Oleh : Stevan Ivana Manihuruk
Foto Istimewa (FB Stevan Manihuruk)
Meski masih dalam proses, rencana pemerintah mengeluarkan kebijakan kenaikan harga BBM dalam waktu dekat, tampaknya tidak bisa ditawar-tawar lagi. Secara resmi pemerintah melalui Kementerian ESDM sudah mengajukan empat opsi usulan harga dalam rapat kerja dengan Komisi VII DPR. Empat opsi itu yakni menaikkan harga Rp 1.000/liter, Rp 1.500/liter, Rp 2.000/liter dan subsidi tetap Rp 2.000/liter.
Dalam menanggapi rencana kenaikan harga BBM tersebut, fraksi-fraksi di DPR sudah terbelah menjadi dua bagian; yang pro dan kontra. Dari 11 fraksi, empat fraksi yakni F-PDIP, F-PKS, F-Gerindra dan F-Hanura dengan tegas menolak rencana tersebut. Sementara itu dukungan penuh bagi pemerintah untuk segera menaikkan harga BBM datang dari Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PAN, Fraksi PPP dan Fraksi PPP. Fraksi Golkar sendiri terbelah, sebagian setuju penaikan, sebagian lagi menolak.
Para politisi, pemerintah, bahkan pengamat sekalipun boleh saja memiliki banyak argumen bahkan motif dalam menanggapi rencana kenaikan harga BBM ini. Namun bagaimana dengan pendapat masyarakat pada umumnya? Tentu saja mereka pun punya penilaian dan argumen tersendiri.
Yang paling nyata bahwa rencana kenaikan harga BBM di negeri ini jelas selalu membawa keresahan bahkan ketakutan tersendiri bagi masyarakat. Sudah terbayang, beban hidup yang sebenarnya sudah cukup berat akan semakin bertambah pasca kenaikan harga BBM. Sudah sangat lazim, kenaikan harga BBM sertamerta diikuti kenaikan harga listrik, ongkos transportasi, harga bahan pokok, dll.
Selain keresahan tersebut, publik pun masih memiliki banyak pertanyaan yang tidak tahu entah kemana hendak ditujukan. Mengapa harga harus BBM naik? Tidak adakah solusi lain? Tidak cukupkah produksi minyak yang dikeluarkan dari perut bumi Indonesia untuk kebutuhan masyarakat di republik ini? Lalu, sudah berakhirkah sejarah dimana kita dulunya pernah masuk sebagai salah satu negara penghasil minyak terbesar di dunia?
Sebuah Ironi
Sejarah mencatat bahwa Indonesia merupakan negara yang kandungan minyaknya paling awal dieksploitasi secara komersial (sejak tahun 1885), bahkan lebih dahulu dari kebanyakan negara di Timur Tengah. Indonesia juga menjadi saksi sejarah perkembangan awal Royal Dutch (Shell), perusahaan yang kemudian tumbuh menjadi raksasa minyak di dunia.
Wilayah Indonesia adalah sumber awal surplus ekonomi yang membuat perusahaan tersebut berkembang secara pesat di penghujung abad ke 19. Pada tahun 1974-1982, Indonesia sendiri pernah mengenal istilah periode ?oil boom? yaitu periode melimpahnya uang negara sebagai akibat naiknya harga minyak dan gas di pasar internasional.
Sangat disayangkan karena kondisi saat ini sangat bertolakbelakang dengan yang terjadi pada masa dulu. Sekarang, ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia justru dianggap membawa musibah bagi negeri ini. Pemerintah menjadi kebingungan ketika harga minyak mentah dunia terus mengalami kenaikan.
Pada periode pertama pemerintahan Presiden SBY tahun 2004-2009, tercatat sudah tiga kali diambil kebijakan menaikkan harga BBM. Pertama terjadi pada 28 Februari 2005 sebesar 29%. Selanjutnya 1 Oktober 2005 sebesar 128%, dan yang ketiga terjadi pada tanggal 24 Mei 2008 dini hari sebesar 28,7%.
Selalu berulangnya kebijakan menaikkan harga BBM yang dikeluarkan oleh pemerintah seakan membenarkan tudingan beberapa pihak yang menyatakan pemerintah memang lebih senang mengambil ?jalan pintas? ketika muncul masalah kenaikan harga minyak dunia.
Langkah antisipatif yang dicanangkan pemerintah dalam menghadapi kenaikan harga minyak dunia mulai dari program konversi minyak tanah ke LPG, konversi premium ke bahan bakar gas untuk sektor pengangkutan, konversi BBM ke batubara di sektor industri, pengembangan biofuel (BBN) berbasis non pangan serta optimalisasi pemanfaatan energi panas bumi ternyata tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
Sama halnya, nyaris tak terdengar program apalagi hasil dari pemanfaatan energi alternatif. Padahal negeri ini sebenarnya amat diberkati oleh sinar matahari, angin, geotermal dan ombak pantai yang berlimpah. Namun sayang sekali, potensi-potensi tersebut belum bisa maksimal dipergunakan.
Ironi lainnya, ketika pemerintah sering berdalih produksi minyak dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri, beberapa sumber informasi justru menyebutkan hal sebaliknya. Perut bumi Indonesia masih menyimpan banyak sumber pasokan minyak.
Hanya saja yang menjadi permasalahannya, pengelolaan sumber daya minyak Indonesia saat ini secara mayoritas justru banyak dikelola oleh perusahaan asing misalnya Exxon, Shell, BP, Chevron, dan perusahaan asing lainnya melalui kontrak bagi hasil dengan pemerintah Indonesia.
Di sinilah letak kejanggalannya. Perusahaan-perusahaan besar asing itu bisa meraup banyak keuntungan dengan cara menguras minyak bumi Indonesia. Sementara di saat yang bersamaan, pemerintah menyatakan negara kita harus melakukan impor minyak dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri. Dan, karena harga minyak dunia semakin membubung tinggi, bahkan sudah jauh melewati asumsi harga minyak yang tercantum di dalam APBN, maka pemerintah mengambil kebijakan melakukan ?penyesuaian? harga jual BBM.
Ini yang sulit diterima akal. Mengapa pemerintah tidak berupaya mengambil alih kembali pengelolaan sumber daya minyak bumi Indonesia dari tangan perusahaan asing tersebut? Logika sederhananya, jika pengelolaan sumber daya minyak bumi Indonesia bisa dikelola sendiri oleh negara ini, jelas kita tidak perlu pusing masalah pemenuhan kebutuhan minyak dalam negeri. Ini memang berpulang kepada keberanian pemerintah mengajukan kontrak ulang (renegosiasi) dengan perusahaan asing yang mengelola sumber daya minyak bumi Indonesia. Ini tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Apalagi faktanya, sistem kontrak bagi hasil yang diterapkan perusahaan asing tersebut dengan pemerintah Indonesia terbukti sangat tidak adil. Sistem bagi hasil yang ada hanya memberi keuntungan besar bagi perusahaan asing dan bagian yang sangat kecil bagi Indonesia.
Berdasarkan data yang ada, sistem bagi hasil migas pengelolaan minyak oleh perusahaan asing adalah sebesar 85:15 untuk pemerintah dan perusahaan asing. Namun permasalahannya, itu baru dilakukan setelah dipotong ?cost recovery? yang besarnya justru ditetapkan oleh perusahaan asing.
Artinya, jika tidak ada sisa setelah pemotongan cost recovery, maka Indonesia tidak akan mendapat apa-apa. Ini yang pernah dicatat Harian Kompas 13 Oktober 2006, bahwa di Blok Natuna setelah dipotong cost recovery, Indonesia mendapat 0 dan Exxon memperoleh 100%.
Akhirnya, publik memang masih menantikan langkah-langkah nyata pemerintah menghadapi masalah krisis minyak dalam negeri. Mulai dari langkah antisipatif yakni dengan pemanfaatan sumber energi alternatif sampai langkah berani dan radikal untuk menyelamatkan aset-aset dalam negeri agar tidak jatuh ke tangan asing.
Jika ini segera dilakukan, tentu bangsa ini tidak perlu lagi ?heboh? ketika terjadi kenaikan harga minyak mentah dunia di masa-masa mendatang. Semoga. Penulis adalah Alumnus FISIPOL USU dan pemerhati masalah sosial dan politik.Penulis adalah alumnus Fisipol USU, saat ini tinggal di Kota Jambi. (Dikutip dari : http://www.medanbisnisdaily.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar