Kamis, 18 Juli 2013

Pendidikan Bukan Sulap

 
Sim salabim, kurikulum baru dimulai hari pertama tahun ajaran 2013/2014, Senin, 15 Juli 2013! Jiwa dunia persulapan tampaknya sudah merasuk sangat dalam ke jiwa pemerintah (baca: Menteri Pendidikan dan Kebudayaan – Mendikbud).

Sejuta anjing boleh menggonggong sekuat tenaga, sang kafilah dengan kepercayaan diri terlalu tinggi tetap berlalu. Pada 15 Juli ini sebanyak 6.325 SD, SMP, SMA, dan SMK di 295 kabupaten dan kota yang tersebar di 33 provinsi mulai menerapkan kurikulum baru. Kurikulum tanpa nama ini menggantikan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang diberlakukan secara nasional sejak 2006. Ini berarti mulai tahun ajaran baru ini di sebagian besar sekolah tetap menerapkan kurikulum “tradisional”, sedangkan di sebagian kecil sekolah menerapkan kurikulum “modern”.

Tentu kita tidak atau belum bisa memprakirakan, apa dan bagaimana kelak materi ujian nasional (UN)-nya. Apakah materi UN buat siswa yang menganut kurikulum lama berbeda dengan materi UN buat siswa yang menganut kurikulum baru? Apakah kualitas lulusan sekolah penerap Kurikulum 2013 dianggap lebih baik daripada lulusan sekolah pengguna kurikulum lama? Entahlah. Satu hal yang pasti, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud ) lagi-lagi menciptakan diskriminasi sekolahsekolah di negeri ini.

Niat baik Mendikbud Muhamad Nuh niscaya kita hargai. Akan tetapi, niat sebaik apa pun bila tidak dilakukan dengan proses yang baik dan benar, pasti hasilnya buruk. Sebagus apa pun bahan mentahnya, dalam hal ini Kurikulum 2013, bila proses pembuatan dan pelaksanaannya buruk, percayalah, hasilnya pun pasti buruk. Secara universal dari dahulu kala lembaga pendidikan selalu mengajar dan mendidik para siswa dan mahasiswa agar berorientasi pada proses, bukan pada hasil. Proses yang baik niscaya akan membuahkan hasil yang baik pula.

Terus terang, kita sangat pesimistis kurikulum berbiaya Rp829 miliar ini dapat diterapkan para guru. Tidak mustahil pelaksanaan kurikulum yang dibuat sendiri oleh Kemendikbud (tidak melibatkan para guru) ini jauh lebih amburadul daripada pelaksanaan UN SMA pada April lalu. Mengapa? Bayangkan, buku-buku pelajaran SMA yang meliputi ekonomi, fisika, kimia, bahasa Inggris, dan delapan pelajaran lainnya baru mulai ditulis pada Jumat lalu (12/7). “Bukunya mulai kami tulis sekarang,” ujar Wakil Mendikbud Musliar Kasim, Jumat lalu (Koran Tempo, 13/7).

Lalu kapan dicetak dan diedarkannya? Sebagian guru sasaran (yang menerapkannya langsung di kelas/ sekolah) juga baru dilatih (baca: diceramahi) pada pekan lalu (8–12 Juli). Bayangkan, hanya lima hari. Sebagian guru lainnya baru dilatih di sekolah masing-masing mulai Selasa (16/7). Pelatihan sangat singkat para guru tersebut berbiaya Rp521 miliar. Dahulu (2006) sebelum KTSP diterapkan, para guru dilatih (bukan diceramahi) selama dua pekan hingga dua bulan. Aroma proyek (uang) dalam pembuatan dan pelaksanaan Kurikulum 2013 jauh lebih tercium tajam ketimbang inovasi pendidikan.

Semoga tidak ada anggota DPR yang meminta dan menerima komisi untuk terpaksa menyetujui kurikulum terbaru tersebut pada akhir Mei lalu. Ada satu hal mendasar yang diabaikan Kemendikbud , yakni prinsip dan strategi difusi inovasi. Kemendikbud mengabaikan hukum alam komunikasi. Sejak 1940-an, para ahli komunikasi sudah membuktikan bahwa mendifusikan sebuah inovasi pasti membutuhkan proses yang sangat panjang dan lama d e n g a n usaha-usaha yang intensif sekali.

Untuk diterima sebuah inovasi saja dibutuhkan waktu yang sangat lama, apalagi sampai mengamalkannya. Kurikulum 2013 pastilah sebuah inovasi di bidang pendidikan di sekolah. Ini tidak bisa difusikan dengan gaya instruktif melalui jalur birokrasi Kemendikbud dan dinas- dinas pendidikan di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, apalagi dengan ancaman sanksi berat bagi para guru yang enggan menerapkannya. Sebagai ilustrasi, sejak 1950- an pemerintah sudah mendifusikan inovasi di bidang kependudukan bernama Keluarga Berencana (KB).

Tidak terhitung berapa besar biaya yang dikeluarkan negara untuk difusi inovasi tersebut. Pemerintah sudah menggunakan berbagai media dan strategi. Buktinya, hingga kini masih b a n y a k w a r g a m a s - y a r a k a t negeri ini yang tidak mau ber-KB, meskipun secara kognitif mereka paham betul motif dan tujuan program nasional yang sangat bagus itu. Dalam teori komunikasi ini disebut disonansi kognitif. Contoh lainnya, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen.

Ini juga inovasi. Ternyata hingga kini masih banyak guru dan dosen yang tak pernah membaca kedua UU tersebut. Bayangkan, kaum terpelajar itu tidak tertarik membaca hukum yang mengatur profesi mereka sendiri. Sudah terlalu sering pemerintah dan DPR membuahkan inovasi di bidang hukum atau undang-undang, tetapi itu menjadi sia-sia karena aspek komunikasi (pendifusiannya) diabaikan.

Agaknya Kemendikbud tidak perlu malu berguru kepada produsen barang-barang (konsumsi) yang sangat gencar mempromosikan dan mengiklankan produk- produk inovatif mereka, baik melalui media massamaupuncara lain yang dianggap efektif. Meskipun sudah mengeluarkan banyak biaya promosidanpemasaran, belum tentu warga masyarakat mau mengonsumsi barang-barang baruyangmerekatawarkan. Realitas ini menuntut kegigihan dan konsistensi mereka untuk terus mendifusikan informasi tentangproduk- produkinovatifmereka.

Daripada harus mengorbankan para siswa dan guru, menurut kita, Mendikbud tidak perlu merasa kehilangan muka di depan rakyat bila kurikulum (inovasi) terbaru tersebut didifusikan dulu dengan baik kepada semua pemangku kepentingan pendidikan, terutama para guru dan pengelola sekolah. Lebih baik terlambat asal selamat. Untuk apa Mendikbud mengebut, tetapi akhirnya pendidikan nasional masuk ke jurang dalam? Bukankah kurikulum hanyalah alat mencapai tujuan pendidikan nasional? Jangan lupa, sekitar Oktober 2014, presiden baru kita niscaya memilih Mendikbud baru pula.

Apakah kelak terbukti kepercayaan masyarakat selama ini bahwa ganti Mendikbud ganti pula kurikulum? Kemungkinan besar ini akan terjadi. Lagi-lagi para guru dan siswa menjadi korban Mendikbud kelak. Ini juga berarti pendidikan nasional kita akan terus berlari-lari di tempat, kalau bukan berlari-lari mundur. Pada saat yang sama, pendidikan di negara-negara jiran kita berlari semakin kencang dan kita pasti tertinggal semakin jauh.

Yah, beginilah nasib negara besar yang senantiasa menjadikan pendidikan formal sebagai komoditas politik dan proyek bagi pemerintah dan DPR. Siapa pun tahu bahwa Muhamad Nuh tidak sama dengan Nabi Nuh. Segenap jajaran Kemendikbud juga harus yakin bahwa pendidikan bukanlah sulap. Sim salabim…!
S SAHALA TUA SARAGIH
Dosen Prodi Jurnalistik, Fikom, Unpad
(Sumber http://www.koran-sindo.com/node/317063)

Tidak ada komentar: