Halaman

Selasa, 28 Januari 2014

Inang-inang Angsoduo: Kami Juga Butuh Mata Pencaharian



 

PINGGIR JALAN: Seorang "Inang-inang" berjualan di badan jalan menuju Pasar Angso Duo Kota Jambi. Karena tak memiliki "lapak" ibu ini berjualan di bahu jalan dalam pasar selama puluhan tahun.

J



Gerimis pagi itu tak dihiraukan wanita paruh baya ini di pinggir jalan. Wajahnya yang kusam pekat, namun terpancar secercah harapan dari sekelimut dagangan yang diletakkan di bahu jalan. Sesekali wanita itu menawarkan dagangan kepada setiap orang yang melintas.  

Begitulah keseharian Inang br Hutapea ini sebagai pedagang sayuran, ubi dan rempah di pinggir jalan dalam Pasar Angsoduo Kota Jambi. Para pedagang sayuran dan rempah Inang-inang (ibu-ibu pedagang sayuran asal Batak) yang ada di Pasar Angsoduo Kota Jambi mengisahkan cerita.

Tindakan penertiban yang dilakukan Pemerintah Kota Jambi memang tidak salah. Namun mereka menilai Pemerintah Kota Jambi salah karena tak membeerikan solusi bagi pedagang. “Kami juga bagian dari masyarakat Kota Jambi. Kami merindukan “lapak” tempat berjualan yang layak. Kami sanggup untuk menyewa. Retribusi pun kami bayar. Tapi mana janji Sy Fasya saat kampanye yang berpihak pada pedagang,” kata Ny Hutapea kesal.

Hal senada juga dikeluhkan Ny Sumbayak, seorang pedagang sayur dan umbian. Kepada Harian Jambi mengatakan, sarana berjualan di badan jalan sudah mereka lalui selama belasan tahun. Mereka pun kerap dipungli dalam sehari bisa saja terjadi sampai empat kali dengan alasan pemungutan belum dilakukan pihak terkait.

Menurut Ny Sumbayak, Pemerintah Kota Jambi hingga kini belum mampu membenahi Pasar Angsoduo Jambi. Sarana kios Pasar Angsoduo yang kumuh, membuat masyarakat enggan masuk ke dalam pasar.

Ny Simatupang, pedagang rempah dan sayuran menambahkan, kondisi Pasar Angsoduo selama puluhan tahun nyaris terabaikan. Ada pembiaran terhadap lapak pedagang, khususnya di dalam pasar tersebut.

“Jangan hanya melakukan pembongkaran saja. Setidaknya ada relokasi yang jelas bagi kami. Kalau hanya dibongkar saja, lantas kami mau dikemanakan. Setahu saya Pasar Angsoduo Jambi ini sudah direncanakan direnovasi sejak tahun 2005 silam. Namun hingga kini tak kunjung realisasi. Padahal kondisi pasar induk tradisional Angsoduo Jambi sudah buruk dan berkubang,” katanya.

Hal senada juga dikatakan Linda br Purba, pedagang cabai merah di pasar yang sama. Menurut penertiban yang dilakukan Pemerintah Kota Jambi belum lama ini, membuat mereka gelisah mencari makan.

“Saat ini kami berjualan berpindah-pindah. Karena kucing-kucingan dengan petugas pasar. Kami berjualan dari pukul 03.00 WIB hingga pukul 06.30 WIB. Kami mohon Pemerintah Kota Jambi untuk memberikan kami lapak berjualan yang layak. Kami pun bayar dan tertib retribusi,” ujarnya.

Sementara itu, Ny Sitanggang, pedagang rempah dan sayuran di Pasar Angsoduo Jambi mengatakan, keberadaan pedagang kecil di pasar tradisional tidak dihargai Pemerintah Kota Jambi.

“Buktinya kondisi pasar terus buruk dengan berbagai kubangan sampah. Pengelolaan pasar tidak baik. Perhatian pemerintah dengan pinjaman modal kepada pedagang pasar tradisional juga masih minim. Kita masih bergantung kepada rentenir untuk modal,” ujarnya.

Secara terpisah, Sekretaris Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Lembaga Budaya Batak (LBBJ) Provinsi Jambi Jambi Ir Bernhard Panjaitan MM mengatakan, sekitar 2.000 jiwa masyarakat Batak di Provinsi Jambi menggantungkan hidupnya sebagai pedagang pasar pagi tradisional.

Di Kota Jambi para pedagang itu tersebar di pasar tradisional Angsoduo, Pasar Talangbanjar, Pasar Remaja Sipin Ujung dan pasar tradisional lainnya. Para pedagang pasar pagi ini beraktivitas dari pukul 02.00 dini hari hingga pukul 08.00 pagi. (lee) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar