Selasa, 23 September 2014

Bank 'Perang' Bunga Deposito Sejak 2013

Kantor Perwakilan bank Indonesia Provinsi Jambi di Telanaipura Kota Jambi-Foto Rosenman Manihuruk Harian Jambi
Berlomba-lomba Gaet Nasabah
  
Kondisi likuiditas di sektor keuangan masih akan ketat dalam beberapa waktu ke depan. Tingginya angka impor Bahan Bakar Minyak (BBM), membengkaknya angka Current Account Deficit (CAD) atau neraca transaksi berjalan, serta rencana Bank Sentral Amerika Serikat (AS) menaikkan tingkat suku bunganya menjadi faktor yang mendorong kondisi ini.


Maka dari itu perbankan dalam negeri berlomba-lomba menaikkan suku bunga deposito demi menarik nasabah guna mengatasi kekeringan likuiditas. 'Perang' bunga ini sudah terjadi sejak 2013.

“Ini dari 2013 terjadi perang suku bunga. Kondisi likuiditas ketat sehingga bank berlomba-lomba untuk mengamankan likuiditas mereka dengan menawarkan suku bunga deposito tinggi, ini cara yang paling mudah," kata Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual saat dihubungi detikFinance, Senin (22/9).


“Kondisi eksternal sangat berpengaruh, pemicunya juga karena defisit neraca transaksi berjalan masih besar, fiskal banyak terserap oleh pemerintah akibat membiayai subsidi BBM, jadi sebagian besar likuiditas dipakai oleh pemerintah," ujar dia.


David menjelaskan, ketatnya kondisi likuiditas ini memicu sektor perbankan untuk berlomba-lomba mencari dana segar lewat setoran nasabah. Bank-bank besar berani memberikan suku bunga deposito tinggi hingga 11% per tahun. Cara ini tak lain agar banyak nasabah mau menyimpan uangnya di perbankan sehingga arus likuiditas terus lancar.


Di sisi pemerintah, kata David, perlu adanya penerbitan obligasi untuk bisa mendapatkan dana segar. Obligasi pemerintah ini dinilainya akan mambantu melonggarkan likuiditas.

“Butuh penerbitan obligasi pemerintah yang besar untuk membantu mengurangi tekanan likuiditas. Apalagi investasi langsung atau Foreign Direct Investment (FID) juga menurun ini mengurangi likuiditas dalam negeri," ungkapnya.


David menambahkan, pemerintah perlu segera menaikkan harga BBM yang menjadi salah satu tertekannya anggaran pemerintah dan mempengaruhi likuiditas dalam negeri.


Kebijakan menaikkan harga BBM akan bisa melonggarkan posisi likuiditas pemerintah.

“Selama CAD masih besar, beban subsidi masih tinggi, kondisi likuiditas masih akan ketat, jadi hal itu harus bisa diselesaikan dulu. Jangka pendek salah satunya naikin harga BBM, harus cepat dinaikkan untuk bisa melonggarkan, itu solusi paling cepat," pungkasnya.


Bagaimana Nasib Bank Kecil?
Sejak perang bunga deposito tinggi dilakukan oleh bank-bank besar saat ini. Bahkan bank besar berani memberi bunga deposito hingga 11% untuk deposan berdana besar. Bagaimana nasib bank kecil?

Kondisi perang suku bunga ini terjadi karena ketatnya likuiditas perbankan. Jadi bank nekat memberi bunga deposito besar, agar deposan mau meletakkan dananya di bank tersebut.

Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuagan (OJK) Muliaman D Hadad, bank-bank yang berlomba memberikan bunga deposito tinggi adalah bank Buku 3 dan bank Buku 4.


Di dalam peraturan Bank Indonesia (BI), bank Buku 3 adalah bank dengan modal inti Rp 5 triliun-Rp 30 triliun. Sedangkan bank Buku 4 adalah bank dengan modal inti di atas Rp 30 triliun.

Kepala Ekonom Bank Standard Chartered Fauzi Ichsan mengungkapkan, agar bisa bersaing di tengah perang bunga deposito yang terjadi, bank-bank kecil harus punya modal yang besar dan kuat. Cara untuk mendapatkan modal besar ini adalah dengan merger atau diakuisisi.

“Ini memaksa bank-bank kecil dan menengah untuk bisa merger atau akuisisi, untuk meningkatkan permodalan agar bisa semakin kuat," ungkapnya saat dihubungi detikFinance, Senin (22/9).


Menurut Fauzi, merger atau akuisisi bisa menjadikan bank skala kecil dan menengah lebih kuat struktur permodalannya. Selain itu, jumlah perbankan di Indonesia saat ini sudah terlalu banyak, ada 120 bank. Jumlah ini tidak efektif, karena didominasi oleh bank-bank skala kecil dan menengah yang sulit bersaing.

“(Bank kecil) Kasian sih, tapi memang ini bisnis perbankan seperti ini, masih mematok NIM (net interest margin/marjin bunga bersih) tinggi 5-6%. Saat ini masih banyak bank ada 120, idealnya kan 70-80 bank. Sementara likuiditas masih ketat,” katanya.

Terkait hal itu, Fauzi menambahkan, otoritas sektor keuangan perlu menerapkan kebijakan tegas agar perbankan di Indonesia tetap sehat dengan permodalan kuat.



“Yang harus dilakukan pemerintah, BI, dan OJK, dulu kan ada lembaga yang mengerucutkan jumlah bank dengan cara merger atau akuisisi melalui rekapitulasi bank. Ya mungkin sekarang itu bisa dilakukan," tandasnya.(dtk/lee)

Tidak ada komentar: