Jakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terus
menggalakan transaksi non tunai. Salah satu caranya adalah rencana pemberian
diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika bertransaksi menggunakan uang
elektronik.
“Itu yang mau diatur, sedang digodok. Kalau bisa ada
insentif PPN kalau transaksi dibayar pakai e-money," kata Mirza
Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, di Mangga Dua, Jakarta, Kamis.
Tarif PPN untuk transaksi adalah 10%. "Diskon PPN itu
salah satu cara untuk dorong e-money," ujar Mirza.
Kementerian Keuangan, lanjut Mirza, secara umum sudah
menyetujui wacana ini. "Keuangan setuju bukan lagi 10%, tapi di bawah itu.
Diusahakan di bawah 10%. Itu membuat orang bisa memilih, mau bayar cash atau e-money,"
katanya.
Indonesia, tambah Mirza, membutuhkan pengembangan transaksi
non tunai. Selain untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan, transaksi non tunai
juga merupakan prasyarat untuk menuju sebuah negara maju.
“Pak Menko (Menko Perekonomian Chairul Tanjung) bilang salah
satu syarat negara maju adalah transaksi non tunainya harus lebih besar. Tunai
risikonya besar," kata Mirza.
Saat ini, Mirza menyebutkan penggunaan transaksi non tunai baru di bawah 20%.
"Kita masih kecil. Negara-negara maju sudah di atas 50% untuk non
tunai," tuturnya.
Tunai Harus Makin Kecil
Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
Chairul Tanjung mengatakan, salah satu
syarat agar Indonesia bisa menjadi negara maju adalah dengan mengurangi
transaksi tunai.
“Salah satu syarat untuk menjadi negara maju, transaksi
tunainya semakin lama harus semakin kecil. Tidak ada negara maju transaksi
tunainya semakin lama semakin besar," kata CT, sapaan Chairul Tanjung,
dalam sambutannya pada acara Gerakan Nasional Non Tunai di Atrium Mangga Dua,
Jakarta baru-baru ini.
Transaksi tunai, demikian CT, rentan terhadap risiko
penyalahgunaan. Transaksi tunai kerap kali tidak tercatat sehingga kurang
transparan.
“Kalau transaksi tunai masih tinggi, itu bisa menyebabkan
implikasi negatif. Transaksi tunai tidak tercatat, akibatnya bisa digunakan
untuk hal negatif, tidak transparan, seperti penipuan dan korupsi," jelas
CT.
Untuk itu, transaksi non tunai menjadi hal yang harus
dikembangkan. Menurut CT, langkah yang harus dilakukan adalah dengan
meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa perbankan.
“Kalau kita ingin transaksi tunai makin kecil, tentu harus diciptakan kondisi
yang bagaimana banyak orang Indonesia dapat dengan mudah mengakses bank. Makanya
saya mengapresiasi seluruh pemangku kepentingan yang ada berkomitmen untuk
mengurangi transaksi tunai yang ada di pemerintah maupun masyarakat,"
terangnya.
Sedangkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo
melanjutkan, saat ini uang beredar di Indonesia dalam bentuk tunai jumlahnya
mencapai sekitar Rp 500 triliun. Jumlah itu meningkat hingga menjadi Rp 550
triliun saat Ramadan.
“Kalau uang itu bisa diringkaskan dalam bentuk non tunai,
tentu keuangan negara akan semakin efisien. Banyak uang beredar biayanya sangat
mahal. Harus cetak, harus distribusi, dan lainnya," ucapnya.
Oleh karena itu, lanjut Agus, BI dan pemerintah akan terus
mendorong pengembangan transaksi non tunai. "Seperti orang bayar kereta
dan Trans Jakarta menggunakan kartu e-money. Atau juga masuk tol bayarnya
dengan e-toll card. Itu yang kita inginkan. Tidak ada lagi yang bayar dengan
uang cash," katanya.(dtk/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar