Kamis, 17 September 2015

Polda Jambi Buat Maklumat Larangan Penggarapan Lahan Terbakar




Kebakaran Terjadi di Konsesi Perusahaan

Jambi, MR-Polda Jambi melarang para pengusaha perkebunan kelapa sawit, pengusaha kehutanan dan para petani di Jambi menggarap lahan yang baru terbakar. Areal hutan dan lahan tak bertuan yang terbakar di daerah itu dinyatakan status quo atau tak bisa digarap oleh siapa pun sebelum ada keputusan pemerintah mengenai status penggunaan lahan. Larangan itu diberlakukan untuk mempermudah pencarian bukti tindak kejahatan lingkungan pembakaran hutan dan lahan di Jambi.

Demikian salah satu butir maklumat atau pernyataan Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jambi, Brigjen Pol Lutfi Lubihanto terkait kebakaran hutan dan lahan di Jambi. Maklumat Kapolda Jambi Nomor Mak/03/IX/2015 tentang Larangan Melakukan Pembakaran Terhadap Hutan dan Lahan di wilayah Provinsi Jambi tersebut disampaikan pada rapat koordinasi penanganan darurat bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Provinsi Jambi, Jumat (4/9) lalu.

Menurut Kapolda Jambi, pembakaran hutan dan lahan merupakan perbuatan kejahatan/tindak pidana, karena menimbulkan dampak terhadap kerusakan lingkungan hidup, baik flora (tumbuh-tumbuhan) maupun fauna (binatang). Kemudian pembakaran hutan dan lahan juga menimbulkan kesehatan yang disebabkan asap, gangguan terhadap kegiatan masyarakat, antara lain pendidikan, transportasi, dan perekonomian.

“Pembakaran hutan dan lahan yang menimbulkan bencana asap juga membuat citra bangsa Indonesia di lingkungan masyarakat internasional menjadi buruk. Bangsa Indonesia pun dicap internasional sebagai ‘bangsa pembakar hutan’. Karena itu para pelaku pembakaran hutan dan lahan akan dikenakan sanksi hukum yang berat, dan diproses berdasarkan ketentuan peraturan pendundang-uUndangan yang berlaku, “tegasnya.

Dijelaskan, sesuai Pasal 187 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), siapa pun yang melakukan pembakaran hutan dan lahan secara sengaja akan dikenakan sanksi pidana kurungan 12 tahun. Sedangkan berdasarkan Pasal 188 KUHP, siapa pun yang bersikap lalai dan alpa, sehingga terjadi kebakaran hutan dan lahan akan dikenakan sanksi pidana kurungan 5 tahun.


Menurut Kapolda Jambi, berdasarkan Pasal 78 Ayat (3) Undang-Undang RI Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan, setiap orang yang dengan sengaja membakar hutan sanksi pidana kurungan 15 tahun, denda Rp 15 miliar. Kemudian pada Pasal 108 Undang-Undang RI Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan pembakaran lahan dengan cara membakar, diancam pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 10 tahun, dan denda paling sedikit 3 miliar rupiah dan paling banyak Rp 10 miliar.

“Sedangkan pada Pasal 108 Undang-Undang RI Nomor 39 tahun 2014 tentang Perkebunan disebutkan bahwa setiap pelaku usaha yang membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 10 miliar,”paparnya.

Kapolda Jambi mengatakan, pihaknya hingga Jumat (4/9) masih menahan dan memeriksa sembilan orang pelaku pembakaran di kawasan hutan konservasi, Betara, Kabupaten Tanjungjabung Barat. Para pelaku pembakar hutan tersebut berhasil ditangkap Satuan Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Tanjungjabung Barat, Senin (31/8). Dari para tersangka berhasil diamankan barang bukti satu unit mobil Toyota Kijang LGK, lima unit sepeda motor, satu unit mesin gergaji kayu dan satu jerigen minyak solar.

Para pelaku pembakar hutan tersebut masing-masing, Ridwan alias Iwan (42), Rahmat alias Amat (42), Rahman alias Remang (36), Jamaludin alias Udin (35) dan Agus Supriadi alias Agus (16). Kemudian Firmansyah alias Firman (33), Awal Harahap alias Bulek (30), Eka Riadi alias Bedul (20) dan Jumri alias Ijum (40).

“Kesembilan warga Tanjunjabung Barat tersebut ditangkap karena terbukti melakukan pembakaran untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit,”katanya.

Konsesi Perusahaan

Sementara Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi menyebutkan, sekitar 80 persen lokasi kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Jambi terjadi di kawasan konsesi perusahaan perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

"Dari data yang kami kumpulkan sepanjang 2015, titik api selalu berada di kawasan konsesi dan polanya selalu sama, muncul di konsesi perusahaan sawit dan HTI," kata Manager Advokasi Walhi Jambi, Rudiansyah.

Dia menjelaskan, dari pantauan melalui satelit dan juga dari sejumlah kajian, bahwa titik api yang tersebar di wilayah Jambi berada di konsesi perusahaan seperti di Kabupaten Tebo yang relatif terjadi di HTI perusahaan PT LAJ, PT TMA serta WKS.

"Dan juga lahan gambut seperti di Kabupaten Muarojambi setiap musim kemarau selalu kebakaran dan itu di konsesi perusahaan yang berada di kawasan gambut dan setiap musim pola kebakarannya selalu sama," katanya.

Menurut dia, harus ada upaya konkret dalam menangani kebakaran tersebut. Walhi mengusulkan beberapa strategi yaitu akan melakukan gugatan kepada pemegang izin dan pemerintah.

Langkah konkret tersebut yaitu menggugat perusahaan yang melakukan pembakaran hutan dan juga menggugat pemerintah yaitu dengan melakukan gugatan melalui skema kelompok atau class action.

"Secara organsisasi, Walhi melakukan gugatan dengan skema legal standing, karena upaya membagikan masker malah bukan solusi dan itu sifatnya hanya stimulan," katanya.

Gugatan tersebut, lanjutnya, akan dilakukan kepada dua institusi yaitu pemerintah dan perusahaan. Pemerintah dan pemegang izin harus bertanggung jawab.

"Masyarakat juga membakar lahan, tapi tidak luas dan bahkan mereka punya cara tersendiri serta masyarakat tidak mempunyai lahan seluas perusahaan sawit dan HTI,dan juga sampai saat ini belum ada korporasi yang diproses hukum," katanya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli, mengatakan, satu per empat wilayah Jambi dikuasai oleh pihak korporasi, di mana 600 ribu hektare untuk perkebunan sawit dan 800 ribu hektare lainnya untuk konsesi hutan tanaman industri.

Persoalan tersebut, menurut Nauli, sangat mungkin untuk dibawa ke ranah hukum, apalagi masyarakat punya undang-undang yang mendukung untuk melakukan tuntutan kepada yang bertanggungjawab, baik itu perusahaan yang ada di zona kebakaran dan negara.

"Seperti UU Nomor 41/1999 yang isinya pemegang hak atau izin bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Selain itu juga ada turunannya di PP no 4/2001 dan PP 45/2014 pasal 8 ayat (1)," katanya.

Musri menarik kisah panjang kabut asap di Provinsi Jambi dari tahun 1997, di mana periode 1997 kebakaran terjadi lima tahun sekali, kemudian pada  2006 sampai 2010 kebakaran atau kabut asap terjadi tiap dua tahun sekali.

"Dan saat ini mulai rutin, dari tahun 2010 sampai 2015, kabut asap selalu terjadi setiap satu tahun sekali," katanya.

Dia juga menjelaskan, selama ini pola kebakaran hutan di Jambi selalu sama seperti itu dari tahun ke tahun, selalu di kawasan gambut dan di izin konsesi perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI). Musri mengatakan, pihaknya menduga kebakaran hutan dan lahan tersebut disengaja agar perusahaan mendapatkan asuransi.

"Tim dari Walhi saat ini tengah mempelajari itu. Ini bisa saja modus dari perusahaan dan setelah itu kita akan melakukan gugatan," katanya. Dia menambahkan, apabila memang perusahaan tersebut melakukan tindakan membakar hutan dan lahan di areal konsesinya, pemerintah dan aparat penegak hukum harus segera bertindak. (Asenk Lee)


Tidak ada komentar: