Sabtu, 10 Agustus 2013

110 Tahun Injil di Tanah Simalungun



Bahan KATEKISASI SEJARAH UMUM GKPS
Pdt Agus Theist Misionaris Jerman.

Ephorus GKPS Pdt Jaharianson Saragih MTh PHd.

( Oleh Vik.Pdt.Freddy Purba STh-GKPS Bangko, Resort Muarabungo)

Sejarah masuknya Injil Ke Simalungun digagas oleh badan zending dari Jerman yakni RMG. Pada tanggal 16 Maret 1903, RMG dari Barmen mengirim telegram yang merekomendasikan Nommensen, agar segera melaksanakan pekabaran Injil ke Timorlanden. Adapun isi telegram
tersebut yakni “Tole! Den Timorlanden Das Evangelium !” artinya “ Segeralah ! Beritakan Injil ke Timorlanden (Tanah Timur). 

Pada bulan Juni 1903, G.K. Simon, August Theis dan Nommensen bersama dengan para evanggelist Kristen pribumi dari Tapanuli membuat perintisan pekabaran Injil (pI). Kemudian membangun rumah zending di Tigaras, selanjutnya Tigaras dijadikan pintu masuk bagi parazendeling dalam rangka mengkristenkan orang Simalungun yang masih menganut agama suku.

Pada tanggal 02 September 1903, August Theis tiba di Pamatang Raya (pos pI pertama), tanggal inilah dijadikan sebagai tahun berdirinya GKPS. Penginjilan yang dilakukan RMG kurang memberi ruang bagi budaya Simalungun, mereka tidak menguasai bahasa daerah Simalungun,ditambah pula dengan sikap para evanggelist suku Toba dari Tapanuli yang menggunakan bahasa Toba dalam mengkomunikasikan Injil, dengan demikian orang Simalungun tidak mengerti maksud pesan firman Tuhan. 

Pengkristenan sangat sulit berkembang akibat tidak adanya usaha RMG untuk menjelaskan Injil dengan sarana nilai-nilai budaya Simalungun. Hal itu dibuktikan dengan hadirnya Injil di Simalungun selama 25 tahun, yaitu pada tahun 1928 (1903-1928) hanya 900 orang berhasil dibaptiskan. Melihat situasi ini tergeraklah hati para Kristen pribumi untuk berperan aktif terlibat melaksanakan pekabaran Injil. 

Ini berawal dari pesta peringatan 25 tahun Injil di Simalungun yang diadakan di Pamatang Raya pada tanggal 3 September 1928. Orang Kristen Simalungun menyadari keadaan gerejanya untuk berbenah diri secara khusus dalam pewartaaan Injil kepada etnisnya.

Menuju Kemandirian GKPS (1928-1952)

Hadirnya gerakan pI Kristen pribumi sejak berdirinya Komite Na Ra Marpodah (1928) di Pamatang Raya, Kongsi Laita (1931) di Sondi Raya dan Parguru Saksi Kristus (1942) di Pamatang Raya merupakan benih menuju kemandirian HKBP Simalungun. 

Para etnis Kristen Simalungun berusaha menuju kemandirian yang otonom, baik secara daya,
administrasi dan teologia. Itu menunjukkan sudah adanya kesadaran akan tugas pekabaran Injil sebagai tanggungjawab mereka. Itu tampak dari kesediaan jemaat secara sukarela memberikan bantuan tenaga dan materi demi keberlangsungan pelayanan gereja.

Cikal-bakal kemandiran itu dimulainya ketika pembentukan wadah gerakan pI Kristen Pribumi. Selanjutnya ketika orang Simalungun tidak diperhitungkan dalam badan-badan HKBP dengan diubahnya distrik “Simalungun-Oostkust” menjadi distrik “Sumatera Timur, Aceh dan Dairi” pada tahun 1935, membuat kemarahan bagi etnis Simalungun karena dianggap disepelekan dan tidak mengindahkan identitas mereka.

Selanjutnya tendensi menuju kemandirian muncul lagi pada tahun 1952. Hal ini disebabkan janji palsu HKBP terhadap orang Simalungun. Permasalahannya berawal ketika tujuh orang Simalungun menyelesaikan studinya pada sekolah pendeta di Pamatang Raya.

Hal itu dapat tercapai karena setiap jemaat membiayai secara sukarela memenuhi kebutuhan dari tujuh orang sekolah pendeta tersebut selama dua tahun. Sesuai dengan perjanjian dengan HKBP, jika mereka tamat akan ditempatkan di daerah Simalungun. 

Tapi setelah penabhisan ke tujuh pendeta pada tanggal 28 September 1952 oleh Ephorus J.Sihombing di Pamatang Raya, janji manis HKBP itu diingkari dengan menugaskan empat orang di luar Simalungun dan tiga orang melayani di Simalungun. Atas keputusan ini etnis Simalungun merasa direndahkan.

Untuk menanggapi keputusan HKBP tersebut, pada tanggal 5 Oktober 1952 pengurus harian distrik Simalungun yang dipimpin oleh praeses Kerpanus Purba, mengundang anggota synode distrik Simalungun dalam rapat istimewa untuk membicarakan masalah penempatan pendeta itu. 

Setelah bertukaran pikiran, didapatkan kesimpulan, bahwa HKBP Pearaja tidak senang melihat kemajuan pemberitaan Injil di Simalungun. Maka diambil keputusan bahwa distrik Simalungun harus berdiri, terpisah dari HKBP. 

Lalu synode distrik Simalungun mengangkat dirinya menjadi synode bolon HKBP Simalungun dan menetapkan pengurus harian (wakil ephorus dan sekretaris Jendral), yaitu J.Wismar Saragih dan A.Wilmar Saragih. Demikianlah usaha-usaha yang diterapkan, meskipun pada awalnya orang Simalungun tidak berkeinginan untuk memisahkan diri dari HKBP, tapi karena sikap HKBP kurang memberi ruang terhadap keberadaan orang Simalungun, maka terjadi usaha membangkitkan identitas orang Simalungun.

Semenjak J.Wismar Saragih terpilih menjadi wakil ephorus HKBP Simalungun selama dua periode (1952-1960), ia banyak memberikan kontribusi pemikiran dalam rangka pemantapan organisasi gereja, Persoalan identitas suku dan tugas pewartaan Injil kepada etnis Simalungun menjadi faktor utama akan adanya perjuangan pihak HKBP Simalungun untuk mandiri dari HKBP. 

Seharusnya gereja itu tampil untuk menjawab pergumulan jemaat, tapi saat itu HKBP  menghalang-halangi pembentukan HKBP Simalungun (1952) yang merupakan impian orang Simalungun untuk menjadi gereja yang mandiri. Pihak HKBP membuat peraturan-peraturan yang menyulitkan kemandirian dan pimpinan HKBP Simalungun mendapat tekanan sewaktudipimpin oleh JWS, meskipun memang ada sebagian pendeta HKBP yang mendukung kemandirian tersebut.

Persoalan tuntutan orang Simalungun menurut HKBP dianggap sebagai perpecahan gereja, padahal orang Simalungun berpikir tujuan utama bukan soal organisasi gereja. Tetapi sebagai suatu jalan mempercepat laju pengkristenan di Simalungun, sehingga mampu mengurusi dirinya sendiri. Sikap HKBP setelah terbentuknya HKBP Simalungun (1952) kurang mendukung. Hal itu tampak dari beberapa usulan ke badan zending RMG dan LWF (Lutheran World Federation),agar segala utusan yang berada di Simalungun kembali ke Pearaja. 

H.Volmer disuruh berhenti sementara dari pelayanannya. Sebenarnya Volmer tidak sepakat dengan HKBP. Tetapi atas suruhan pimpinan, maka ia mengalihkan pelayanannya untuk mengoreksi terjemahan PB yang dikerjakan oleh J.Wismar Saragih. Selanjutnya HKBP juga memintakan kepada LWF, agar Williams yang bekerja sebagai pimpinan poliklinik di Saribudolok menghentikan pekerjaannya. 

Akhirnya Williams untuk beberapa bulan harus meninggalkan Simalungun dan ditugaskan melayani di Toba. Salah satu alasan HKBP untuk tidak segera memberikan kemandirian yakni karena masih sedikitnya pendeta dari Simalungun, yang dikuatirkan akan menyimpang dari ajaran HKBP.

Meski demikian perjuangan dan desakan orang Simalungun terus digalakkan dengan sikap arief dan bijaksana. Atas desakan tersebut, maka pimpinan HKBP memilih Ds.J. Bos yang menjadi perantara dua belah pihak. Pada tahun 1953 melalui pendekatan-pendekatan yang dilakukan, barulah HKBP mengakui keberadaan HKBP Simalungun walaupun belum mandiri 100%, tapi diberikan wewenang untuk mengurusi segala kegiatan dan keuangan gerejanya. Hal itu juga diputuskan pada synode godang HKBP pada tahun 1953. 

HKBP mensyahkan Praeadvis Kerksbestur yakni Wakil Ephorus dan Sekretaris Djenderal HKBP Simalungun. Pada periode 1928-1952, kristen pribumi Simalungun sangat antusias dalam penginjilan ke seluruh pelosok Simalungun, pada masa inilah banyak penganut suku Simalungun menjadi pengikut Kristus. Ada beberapa lembaga penginjilan dan seksi, yang turut berperan dalam kristenisasi di Simalungun, yakni:

1. Comite Na Ra Marpodah ( 13 Oktober 1928) Situasi pengkristenan pada tahun 1903-1928 sangatlah memprihatinkan karena belum adanya pemuridan yang diterapkan RMG bagi kalanganetnis Simalungun, sehingga menjadi kendala dalam hal pewartaan. Ditambah pula keberadaan budaya Simalungun mulai tersisihkan dari kegiatan-kegiatan gerejawi oleh karena bahasa Toba dijadikan sebagai bahasa pengantar. 

Permasalah tersebut menjadi pukulan bagi orang Kristen Simalungun terutama bagi mereka yang telah bekerja sebagai guru zending dan pejabat di pemerintahan, mereka memahami pentingnya suatu kemajuan terhadap regenerasi suku Simalungun dan harus ada suatu upaya untuk memperbaiki identitas sukunya menujuperubahan.

Pesta peringatan 25 tahun Injil di jemaat Pamatang Raya melatar belakangi pembentukan Komite Na Ra Marpodah. Pada tanggal 13 Oktober 1928 beberapa orang Kristen Simalungun berkumpul di rumah pangulu balai Djaudin Saragih untuk membahas pendirian Komite Na Ra Marpodah, yang berfungsi memberikan pengarahan, nasehat dan petunjuk bagi etnisnya. Sebagai bentuk pelayanan yang berfokus pada penerbitan buku-buku dan renungan dalam bahasa Simalungun, komite tersebut menetapkan tanggal 2 September 1928 sebagai tanggal berdirinya Komite Na Ra Marpodah. 

Berdirinya wadah tersebut, sebagai babak baru lahirnya pI yang kontekstual dalam mencapai
hamajuon (kemajuan) di Simalungun. Didorong oleh semangat kesukuan dan hamajuon, para pendiri komite dan bahkan para perantau memberikan bantuan uang secara suka rela untuk mendukung tugas pelayanan komite itu. Pada tahun 1929 dapat dicatat berbagai pandangan dan sambutan atas hadirnya Komite Na Ra Marpodah. 

Pemerintah Belanda sendiri turut memberikan bantuan sebesar f. 1000 pada tahun 1931 dan f.350 pada bulan Desember 1936 dari hasil keuntungan perkebunan karet. Pemerintah Belanda melihat bahwa tujuan komite ini bukanlah suatu upaya perlawanan terhadap mereka, akan tetapi dimengerti sebagai wujud kesadaran etnis Simalungun untuk berbenah diri secara khusus dalam hal pendidikan.

Peran serta JWS dalam menggerakkan komite tersebut sudah dimulai semasa kuliah di Sipoholon. Ia menerjemahkan buku-buku sekolah dan pengajaran Kristen yang akan diterbitkan oleh komite tersebut.
Setelah JWS menjadi pendeta, ia tetap berusaha memajukan Komite Na Ra Marpodah. Menurut J.L. Swellenggerebel, JWS-lah sebagai tokoh utama dalam komite tersebut. Pada tahun 1935, RMG berusaha memisahkan JWS dari komite itu dengan cara memindahkannya ke Pearaja, tetapi JWS menolak surat pemindahan itu.

Pada awalnya RMG kurang bersimpati terhadap usaha-usaha yang diterapkan Komite Na Ra Marpodah. Namun demikian, usaha-usaha karya komite ini mendapat pengakuan dari utusan RMG yaitu P.Voorhove. Ia mengatakan bahwa kinerja komite ini sangat berjasa dalam pengkristenan di Simalungun, bahkan pekerjaan komite ini juga telah membuat orang Simalungun menjadi pintar melalui usaha-usaha penerjemahan buku-buku sekolah ke dalam bahasa Simalungun. 

Pada tahun 1942, pekerjaan Komite Na Ra Marpodah berakhir seiring masuknya Jepang ke Simalungun yang melarang segala aktivitas gereja, termasuk melarang terbitnya surat kabar Sinalsal.
2. Kongsi Laita (15 November 1931)
Hadirnya Kongsi Laita adalah sebagai mata rantai dari lahirnya Komite Na Ra Marpodah. Cikal bakal berdirinya wadah ini dimulai pada tahun 1931. Benih Injil yang selama ini ditabur mendapat respon positif dari jemaat. Itu dibuktikan ketika jemaat selesai mengikuti ibadah minggu, mereka sering memperbincangkannya khotbah yang didengar di gereja secara khusus di Sondi Raya. 

Para penatua gereja semakin gencar mengunjungi rumah-rumah yang belum menganut agama Kristen pada minggu sore. Akibatnya Injil semakin merambat yang membawa dampak terhadap meningkatnya penganut agama suku menjadi Kristen. Untuk merespon kabar baik tersebut, mereka mengadakan rapat pada tanggal 15 November 1931 memilih pengurus dan menamakan organisasi tersebut “Kongsi Laita”. Motto dari Kongsi Laita, yakni bercakap-cakap sampai 5 menit mesti mengabarkan firman Tuhan.

Perkembangan selanjutnya, organisasi ini menghimpun orang Kristen Simalungun, untuk mengadakan penginjilan kepada penduduk kampung di sekitar Sondi Raya/Pamatang Raya dan mengadakan evanggelisasi pada malam hari. Sejak tahun 1935 pelayanan Kongsi Laita diperluaskembali dengan mengutus para evanggelist dan para jemaat untuk melaksanakan pekabaran Injil ke pelosok-pelosok Simalungun. 

Semua utusan tersebut membuat laporan mengenai hasil pI mereka kepada pengurus. Berkat kegiatan Kongsi Laita di bidang pI, maka pada tahun 1956 synode HKBPS menjadikan kongsi ini sebagai salah satu seksi HKBPS.

3. Parguru Saksi Kristus (15 April 1941) Berdirinya PSK dikarenakan oleh adanya kesadaran sendiri (Parmaluon) dari pihak Kristen pribumi dan ahab siparutang (rasa berhutang) terhadap tanah kelahirannya. Hal tersebut telah diawali dengan adanya komunitas Simalungun seperti Komite Na Ra Marpodah (1928) dan Kongsi Laita (1931) yang berperan dalam pekabaran Injil. 

Tetapi komunitas ini belum dapat menjawab pergumulan para pelayan gereja, secara khusus rendahnya pengetahuan tentang doktrin Kristen dan juga oleh karena sedikitnya pelayan pada masa itu. Hal yang ikut juga mempengaruhi pendirian PSK yaitu atas hadirnya tentera Jepang (Nippon) ke daerah Simalungun. Di mana ketika pemerintah Jepang telah berkuasa, mereka sangat anti terhadap kekristenan dan melarang perkumpulan Kristen. Nyayian-nyanyian gereja tidak lagi terdengar.Sementara banyak nyanyian Jepang bergema di tanah Simalungun. Dengan kondisi demikian sangat sulit membuat gerakan penginjilan pada masa itu.

Pada tanggal 15 Oktober 1942 dimulailah kursus tersebut di Pamatang Raya, yang diikuti 72 orang. Syarat utama untuk menjadi murid PSK adalah harus yang sudah dibaptis dan belajar jadi saksi Kristus selama setahun dengan 12 pelajaran. Setelah menjalani proses kursus selama setahun, tamatan kursus pertama ada 57 orang dinyatakan lulus dari Pamatang Raya. Mereka dilantik pada ibadah minggu. 

Pada kesempatan itu pula, JWS mengundang para pendeta Simalungun, untuk menyaksikan murid PSK yang hendak dilantik, sekaligus mendiskusikan bagaimana agar kursus PSK tersebut dapat dilaksanakan juga di setiap daerah Simalungun. Pada tahun 1943, Kerpanus Purba memulai kursus PSK di Nagori Dolok dan menamatkan murid PSK sebanyak 22 orang pada tahun 1944. 

Pada tahun selanjutnya diikuti oleh jemaat Tigarunggu dan Saribudolok. Kemudian untuk memperlancar proses kemajuan PSK, JWS menyusun pengurus lengkap dari organisasi tersebut. Pengurus dari PSK inilah yang akan memberangkatkan para utusan penginjil yang sudah tamatmelaksanakan pekabaran Injil kepada orang yang belum mengenal Kristus. Para utusan PSK itu nantinya akan membuat laporan mengenai pelayanan mereka kepada pengurus PSK.

Berdirinya GKPS ( 1 September 1963)

Perkembangan selanjutnya pada synode HKBP Simalungun tahun 1961 telah diputuskan agar HKBP Simalungun seutuhnya mandiri. Untuk itu pada tanggal 24-26 Agustus 1961 dibentuk panitia khusus P3- HKBP Simalungun untuk membantu kersbektur mengurusi kemandirian. HKBP Simalungun juga mendiskusikan keinginan mereka kepada DGI, RMG dan LWF untuk meminta nasehat-nasehat. 

Percakapan dengan pihak HKBP tidak membuahkan hasil. HKBP agaknya kurang memberi ruang gerak bagi para pelopor kemandirian HKBP Simalungun. Perjuangan tidak berhenti di situ. Desakan HKBP Simalungun untuk mandiri 100 % dari HKBP tidak terbendung lagi oleh puncuk pimpinan HKBP (saat itu dipimpin oleh Ephorus Justin Sihombing). 

Akhirnya kerkbestur HKBP dengan kerkbestur HKBP Simalungun melaksanakan rapat pada tanggal 15 Juni 1962 untuk membahas permasalahan tersebut. Setelah mengadakan dialog, keputusan rapat mengatakan “Ta oloi ma mandjae 100 % HKBP Simalungun” (kita setujuilah HKBP Simalungun mandiri 100 %). Untuk menindaklanjuti keputusan tersebut, diangkatlah 10panitia untuk mengurusi segala keperluan dalam rangka kemandirian HKBP Simalungun, yakni 5 orang dari HKBP dan 5 orang dari HKBP Simalungun, yaitu:
HKBP HKBP Simalungun
- Pd. J. Togatorop
- Pd. H. Pakpahan
- Tn. I. Pardede
- Pd. G. Siahaan
- St.T.D. Pardede - Pd, H. Tondang
- Pd. J. Purba Saribu
- Gr.J. Purba
- Gr. L. Purba
- Pd. Lesman Purba

 Setelah panitia melaksanakan tugasnya, diputuskanlah bahwa :
1. Bukan karena perbedaan dogma, maka HKBP Simalungun mandiri (mandjae).
2. Segala kekayaan seperti: rumah gereja, gedung sekolah, tanah gereja yang sudah dikelola HKBP Simalungun menjadi milik mereka setelah mandiri.
3. Meskipun HKBP Simalungun mandiri, tetapi masih ada kerjasama dalam bidang:
- Sekolah pendeta
- Diakonia sosial
- Tugas zending
4. Peresmian kemandirian dilaksanakan pada tanggal 1 September 1963 berdasarkan permintaan dari pihak HKBP Simalungun agar tepat hari itu sebagai masuknya Injil ke-60 tahun di Simalungun.
5. Pada hari kemandirian itu HKBP Simalungun menjadi gereja yang otonom, dan namanya berubah menjadi Gereja Kristen Prostestan Simalungun (GKPS).
6. Segala sesuatu keputusan yang agaknya kurang jelas dalam kepanitiaan ini, akan di tindak lanjuti lagi oleh pihak HKBP dengan HKBP Simalungun (GKPS) di kemudian hari dengan kemufakatan bersama. Dengan demikian, setelah peresmian HKBP Simalungun menjadi GKPS,
terwujudlah cita-cita orang Simalungun untuk menjadi gereja yang mandiri secara otonom yang mampu mengurusi dirinya sendiri.

Sejarah penulisan BIBEL SIMALUNGUN.
KITAB Lukas sebagai Langkah Awal:

Langkah awal yang diterapkan J.Wismar Saragih (JWS) untuk memperkenalkan Injil Kristus kepada orang Simalungun yaitu menerjemahkan kitab Lukas ke dalam bahasa Simalungun. Namun demikian ada beberapa kendala dalam penerjemahan tersebut. Salah satunya adalah rendahnya pengetahuan JWS dalam bahasa Yunani sebagai bahasa asli kitab Perjanjian Baru. Untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Simalungun, ia memperbandingkan berbagai bahasaAlkitab, seperti Alkitab bahasa Karo, Toba, Angkola dan Belanda. 

Setelah memperbandingkan kitab Lukas dari berbagai sumber Alkitab tersebut, ia membuat hasil terjemahan akhirnya ke dalam bahasa Simalungun. Selain kendala bahasa, ia juga mengalami hambatan dalam hal penyesuaian nama-nama jenis kayu dan jenis binatang yang ada dalam kitab Lukas, sebab kondisi flora dan fauna di Palestina sangatlah berbeda dengan konteks Simalungun.

Selama proses penerjemahan kitab Lukas, ia dibantu oleh P. Voorhoeve (utusan RMG). Ia mampu menguasai bahasa Yunani dan memiliki pengetahuan yang cukup baik dalam hal penerjemahan Alkitab. JWS memberikan hasil terjemahan akhirnya untuk dikoreksi oleh Voorhoeve, sebab beliau pun sudah dapat menguasai bahasa Simalungun dengan lancar. 

Setelah penerjemahan kitab Lukas selesai, lembaga kongsi Bibel dari Belanda memberikan dana untuk biaya percetakan. Karya JWS dalam hal penerjemahan Alkitab Simalungun mendapat sambutan yang baik dari kalangan orang Kristen Simalungun, karena dengan demikian mereka lebih mudah memahami firman Tuhan dalam bahasa mereka sendiri. Sebelumnya hanya ada dalam terjemahan bahasa Toba, sehingga ada kesulitan dalam memahaminya. 


Hal itu juga dituturkan oleh Jasalem Saragih, ketika beliau mengikuti kursus PSK dengan menggunakan Alkitab dalam bahasa Toba pada tahun 1943. Kitab Lukas itu, baru diedarkan pada tahun 1939.

Seluruh Kitab PB dan Sebagian Kitab PL Penerjemahan ini adalah tindak lanjut dari penerjemahan kitab Lukas yang dilihat JWS sangat membantu warga Kristen Simalungun mengerti tentang Injil. Untuk mempercepat penerjemahan, JWS memprakarsai suatu wadah yang bertujuan menerjemahkan seluruh Alkitab ke dalambahasa Simalungun. Akhirnya terbentuklah Kongsi Bibel Simalungun pada tanggal 10 Agustus 1944. Tetapi ketika ada pembagian tugas kepada para anggota, kesungguhan mereka tidak nyata dengan alasan kesibukan tugas masing-masing. 

Selama 3 tahun Kongsi Bibel Simalungun berdiri, belum ada buah pekerjaan penerjemahan. Melihat situasi yang demikian, JWS memutuskan untuk mengerjakan penerjemahan seorang diri. Kesulitan yang dialami JWS sama seperti ia menerjemahkan kitab Lukas, yaitu ketidaktahuannya dalam bahasa Yunani dan Ibrani. 

Untuk itu ia mempergunakan 5 Alkitab dari berbagai bahasa sebagai bahan perbandingan yaitu Alkitab dalam bahasa Indonesia, Belanda, Angkola, Toba dan Karo. Penerjemahan seluruh kitab PB dilakukannya selama 6 tahun (1944-1950). Setelah selesai diketik keseluruhan, JWS mengirimkannya ke Belanda untuk diperiksa oleh P.Voorhoeve agar disesuaikan dengan bahasa aslinya. 

Setelah pengerjaan kitab PB rampung, ia berjuang kembali dalam penerjemahan kitab PL. Namun pekerjaan penerjemahan tidak dapat diselesaikannya berhubung kesehatannya kurang mengijinkan. JWS hanya mampu mengerjakan kitab Mazmur, Amsal dan setengah kitab Jesaya. Pada perkembangan Selanjutnya, Pdt Petrus Purba menyelesaikan secara utuh penerjemahan Bibel Simalungun, termasuk perbaikan-perbaikannya.Barulah pada tanggal 16 Januari 1977, bibel Simalungun baik itu PB dan PL diterbitkan secara utuh.

Catatan.
Kuasai tentang statistik GKPS dan tanggal-tanggal berdirinya badan/seksi di GKPS, itu ada di Susukkara GKPS tahun 2013. Jumlah jemaat sa- GKPS ada 634 jemaat - Jumlah jiwa sa-GKPS ada 213.042 jiwa (data 2013). Jumalah resort sa-GKPS ada 124 Resort dan jumlah distrik ada 7distrik. Distrik VI Ada 12 Resort. Praeses Distrik VI (Pekanbaru) Pdt Jameldin Sipayung STh MA.

Pendeta Pertama orang Simalungun adalah Pdt.Jaulung Wismar Saragih. Ephorus pertama GKPS adalah Pdt.Jenus Purba, Sekjend pertama adalah Lesman Purba.

Siapa Ephorus sekarang dan Sekjend? (Pdt.Jahariason Saragih Ephorus dan Pdt.El Imanson Sumbayak/Sekjed) Struktur tingkatan di GKPS yakni: Pengantar jemaat (Pengantar jemaat) –Resort (Pendeta Resort) – Distrik (Praeses) - Pimpinan Pusat Pimpinan pusat-kepala departemen (Pelayanan, administarasi, Diakonia,Persekutuan. Litbang) – Prases- Pendeta Resort (Vikar
pendeta, Penginjil).

Kepengurusan jemaat yakni : Pengantar Jemaat, Wakil pengantar jemaat, Sekretaris, bendahara dan pengurus seksi (seksi Lansia,Wanita, Bapa, Pemuda dan Sekolah minggu). Ini juga sama
kepengurusannya baik dalam tingkat resort, distrik dan pusat.

Tema dan Sub Tema GKPS (2010-2015) 2013? Yaitu: Tema: Hita Do Saksi Ni Kristus (Lahoan Ni Apostel 1:8) dan Sub Tema: Ambilankon Hita ma Ambilan Namadear Bani sagala na Tinompa Ase Jumpahan Haluahon (Markus 16:15).

GKPS 1903 Pamatang Raya adalah gereja pertama di GKPS.
GKPS memiliki aturan yang diatur dalam Tata Gereja GKPS. Ruhut Paminsangon sebagai sarana pengembalaan, jika ada jemaat yang melanggar maka ia akan dikenakan siasat gereja. Apakah itu ditegur, menjadi anggota siasat atau dikucilkan.

Berapa jumlah lagu Haleluya yang ada Bibel Simalungun?..Ada No 506 haleluya. Hafal juga syair lagu Jubileum GKPS 110 Tahun Injil di Simalungun?
SELAMAT BERGUMUL........Bahen nasiam songon namenghafal ujian i sikolah atau perkuliahan, pasti ham gabe pemenang. Percayalah. Tabi.
******************

Injil Mencerahkan Masyarakat Simalungun

Tanah Simalungun termasuk daerah yang paling sulit ditembus pekabaran injil (PI) di tanah Batak, Sumatera Utara. Hal tersebut ditandai dengan lambatnya PI masuk ke tanah Simalungun. PI baru dimulai di tanah Simalungun, 2 September 1903 oleh Misionaris asal Jerman, Pdt August Theis.

Sedangkan di tanah Batak Toba (Tapanuli), PI yang dilakukan misionaris Jerman Pdt Ilnommensen sudah dimulai 7 Oktober 1861 yang ditandai dengan berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP).
PI di tanah Karo dimulai tahun 1890 oleh misionaris Jerman, Pdt Hguiellaume atau tertinggal sekitar 42 tahun dari PI di tanah Batak Toba dan 13 tahun dari PI di tanah Karo. Lambatnya PI di tanah Simalungun dipengaruhi tradisi masyarakat Simalungun yang masih banyak menganut animisme.

Kemudian masyarakat Simalungun juga memiliki sifat yang tertutup terhadap dunia luar. Selain itu daerah-daerah Simalungun tempo dulu rata-rata terisolasi dari dunia luar dan sebagian daerah Simalungun sudah dimasuki agama Islam.
Berhala menurut mantan Ephorus Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) Pdt Jas Damanik STh dalam sebuah tulisan-nya berjudul “Pengaruh GKPS di Simalungun serta arah kebijaksanaan dan strategi pengem-bangannya”, sebelum injil ma-suk ke Tanah simalungun, masyarakat Simalungun sebagian besar menganut kepercayaan animisme (menyembah berha-la).

Mereka percaya adanya roh benda-benda seperti gunung, sungai kayu besar dan sebagai-nya. Mereka sangat taat kepada adat-istiadat, sehingga sulit menerima nilai-nilai maupun ajaran lain dari luar, termasuk injil.
Secara geografis, sebagian besar desa (nagori) di tanah Simalungun termasuk sangat sulit dijangkau. Kondisi demikian membuat masyarakat Simalungun sulit berhubungan dengan dunia luar. Desadesa terisolasi yang masing-masing memiliki partuanon (tuan-tuan kampung) di Simalungun kala itu juga sulit dimasuki orang lu-ar akibat seringnya terjadi perang (permusuhan) antarkampung.

Kalau pun ada daerah Simalungun yang mudah dijangkau dan aman dimasuki, seperti daerah Bandar , Tanah Jawa, Perdagangan yang dekat dengan tanah Melayu, masyarakat Simalungun di
daerah itu sudah dimasuki agama islam.
Di tengah ketertutupan Simalungun dari segi kepercayaan, sosial, budaya dan geografis tersebut, injil tetap berhasil menembus tanah Simalungun. Para misionaris Jerman menembus tembok-tembok ketertutupan tanah Simalungun melalui jalur pantai Danau Toba wilayah Simalungun.

Untuk membangun kantong-kantong PI di tanah Simalungun, para misionaris jerman yang bernaung di bawah payung persekutuan gereja HKBP masuk melalui Desa Tigaras dan Desa Haraanggaol. Kedua desa di tepian Danau Toba yang telah memiliki akses jalan bangunan Belanda ke pusat tanah Simalungun, Pematangraya, atau ibukota Kabupaten Simalungun saat ini.

Respons cepat menyadari ketertinggalan mereka saudara-saudaranya, masyarakat Batak Toba dan Karo dalam PI, pembangunan pendidikan dan kesehatan, masyarakat Simalungun yang dulunya anti perubahan pun sangat cepat merespon kehadiaran PI injil di daerah dan masyarakat mereka.

Setelah Pdt August Theis berkiprah menyebarkan injil di tanah Simalungun selama 18 tahun (1903 – 1921), masyarakat Simalungun pun banyak yang meninggalkan kepercayaan animisme dan masuk menjadi penganut Kristen.
Selain itu warga masyarakat Simalungun pun berlomba-lomba menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah penginjilan (Zending) dan sekolah-sekolah umum setelah mereka menerima PI.
Ketertarikan masyarakat Simalungun mengikuti ajaran Injil, kata Pdt Jas Damanik STh, karena PI di tanah Simalungun yang dilaku-kan Pdt August Theis berhasil membebaskan masyarakat Simalungun dari perbudakan pemerintah kolonial Belanda.
Pdt Augut Theis dan pemerintahan kolonial Belanda menyepakati pembebasan masyarakat Simalungun dari perbudakan tahun 1910. Daya pikat lain Injil bagi masyarakat Simalungun kala itu, yakni teratasinya masalah-masalah kesehatan masyarakat melalui pelayanan kesehatan keliling dan pendirian rumah sakit yang dilakukan Misionaris Jerman disertai pembangunan sekolah-sekolah umum.
Tingginya animo masyarakat Simalungun menyambut PI tersebut berpengaruh cepat terhadap berdirinya gereja Simalungun. Setelah PI di tanah Simalungun berjalan di bawah payung HKBP sekitar 60 tahun (1903 – 1963), Gereja Simalungun bernama Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) pun didirikan secara resmi, 1 September 1963.

Pendirian GKPS sebagai suatu gereja yang menggunakan bahasa Simalungun di tanah Simalungun sendiri, membuat PI di tanah Simalungun semakin menggeliat. GKPS pun dengan leluasa mendirikan sekolah-sekolah umum tingkat sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA), rumah sakit, lembaga pendidikan dan pelatihan pertanian serta lembaga pelestarian senibudaya Simalungun.
Tingginya perhatian GKPS dalam pembangunan masyarakat dan daerah Simalungun tersebut membuat GKPS pun bisa menjadi “Tuan Rumah” di daerah sendiri dalam PI dan pembangunan masyara-kat. Sejak tahun 1963, ketika perhatian pemerintah masih rendah terhadap pembangunan daerah dan masyarakat Simalungun belum maksimal, GKPS sudah melakukan berbagai terobosan dalam pembangunan daerah dan masyarakat Simalungun.

Selain mendirikan sekolah-sekolah dan rumah sakit (RS) Bethesda di Seribudolok, Kecamatan Silimakuta, GKPS juga membangun jalan ke desa-desa terisolir. GKPS juga membangun sarana air minum di desa-desa krisis air bersih, khusus-nya di daerah-daerah pegunungan.

Alhasil, saat ini, ketika injil genap 109 tahun ditaburkan di Tanah Simalungun, GKPS sudah mampu menjadi salah satu tulang panggung pembangunan daerah dan masyarakat Simalungun.

Hal itu bisa dilihat dari banyaknya sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkan melalui badan-badan pendidikan GKPS. Daerah-daerah di Simalungun juga sudah tidak ada lagi yang masuk kategori terisolasi dengan masyarakat terbelakang.
Kehadiran GKPS telah mampu membuat hampir 100 % masyarakat Simalungun mengecap pendidikan dasar dan menengah serta menikmati pelayanan dasar kesehatan.

Terus Berjuang
Ephorus (pimpinan tertinggi) GKPS, Pdt Jaharianson Saragih STh PHd pada pemekaran GKPS Resort Jambi dengan GKPS Resort Muarabungo, Jambi baru-baru ini menjelaskan, pihaknya terus berjuang meningkatkan partisipasi dalam pembangunan masyarakat daerah dan masyarakat
Simalungun sebagai wujud nyata misi PI di tanah Simalungun, serta memajukan pembangunan bangsa Indonesia.
Komitmen GKPS terhadap pembangunan pendidikan tersebut, lanjut Jaharianson ditandai dengan semakin banyaknya jumlah lembaga pendidikan di Simalungun yang didirikan dan dikelola GKPS. Saat ini GKPS telah memiliki sekolah dasar (SD) sebanyak 21 unit, sekolah menengah pertama (SMP) sebanyak 8 unit, sekolah mene-ngah atas (SMA) 2 unit dan sekolah menengah kejuruan (SMK) 4 unit.
Selain itu, GKPS juga kini memiliki sekolah taman kanak-kanak sebanyak 2 unit. Sedangkan untuk pendidikan tinggi, GKPS bersama gereja-gereja di Sumatera utara sudah lama mendirikan Sekolah Tinggi Theologia di Medan, Sumatera Utara.
Kemudian GKPS juga menjadi salah satu pendukung utama pendirian perguruan tinggi (PT) Universitas Simalungun di Kotamadya Pematangsiantar, Simalungun. Dikatakan, salah satu yang kini mendapat perhatian serius GKPS ialah pembangunan karakter masyarakat Simalungun.

Pembangunan karakter itu penting di tengah derasnya gempuran demoralisasi zaman sekarang ini. Untuk mencapai itu GKPS memiliki SDM yang cukup berkualitas dalam pelayanan kerohanian dan sosial.
“Saat ini GKPS kini memiliki sekitar 286 pendeta, 86 orang penginjil dan 14.000 diaken (pelayan). Mereka melayani sekitar 210.141 jiwa warga GKPS yang tersebar di 634 gereja di Simalungun dan berbagai daerah di Indonesia yang terbagi dalam VII Distrik Wilayah Pelayanan,” kata Pdt Jaharianson Saragih STh PHd. (Suara Pembaruan.com Sabtu, 8 September 2012). [sp/radesman saragih]. (Dikutip dari database SP.com). (Asenk Lee Saragih-HP 0812 7477587)

===========

DUA TOKOH PENTING BERKEBANGSAAN JERMAN DAN BELANDA DALAM PERADABAN ORANG SIMALUNGUN
Sulit membayangkan bila kedua tokoh ini tidak datang ke Simalungun, jauh-jauh dari negerinya. Satu seorang misionaris dari Jerman (Haiger) bernama Missionar August Theis yang tiba di Pamatang Raya pada tanggal 2 September 1903 dalam rangka mengristenkan orang Simalungun yang masih beragama suku dan terbelakang! Berkat pekerjaan August Theis orang Simalungun melek huruf latin, bersekolah, mengenal kebersihan dan akhirnya meraih kemajuan dengan semangat "marmalu"(melihat ke belakang untuk melesat jauh ke depan meraih cita-cita luhur).

Satunya lagi siapa pakar ilmu bahasa yang tidak mengenal beliau di dunia, Doktor Linguistik Petrus Voorhoeve yang khusus di datangkan pemerintah kolonial Belanda ke Simalungun menjawab surat raja-raja Simalungun kepada pemerintah kolonial untuk meneliti apakah orang Simalungun hanya merupakan 'sempalan' dari orang Batak Toba? Ini sehubungan dengan komitmen zending RMG di Tapanuli yang kurang memberikan ruang gerak bagi orang Simalungun memberdayakan etnisnya!

Voorhoeve bekerja sejak tahun 1937 di Simalungun sebagai pejabat bahasa (taal ambtenaar) yang digaji oleh pemerintah kolonial. Beliau dibantu oleh Comite Na Ra marpodah Simalungun yang didirikan J. Wismar Saragih dan kawan-kawan dalam mendobrak kebisuan zending atas kesimalungunan! Dari tangan Voorhoeve lahir karya-karya ilmiah bermutu tinggi dan berkalibar internasional! Naskah-naskah Simalungun beliau catat, transiliterasi dan kaji dari sisi ilmiah! Kamus Simalungun sempat beliau buat, namun hilang ketika perang dengan Jepang pecah di Hindia Belanda!

Jejak Theis dan Voorhoeve berkebangsaan Jerman dan Belanda itu masih lestari hingga saat ini, salah satunya adalah GKPS (Gereja Kristen Protestan Simalungun) dan Museum Simalungun dan tentu saja transliterasi Partikkian Bandar Hanopan (naskah beraksara Simalungun menceritakan asal-usul kerajaan Dolog Silou) yang masih tersimpan aslinya di Bandar Hanopan Silou Kahean dan ulasannya di Tropen Instituut Negeri Belanda (kopiannya ada di ANRI Jakarta). Sumber FB Juandaha Purba.

Dilombakan Pada (Jubileum GKPS 110 Distrik VI Rayon 1 (GKPS Resort Jambi, Muarabungo, Palembang, Pangkal Pinang, Bengkulu) 31 Agustus 2013 s/d 1 September 2013 di GKPS Jambi.

Tidak ada komentar: