk sangat sulit dijangkau. Kondisi
demikian membuat masyarakat Simalungun sulit berhubungan dengan dunia luar.
Desadesa terisolasi yang masing-masing memiliki partuanon (tuan-tuan kampung)
di Simalungun kala itu juga sulit dimasuki orang lu-ar akibat seringnya terjadi
perang (permusuhan) antarkampung.
Kalau pun ada daerah Simalungun yang mudah dijangkau dan aman dimasuki, seperti daerah Bandar , Tanah Jawa, Perdagangan yang dekat dengan tanah Melayu, masyarakat Simalungun di
daerah itu sudah dimasuki agama islam.
Kalau pun ada daerah Simalungun yang mudah dijangkau dan aman dimasuki, seperti daerah Bandar , Tanah Jawa, Perdagangan yang dekat dengan tanah Melayu, masyarakat Simalungun di
daerah itu sudah dimasuki agama islam.
Di tengah ketertutupan Simalungun
dari segi kepercayaan, sosial, budaya dan geografis tersebut, injil tetap
berhasil menembus tanah Simalungun. Para misionaris Jerman menembus
tembok-tembok ketertutupan tanah Simalungun melalui jalur pantai Danau Toba
wilayah Simalungun.
Untuk membangun kantong-kantong PI di tanah Simalungun, para misionaris jerman yang bernaung di bawah payung persekutuan gereja HKBP masuk melalui Desa Tigaras dan Desa Haraanggaol. Kedua desa di tepian Danau Toba yang telah memiliki akses jalan bangunan Belanda ke pusat tanah Simalungun, Pematangraya, atau ibukota Kabupaten Simalungun saat ini.
Respons cepat menyadari ketertinggalan mereka saudara-saudaranya, masyarakat Batak Toba dan Karo dalam PI, pembangunan pendidikan dan kesehatan, masyarakat Simalungun yang dulunya anti perubahan pun sangat cepat merespon kehadiaran PI injil di daerah dan masyarakat mereka.
Setelah Pdt August Theis berkiprah menyebarkan injil di tanah Simalungun selama 18 tahun (1903 – 1921), masyarakat Simalungun pun banyak yang meninggalkan kepercayaan animisme dan masuk menjadi penganut Kristen.
Untuk membangun kantong-kantong PI di tanah Simalungun, para misionaris jerman yang bernaung di bawah payung persekutuan gereja HKBP masuk melalui Desa Tigaras dan Desa Haraanggaol. Kedua desa di tepian Danau Toba yang telah memiliki akses jalan bangunan Belanda ke pusat tanah Simalungun, Pematangraya, atau ibukota Kabupaten Simalungun saat ini.
Respons cepat menyadari ketertinggalan mereka saudara-saudaranya, masyarakat Batak Toba dan Karo dalam PI, pembangunan pendidikan dan kesehatan, masyarakat Simalungun yang dulunya anti perubahan pun sangat cepat merespon kehadiaran PI injil di daerah dan masyarakat mereka.
Setelah Pdt August Theis berkiprah menyebarkan injil di tanah Simalungun selama 18 tahun (1903 – 1921), masyarakat Simalungun pun banyak yang meninggalkan kepercayaan animisme dan masuk menjadi penganut Kristen.
Selain itu warga masyarakat
Simalungun pun berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah
penginjilan (Zending) dan sekolah-sekolah umum setelah mereka menerima PI.
Ketertarikan masyarakat Simalungun
mengikuti ajaran Injil, kata Pdt Jas Damanik STh, karena PI di tanah Simalungun
yang dilaku-kan Pdt August Theis berhasil membebaskan masyarakat Simalungun
dari perbudakan pemerintah kolonial Belanda.
Pdt Augut Theis dan pemerintahan
kolonial Belanda menyepakati pembebasan masyarakat Simalungun dari perbudakan
tahun 1910. Daya pikat lain Injil bagi masyarakat Simalungun kala itu, yakni
teratasinya masalah-masalah kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan
keliling dan pendirian rumah sakit yang dilakukan Misionaris Jerman disertai
pembangunan sekolah-sekolah umum.
Tingginya animo masyarakat
Simalungun menyambut PI tersebut berpengaruh cepat terhadap berdirinya gereja
Simalungun. Setelah PI di tanah Simalungun berjalan di bawah payung HKBP
sekitar 60 tahun (1903 – 1963), Gereja Simalungun bernama Gereja Kristen
Protestan Simalungun (GKPS) pun didirikan secara resmi, 1 September 1963.
Pendirian GKPS sebagai suatu gereja yang menggunakan bahasa Simalungun di tanah Simalungun sendiri, membuat PI di tanah Simalungun semakin menggeliat. GKPS pun dengan leluasa mendirikan sekolah-sekolah umum tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA), rumah sakit, lembaga pendidikan dan pelatihan pertanian serta lembaga pelestarian senibudaya Simalungun.
Pendirian GKPS sebagai suatu gereja yang menggunakan bahasa Simalungun di tanah Simalungun sendiri, membuat PI di tanah Simalungun semakin menggeliat. GKPS pun dengan leluasa mendirikan sekolah-sekolah umum tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA), rumah sakit, lembaga pendidikan dan pelatihan pertanian serta lembaga pelestarian senibudaya Simalungun.
Tingginya perhatian GKPS dalam
pembangunan masyarakat dan daerah Simalungun tersebut membuat GKPS pun bisa
menjadi “Tuan Rumah” di daerah sendiri dalam PI dan pembangunan masyara-kat.
Sejak tahun 1963, ketika perhatian pemerintah masih rendah terhadap pembangunan
daerah dan masyarakat Simalungun belum maksimal, GKPS sudah melakukan berbagai
terobosan dalam pembangunan daerah dan masyarakat Simalungun.
Selain mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit (RS) Bethesda di Seribudolok, Kecamatan Silimakuta, GKPS juga membangun jalan ke desa-desa terisolir. GKPS juga membangun sarana air minum di desa-desa krisis air bersih, khusus-nya di daerah-daerah pegunungan.
Alhasil, saat ini, ketika injil genap 109 tahun ditaburkan di Tanah Simalungun, GKPS sudah mampu menjadi salah satu tulang panggung pembangunan daerah dan masyarakat Simalungun.
Hal itu bisa dilihat dari banyaknya sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan melalui badan-badan pendidikan GKPS. Daerah-daerah di Simalungun juga sudah tidak ada lagi yang masuk kategori terisolasi dengan masyarakat terbelakang.
Selain mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit (RS) Bethesda di Seribudolok, Kecamatan Silimakuta, GKPS juga membangun jalan ke desa-desa terisolir. GKPS juga membangun sarana air minum di desa-desa krisis air bersih, khusus-nya di daerah-daerah pegunungan.
Alhasil, saat ini, ketika injil genap 109 tahun ditaburkan di Tanah Simalungun, GKPS sudah mampu menjadi salah satu tulang panggung pembangunan daerah dan masyarakat Simalungun.
Hal itu bisa dilihat dari banyaknya sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan melalui badan-badan pendidikan GKPS. Daerah-daerah di Simalungun juga sudah tidak ada lagi yang masuk kategori terisolasi dengan masyarakat terbelakang.
Kehadiran GKPS telah mampu membuat
hampir 100 % masyarakat Simalungun mengecap pendidikan dasar dan menengah serta
menikmati pelayanan dasar kesehatan.
Terus Berjuang
Terus Berjuang
Ephorus (pimpinan tertinggi) GKPS,
Pdt Jaharianson Saragih STh PHd pada pemekaran GKPS Resort Jambi dengan GKPS
Resort Muarabungo, Jambi baru-baru ini menjelaskan, pihaknya terus berjuang
meningkatkan partisipasi dalam pembangunan masyarakat daerah dan masyarakat
Simalungun sebagai wujud nyata misi PI di tanah Simalungun, serta memajukan pembangunan bangsa Indonesia.
Simalungun sebagai wujud nyata misi PI di tanah Simalungun, serta memajukan pembangunan bangsa Indonesia.
Komitmen GKPS terhadap pembangunan
pendidikan tersebut, lanjut Jaharianson ditandai dengan semakin banyaknya
jumlah lembaga pendidikan di Simalungun yang didirikan dan dikelola GKPS. Saat
ini GKPS telah memiliki sekolah dasar (SD) sebanyak 21 unit, sekolah menengah
pertama (SMP) sebanyak 8 unit, sekolah mene-ngah atas (SMA) 2 unit dan sekolah
menengah kejuruan (SMK) 4 unit.
Selain itu, GKPS juga kini
memiliki sekolah taman kanak-kanak sebanyak 2 unit. Sedangkan untuk pendidikan
tinggi, GKPS bersama gereja-gereja di Sumatera utara sudah lama mendirikan
Sekolah Tinggi Theologia di Medan, Sumatera Utara.
Kemudian GKPS juga menjadi salah
satu pendukung utama pendirian perguruan tinggi (PT) Universitas Simalungun di
Kotamadya Pematangsiantar, Simalungun. Dikatakan, salah satu yang kini mendapat
perhatian serius GKPS ialah pembangunan karakter masyarakat Simalungun.
Pembangunan karakter itu penting di tengah derasnya gempuran demoralisasi zaman sekarang ini. Untuk mencapai itu GKPS memiliki SDM yang cukup berkualitas dalam pelayanan kerohanian dan sosial.
Pembangunan karakter itu penting di tengah derasnya gempuran demoralisasi zaman sekarang ini. Untuk mencapai itu GKPS memiliki SDM yang cukup berkualitas dalam pelayanan kerohanian dan sosial.
“Saat ini GKPS kini memiliki
sekitar 286 pendeta, 86 orang penginjil dan 14.000 diaken (pelayan). Mereka
melayani sekitar 210.141 jiwa warga GKPS yang tersebar di 634 gereja di
Simalungun dan berbagai daerah di Indonesia yang terbagi dalam VII Distrik
Wilayah Pelayanan,” kata Pdt Jaharianson Saragih STh PHd. (Suara Pembaruan.com
Sabtu, 8 September 2012). [sp/radesman saragih]. (Dikutip dari database
SP.com). (Asenk Lee Saragih-HP 0812 7477587)
===========
DUA TOKOH PENTING BERKEBANGSAAN JERMAN DAN BELANDA DALAM PERADABAN ORANG SIMALUNGUN
===========
DUA TOKOH PENTING BERKEBANGSAAN JERMAN DAN BELANDA DALAM PERADABAN ORANG SIMALUNGUN
Sulit membayangkan bila kedua
tokoh ini tidak datang ke Simalungun, jauh-jauh dari negerinya. Satu seorang
misionaris dari Jerman (Haiger) bernama Missionar August Theis yang tiba di
Pamatang Raya pada tanggal 2 September 1903 dalam rangka mengristenkan orang
Simalungun yang masih beragama suku dan terbelakang! Berkat pekerjaan August
Theis orang Simalungun melek huruf latin, bersekolah, mengenal kebersihan dan
akhirnya meraih kemajuan dengan semangat "marmalu"(melihat ke
belakang untuk melesat jauh ke depan meraih cita-cita luhur).
Satunya lagi siapa pakar ilmu bahasa yang tidak mengenal beliau di dunia, Doktor Linguistik Petrus Voorhoeve yang khusus di datangkan pemerintah kolonial Belanda ke Simalungun menjawab surat raja-raja Simalungun kepada pemerintah kolonial untuk meneliti apakah orang Simalungun hanya merupakan 'sempalan' dari orang Batak Toba? Ini sehubungan dengan komitmen zending RMG di Tapanuli yang kurang memberikan ruang gerak bagi orang Simalungun memberdayakan etnisnya!
Satunya lagi siapa pakar ilmu bahasa yang tidak mengenal beliau di dunia, Doktor Linguistik Petrus Voorhoeve yang khusus di datangkan pemerintah kolonial Belanda ke Simalungun menjawab surat raja-raja Simalungun kepada pemerintah kolonial untuk meneliti apakah orang Simalungun hanya merupakan 'sempalan' dari orang Batak Toba? Ini sehubungan dengan komitmen zending RMG di Tapanuli yang kurang memberikan ruang gerak bagi orang Simalungun memberdayakan etnisnya!
Voorhoeve bekerja sejak tahun 1937 di Simalungun sebagai pejabat bahasa (taal ambtenaar) yang digaji oleh pemerintah kolonial. Beliau dibantu oleh Comite Na Ra marpodah Simalungun yang didirikan J. Wismar Saragih dan kawan-kawan dalam mendobrak kebisuan zending atas kesimalungunan! Dari tangan Voorhoeve lahir karya-karya ilmiah bermutu tinggi dan berkalibar internasional! Naskah-naskah Simalungun beliau catat, transiliterasi dan kaji dari sisi ilmiah! Kamus Simalungun sempat beliau buat, namun hilang ketika perang dengan Jepang pecah di Hindia Belanda!
Jejak Theis dan Voorhoeve
berkebangsaan Jerman dan Belanda itu masih lestari hingga saat ini, salah
satunya adalah GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) dan Museum Simalungun
dan tentu saja transliterasi Partikkian Bandar Hanopan (naskah beraksara
Simalungun menceritakan asal-usul kerajaan Dolog Silou) yang masih tersimpan
aslinya di Bandar Hanopan Silou Kahean dan ulasannya di Tropen Instituut Negeri
Belanda (kopiannya ada di ANRI Jakarta). Sumber FB Juandaha Purba.
Dilombakan
Pada (Jubileum GKPS 110 Distrik VI Rayon 1 (GKPS Resort Jambi, Muarabungo,
Palembang, Pangkal Pinang, Bengkulu) 31 Agustus 2013 s/d 1 September 2013 di
GKPS Jambi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar