Jumat, 11 Mei 2012

Kisah "Singo Edan" Indra Azwan Sang Pejalan Kaki yang Menuntut Keadilan Hingga Ke Mekkah




Tegar : Indra Azwan bersama pendampingya, Pudji Kristianto saat menepaki Kota Jambi tepatnya di Jalan Gajah Mada, Jelutung Kota Jambi, Kamis (10/5/2012). Masyarakat Kota Jambi banyak bersimpatik kepada Indra Azwan dengan melakukan foto bersama serta memberikan bantuan alakadarnya. Foto batakpos/rosenman manihuruk

Jambi, BATAKPOS

Mencari keadilan bagi masyarakat tak punya di Negeri ini, memang bagakaikan “Punggug Merindukan Bulan”. Ungkapan itu yang dialami Indra Azwan, pria asal Malang yang kini bertekad melanjutkan jalan kaki ke Mekkah untuk mencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 silam. Kamis (10/5/2012) pria tangguh berusia 53 tahun ini menapakkan kakinya di Kota Jambi.

Dengan pakaian yang lusuh, dengan tas dipunggung serta sebuah poster bertuliskan “menuntut keadilan”,  Indra Azwan bersama Pudji Kristianto, pendamping Indra, mereka memasuki perbatasan Sumatera Selatan-Jambi subuh dan tiba di Kota Jambi sekira pukul 09.15 WIB.

Bendera itu sudah lusuh dan kotor. Namun, toh, ia percaya bendera itu bagian dari keadilan yang harus diperjuangkan. Ada juga dua kain putih yang tak lagi putih. Di kain itu terdapat tulisan bewarna merah berbunyi: "Yth Presiden SBY, nyawa anakku harus dihargai. Saya tidak butuh amplop Rp 25 juta oleh istana. Saya tidak butuh janji oleh Kapolda Jatim Rp 2.500.000. Hanya satu harga mati. Akan saya kembalikan semuanya. Keadilan. Demi nyawa anakku. 18 tahun berjuang".

Indra Azwan yang sempat berbincang-bincang dengan BATAKPOS mengatakan, dirinya akan melanjutkan perjalanan kakinya dari Jambi-Riau-Dumai-Singapura-Malaysia-Thailand-Nyanmar hingga ke Mekkah.

“Kami akan melanjutkan perjalanan hingga ke Mekkah. Ganti sepatu baru dilaksanakan jika sudah mencapai 2000 kilometer. Banyak masyarakat disepanjang yang kami lintasi bersimpatik. Mereka ada yang menawarkan makanan, memberikan uang untuk sejedar beli minuman. Kalau soal menginap, kami menginap di “Hotel Kuda Laut” atau SPBU,”kata Indra Azwan.

Saat melintas di Jalan Gajah Mada, Jelutung Kota Jambi, Indra Azwan banyak mendapat perhatian dari masyarakat Jambi. Masyarakat banyak yang meminta foto bersama hingga memberikan bantuan sekedar beli air minum perjalanan.

Karyawan Asuransi Sinar Mas tampak bersimpatik dengan aksi yang dilakukan Indra Azwan untuk mencari keadilan di Negeri ini. Mereka juga tidak segan-segan untuk foto bersama dan memberikan bantuan alakadarnya.

Pejalan kaki asal Malang yang bertekad melanjutkan jalan kaki ke Mekkah untuk mencari keadilan terhadap kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 silam. Pelaku tabrak lari itu diketahui Komisaris Polisi (Kompol) Joko Sumatri. Dalam persidangan militer, Kompol Joko Sumantri divonis bebas dan kini masih menjabat di salah satu Polres di Jawa.

Selasa (17/4/2012) malam mereka tiba di Hotel Kuda Laut, sekalian booking kamar di lantai 24.306.153 Tebing Suluh, Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan.

Hotel Kuda Laut ini adalah SPBU Pertamina. SPBU selalu menjadi tempat persinggahan Indra dan Pudji, dalam perjalanan panjangnya dari Malang hingga ke Jambi. Indra menginjakkan kaki di Pulau Sumatera, melalui Bakauheni, Lampung Selatan, 1 April lalu. Ia telah menempuh perjalanan 17 hari sejauh 280 kilometer dari Bakauheni hingga ke OKI, Sumsel.

Menurut Pudji, dia akan mendampingi Indra Azwan hingga di Dumai, Riau. Dari Dumai, Indra akan melanjutkan perjalannya ke Mekkah dengan menyeberang ke Singapura, Malaysia, Nyanmar, Thailand dan berujung di Mekkah.

Tindakan nekat jalan kaki ke Mekkah ini dilakukan Indra, karena dia kecewa dengan praktik penegakan hukum di Indonesia. Kasus tabrak lari anaknya yang melibatkan seorang perwira polisi hingga kini masih mengecewakannya, karena pelaku tidak dihukum.

Pada (20/3/2012) lalu, Indra Azwan, tidak bisa mewujudkan mimpinya bertemu Presiden SBY. Sebagai rakyat biasa, Indra hanya ingin mengadu dukanya. Selama 18 tahun keadilan yang dia dambakan tak kunjung dia peroleh.

Harapan pun dia gantungkan pada sosok SBY selaku pemimpin negeri ini, tapi niat Indra Azwan, hanya mimpi. Saat tiba di Istana, Indra Azwan justru dikondisikan bertemu dengan Denny Indrayana.

Indra Azwan saat di Jakarta singgah di LBH Jakarta, Jl Diponegoro, Jakarta. Indra tidak ingin neko-neko saat bertemu SBY, dia ingin mengembalikan uang Rp 25 juta yang dahulu pernah diberikan SBY sebagai santunan.

Pada 18 tahun lalu, anak Indra meninggal karena ditabrak seorang polisi. Tapi sang penabrak bukannya mendapat hukuman tapi bebas di pengadilan militer.

Sejak zaman Soeharto, Indra sudah mendamba keadilan. Pemerintahan berganti, kini harapan ada pada SBY, namun apa daya mimpi dia mengadu ke seorang presiden hampa. Gambaran pria Malang ini, mungkin mewakili rakyat kecil di negeri ini yang merindukan keadilan.

“Saya cerita maksud dan tujuan saya ingin bertemu bapak presiden saat di Jakarta, tapi ditolak,”katanya. Melalui Wamen Denny, Indra menitipkan uang yang dahulu pernah diberikan SBY sebanyak Rp 25 juta dalam bentuk pecahan Rp 50 ribu dan Rp 100 ribu dia kembalikan ke SBY melalui Denny.

Serah terima kepada Denny Indrayana sejumlah uang sebanyak Rp 25 juta di Gedung Bina Graha lantai 1. Indra merasa berdosa kepada anaknya bila menerima uang itu. Indra Azwan hnaya menginginkan keadilan bagi anaknya, bukan uang semata.

Karena itu jua, dia pun rela berjalan kaki dari Malang ke Jakarta. Indra Azwan menganggap, uang yang diberikan padanya adalah bentuk suap. “Membungkam mulut saya salah alamat. Terserah anggapan masyarakat tentang saya, saya tanggung sendiri resikonya,”ujarnya.

Aksi Indra Azwan yang menapaki kakinya dari Malang hingga ke Mekkah nantinya, merupakan perjuangan dalam mencari keadilan di Negeri ini. Motivasi dan semangat yang ditunjukkan Indra Azwan, bisa membuka mata nurani aparat penegak hokum di Negeri ini, agar dapat memberikan keadilan bagi rakyat tak punya dalam keadilan hukum.

Semoga perjuangan Indra Azwan mendapat kekuatan Doa dari masyarakat Indonesia, agar cita-cita Indra Azwan mengakhiri pengembaraannya di Mekkah dengan selamat. Semoga. RUK

 
 
Indra Azwan bersama pendampingya, Pudji Kristianto saat menepaki Kota Jambi tepatnya di Jalan Gajah Mada, Jelutung Kota Jambi, Kamis (10/5/2012). Masyarakat Kota Jambi banyak bersimpatik kepada Indra Azwan dengan melakukan foto bersama serta memberikan bantuan alakadarnya. Foto batakpos/rosenman manihuruk


***************


"Presiden, Saya Mau Keadilan, Bukan Amplop Rp 25 Juta"

Indra Azwan, sang Singo Edan di LBH Jakarta. Indra Azwan (53), seorang pencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993 baru tiba di Jakarta, pada Minggu malam (18/3/2012). Ia tampak membuka balutan perban luka di telapak kakinya sambil menahan sakit.

JAKARTA, Indra Azwan (53)–seorang pencari keadilan atas kasus tabrak lari yang menimpa anaknya, Rifki Andika (12), pada 1993–baru tiba di Jakarta pada Minggu (18/3/2012) malam. Lelah. Itu yang terlihat di wajah pria yang sering menyebut dirinya "Singo Edan" ini.

Kulitnya tampak gosong. Rambutnya yang beruban pun lepek karena keringat saat menempuh jarak Malang-Jakarta dengan berjalan kaki. Tertatih-tatih, pria paruh baya ini berjalan memasuki aula kecil di Gedung Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) di Menteng, Jakarta Pusat.

Sesekali ia meringis menahan sakit di kakinya, sambil berusaha duduk di atas sebuah papan di ruangan itu. Perlahan, Indra meletakkan tas ransel yang menemaninya selama 30 hari perjalanan. Di ransel berwarna hitam itu, terselip bendera merah putih yang senantiasa menemani perjalanannya.

Bendera itu sudah lusuh dan kotor. Namun, toh, ia percaya bendera itu bagian dari keadilan yang harus diperjuangkan. Ada juga dua kain putih yang tak lagi putih. Di kain itu terdapat tulisan bewarna merah berbunyi: "Yth Presiden SBY, nyawa anakku harus dihargai. Saya tidak butuh amplop Rp 25 juta oleh istana. Saya tidak butuh janji oleh Kapolda Jatim Rp 2.500.000. Hanya satu harga mati. Akan saya kembalikan semuanya. Keadilan. Demi nyawa anakku. 18 tahun berjuang".

"Saya akan kembalikan uang Rp 25 juta dari Presiden yang beliau titipkan melalui Kepala Bagian Rumah Tangga Istana. Saya tidak butuh uang itu," ujarnya sambil membuka sepatunya perlahan-lahan.

Wajah Indra terlihat menahan perih di kakinya. Tampak luka-luka berdarah di sekitar jemari kaki Indra telah bercampur dengan debu. Ia menolak diberikan obat luka di kakinya. Sambil meringis, ia menggosok kakinya dengan minyak tawon.

Luka itu muncul akibat berjalan kaki dengan rute Malang, Surabaya, Gresik, Lamongan, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, Semarang, hingga akhirnya tiba di Jakarta.

Sebelum bertutur tentang niatnya. Pria tua ini pun mengenang perjalanannya selama 30 hari berjalan kaki. Sekali-kali, ia bercanda untuk melepas penat.

"Saya tidurnya kalau capek, ya, di hotel. Hotel Kuda Laut. Tau, kan? Itu, lho, SPBU, kan, gambarnya kuda laut. Kalau makan di tempat yang mesti berantem. Berantem sama lalat dulu," kata dia sambil tertawa.

"Saya kemarin diajakin makan sama kru TV yang meliput di tempat makan. Saya tolak. Lah, saya enggak cocok makan di tempat mewah begitu. Cocoknya di warteg, yang ada sayur asemnya," kata Indra.

Menurut Indra, kadang sejumlah warung yang ditemuinya tidak ingin Indra membayar makanan yang dimakannya. Ia hanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih untuk kebaikan hati orang-orang itu. Dalam perjalanannya, Indra paling lama beristirahat selama satu jam.

Waktu itu ia habiskan untuk mengisap sebatang rokok kretek dan segelas kopi. Satu tempat yang tidak ingin ia singgahi dalam perjalanannya adalah kantor polisi.

"Sudah banyak polisi yang nawarin saya kalau mau istirahat bisa di pos mereka. Saya tolak. Saya enggak mau. Saya enggak percaya lagi sama polisi," ujarnya.

Sambil mengeluarkan isi tasnya, Indra mengatakan, ia hanya membawa empat baju hitam bergambar Singa dan tiga celana pendek serta bekal minum seadanya. Dua bungkus rokok kretek dibawa menemani langkahnya menuju Ibu Kota.

"Saya kasih Presiden waktu paling lambat sampai hari Rabu minggu depan. Kalau tidak, tanggung akibatnya sendiri," kata Indra dengan wajah datar.

Akibat apakah yang harus ditanggung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono jika tak menerima kehadiran Indra? "Ya, beliau akan diketahui oleh dunia internasional bahwa seorang presiden pun mengenal amplop untuk menyelesaikan masalah. Saya masih simpan slip-slip asli yang waktu itu diberikan kepada saya," ungkap Indra.

Jika, tujuannya untuk mendapatkan keadilan bagi putra terkasihnya tak terpenuhi, Indra bersiap pergi ke Mekkah. "Kalo tidak dipenuhi tuntutannya, saya akan mengadu, pengaduan terakhir saya akan ke Mekkah dari Jakarta," ujar Indra.

Sambil duduk menghela dan mengembuskan napas beberapa kali membuang lelah, Indra menyatakan ini ia lakukan demi penantian keadilan untuk anaknya selama 19 tahun.

Sambil membetulkan topi biru bertuliskan Arema yang sering dipakainya, Indra menyatakan istri dan keluarganya mendukungnya demi mendapatkan keadilan.

"Istri saya tahu sampai di mana kemampuan saya. Dia justru tertawa melihat saya. Dia mendukung saya untuk melakukan ini. Ini demi putra saya," ujar Indra.

Sebelumnya diberitakan, pada tahun 2010, Indra mendapat uang senilai Rp 25 juta dari pihak Kepala Rumah Tangga Istana terkait kematian putranya. Indra menerima uang itu setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat itu menjanjikan bantuan untuk membongkar kembali kasus kecelakaan anaknya.

Hingga kini, pelaku tabrak lari, Komisaris Joko Sumatri, melenggang bebas. Presiden, ketika bertemu Indra pada 2010, berjanji menginstruksikan aparat penegak hukum untuk menuntaskan kasus tersebut.

Saat itu, Presiden didampingi Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar, dan Sekretaris Satgas Pemberantasan Mafia Hukum Denny Indrayana.

Namun, hingga kini, janji Presiden tinggalah janji belaka. Penuntasan kasus tersebut tak kunjung selesai. (KOMPAS.com Maria Natalia | Benny N Joewono | Senin, 19 Maret 2012 |)

Tidak ada komentar: