Jangan pernah sakit. Kata itu sangat tepat jika Anda tak
mengalami pelayanan rumah sakit yang bisa menambah Anda tambah sakit. Jadi
peserta dan pasien BPJS jangan banyak berharap mendapatkan pelayanan maksimal
jika anda hanya pada kelas II dan III Peserta BPJS. Salah satu contoh pelayanan
pasien BPJS di RS Raden Mattaher Jambi. Simak seminggu menjaga pasien BPJS
Kelas II di RS Raden Mattaher Jambi.
((Baca Tragedi Pasien BPJS)
Masyarakat dan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi boleh
berbangga memiliki Rumah Sakit Umum Raden Mattaher Jambi yang kini bangunannya
membanggakan dan melebihi rumah sakit swasta.
Ruangan yang bersih dan fasilitas yang baru dan berkelas,
sekejab memuaskan pandangan pengunjung atau pasien. Namun tak begitu serasa
bagi pasien yang rawat inap disana. Gedung dan sarana yang mendukung, dinodai
dengan pelayanan perawat yang asal-asalan atau tak tulus serta administrasi
yang lambat.
Seminggu menjaga pasien rawat inap sungguh lebih rasanya
untuk menggambarkan buruknya Sumber Daya Manusia (SDM) di RS Raden Mattaher
Jambi itu.
Sebagai pasien peserta BPJS, pada Senin 8 September 2014
pukul 02.00 saya membawa istri ke UGD RS Raden Mattaher karena
mengalami sakit kepala berlebihan pasca operasi cesar (anak ketiga) Minggu 24
Agustus 2014 di RS Mayang Medical Centre. Sakit kepala berlebihan yang dialami
istri saya Lisbet S (36) memaksa saya harus membawanya ke UGD RS Raden
Mattaher.
Tiba di UGD, istri saya langsung ditangani dokter dan
perawat UGD. Sementara saya mendaftarkan pasien dengan kartu BPJS. Dari hasil
tensi darah, diketahui mencapai 220/120. Dokter jaga UGD pun memberikan obat
penurun tensi darurat. Setelah 20 menit, sakit kepala istri saya reda, dan
tensi turun menjadi 180/110.
Namun, saya bersama istri harus menunggu hampir 2 jam di
ruang UGD untuk menunggu proses kamar rawat inap. Sementara saya harus
mengantar sample darah ke laboratorium dengan meninggalkanj istri di UGD yang
tengah meringis kesakitan.
Kemudian saya diminta menghadap bidang informasi untuk
menayakan kamar inap. Dari ruang informasi sekitar pukul 04.00, ditujukan
kepada kelas 3, padahal kartu BPJS istri saya kelas II.
Sikitar 30 menit kemudian, istri saya dibawa ke ruang
perawatan inap di Ruang Penyakit Dalam bagian kanan gedung rawat inap RS Raden
Mattaher Jambi. Dalam ruangan itu ada 6 tempat tidur dan saat itu sudah ada dua
pasien yang dirawat yakni pasien sakit gula dan sakit paru-paru.
Senin 8 September 2014 pagi, perawat
melakukan tensi darah, dan kemudian siang harinya memberikan resep dokter untuk
ditebus. Namun perawat memberikan resep sekitar pukul 2 siang dan tak lagi bisa
diambil obatnya. Sehingga ke esokan harinya bisa mengurus surat pengantar resep
dari BPJS yang ada di rumah sakit tersebut.
Sejak Senin 8 September 2014 pagi, setidaknya saya menebus
tiga lembar resep dengan berbagai macam obat dan botol infuse. Obat itu hanya
saya letakkan dimeja pasien di kamar rawat ini. Tak ada petunjuk dari dokter
atau perawat obat apa yang akan dimakan dan kapan dikonsumsi pasien.
Bahkan pasien Lisbet S nyaris salah suntik oleh perawat yang
lagi magang di rumah sakit tersebut atau di ruang inap penyalit dalam. Perawat
ragu mana pasien yang mau dia suntik. “Ini yang mau disuntik kak,” ujar perawat
satu. Lalu perawat satu bilang “bukan ibu Lisbet ini yang disuntik, bukan ibu
itu kok,” ujar dua perawat sembari menunjuk pasien penderita penyakit gula.
Saat mendengar percakapan kedua perawat itu, saya suruh cek
ulang mana pasien yang seharusnya disuntik obat. Tak hanya disitu, mahasiswa
Akbid Stikes Prima Jambi yang lagi magang di RS itu, juga mencoba-coba pasien
dalam menyuntik untuk mengambil sampel darah.
Sementara saya selaku penjaga pasien, juga bingung dan
sempat kecapaian untuk mengurus administrasi yang panjang untuk menebuh resep
bagi pasien BPJS. Tepat Senin siang, dr Hanif SPoG yang menangani istri saya
operasi di MMC Jambi mengetahui pasien Lisbet S dirawat di ruang penyakit
dalam. Dokter Hanif juga menyuruh dokter jaga UGD lewat perawat untuk
memindahkan pasien Lisbet S ke Ruang Inap Kebidanan.
Selasa 9 September 2014 sekitar pukul 13.30, pasien Lisbet S
dipindahkan ke Ruang Kebidanan kelas 3. Satu ruangan ada 8 tempat tidur.
Seluruh obat yang ada di meja pasien Lisbet di ruang penyakit dalam disita
seluruhnya oleh perawat di Ruang Kebidanan. Sembilan botol infuse dan obat-obat
lainnya tak tau dikemanakan oleh perawat itu.
Namun saat berada di Ruang Kebidanan, seluruh resep dokter
ditebus sendiri oleh keluarga pasien ke Apotek di RS Raden Mattaher yang telah
ditentukan. Tak terbanyangkan jika keluarga pasien tak ada yang jaga, pasti tak
akan makan obat, karena tak ada yang mau menebus. Perawat magang yang banyak
tak difungsikan untuk membantu pasien.
Di Ruang Perawatan Kebidanan seluruh obat harus melalui
perawat baru ke pasien. Jam konsumsi obatpun diatur olah perawat. Namun ada
juga perawat di Gedung Kebidanan RS Raden Mattaher Jambi
kurang bersahabat.
Bahkan perawat selalu menyuruh siswa perawat yang lagi
magang secara rame-rame (5 hingga 8 orang) untuk mengecek kondisi pasien yang
dirawat. Bahkan tak segan-segan perawat mengucapkan kata yang nadanya tinggi
terhadap pasien, bukan omongan yang menentramkan jiwa pasien.
Sekadar membandingkan, kalau di rumah sakit Theresia Jambi,
pasien yang menyuruh perawat dengan nada tinggi. Namun di RSUD Raden Mattaher
Jambi, perawat yang menyusruh pasien dengan dana tak bersahabat.
Selama seminggu menjada pasien, banyak catatan burukya SDM
perawat di RS Raden Mattaher Jambi ini. Paling miris lagi, Jumat 12 September
2014 lalu. Pasien ibu yang baru melahirkan tega dibiarkan dari pukul 12.30
hingga pukul 16.00 terbaring sendirian di ruang persalinan. Baru pukul 16.40
dibawa ke ruang inap.
“Ayo ganti bajunya, melahirkan normal juga. HB-nya juga
bagus. Ayo ganti balutannya di kamar mandi, jangan manja. Silahkan ke kamar
mandi,” ujar seorang perawat yang sudah senior itu, disaksikan sekitar 8 orang
siswa perawat magang di ruangan tersebut.
Baru hitungan menit (sekira 2 menit), ibu bayi yang disuruh
perawat itu ke kamar mandi sendiri keluar dan mengaku lemas dengan wajah pucat
pasi. Sontak saya tergerak dan menyuruh siswa perawat magang itu untuk membantu
ibu itu untuk duduk.
“Saya melahirkan pukul 12.30 kak. Namun saya dibiarkan
terbaring di ruang persalinan hingga 4 jam lebih. Baru ini juga saya dikasi
makan, lapar kali saya kak. Suami saya pergi jaga anak saya yang satu di rumah.
Lemas kali saya kak,” ujar ibu bayi yang menyapa pasien Lisbet S di sebelahnya.
Sesaat kemudian, anak dari ibu itu, hanya dibiarkan diruang
rawat inap itu bersama ibunya. Tak ada perawatan sementara untuk anak bayi yang
baru lahir. Kemudian siswa perawat yang magang rame-rame mengambil cap telapak
kaki bayi tersebut dengan cara berulang-ulang. Kaki bayi itupun penuh dengan
tinta.
Melihat ketidak wajaran itu, hati terhenyak, begitu buruknya
SDM perawat di RS Raden Mattaher Jambi. Para perawat masih beranggapan kalau
pasien BPJS itu adalah pasien orang miskin dan gratisan. Padahal BPJS itu akan
dibayar seumur hidup oleh peserta.
Seperti dilansir
detik.com baru-baru ini, sekitar Rp 1,8 triliun dana
peserta BPJS masyarakat terkumpul tertanggal 8 Agustus 2014 lalu dari sekitar
234 ribu peserta BPJS se Indonesia. Pasien BPJS selayaknya dilayani dengan
ketulusan dan ramah tamah.
Tidak terkoneksinya system administrasi BPJS di Rumah Sakit
Umum Raden Mattaher Jambi, membuat pasien atau keluarga pasien bingung dan
pusing tujuh keliling. Bayangkan saja, untuk mencari kamar inappun harus
keluarga pasien dan juga menjemput obat ke apotek.
Tak kurang dari 20 lembar fotokopi kartu BPJS yang harus
diberikan saat menjadi pasien rawat inap di RSU Raden Mattaher Jambi. Walaupun
gratis biaya perawatan dan pengobatan, tak semestinya pasien BPJS diberikan
pelayanan dengan kualitas pasien ala gratisan.
Membandingkan pelayanan pasien BPJS di MMC Jambi dengan RSU
Raden Mattaher Jambi, sungguh jauh berbeda. Di MMC kami menginap 5 hari sebagai
pasien BPJS karena operasi melahirkan pasien Lisbet S.
Selaku suami pasien Lisbet, saya hanya diminta fotokopi satu
lembar kartu BPJS di UGD MMC Jambi. Tak ada administrasi yang berbelit-belit.
Sistem koneksi administrasi di MMC Jambi bagus sehingga pasien dan keluarga
hanya berurusan ke kasier Rumah Sakit saat pasien dibolehkan pulang. Saya hanya
menambah kelebihan pembayaran BPJS karena naik kelas dari kelas 2 BPJS ke kelas
1.
Menu pasien yang disajikan rumah sakit Raden Mattaher Jambi
dengan MMC jauh berbeda. Di Raden Mattaher Jambi menu dikasih tanpa ada sendok
dan minumnya. Sementara di MMC menu pasien diberikan lengkap dengan sendok dan
minumnya.
Yang paling aneh lagi di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher
Jambi, pedagang asongan bebas berjualan hingga ke ruangan pasien, khususnya
pada pagi hari. Kondisi buruk SDM Perawat di RS Raden Mattaher Jambi harus
dirubah.
Para perawat di Raden Mattaher Jambi harus dibekali
pembinaan mental social tentang keperawatan. Perawat juga harus membuang
pemikiran kalau pasien BPJS itu bukan pasien gratisan atau pasien miskin.
Semoga Pembenahan SDM Perawat dan Administrasi di RS Raden Mattaher Jambi bisa
berubah demi menuju pelayanan kesehatan masyarakat yang maksimal dan tulus.
Semoga. (Rosenman Manihuruk).