Halaman

Jumat, 22 Agustus 2014

Pemerintah Godok Diskon Pajak untuk Transaksi Non Tunai


Jakarta - Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) terus menggalakan transaksi non tunai. Salah satu caranya adalah rencana pemberian diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) jika bertransaksi menggunakan uang elektronik.

“Itu yang mau diatur, sedang digodok. Kalau bisa ada insentif PPN kalau transaksi dibayar pakai e-money," kata Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, di Mangga Dua, Jakarta, Kamis.

Tarif PPN untuk transaksi adalah 10%. "Diskon PPN itu salah satu cara untuk dorong e-money," ujar Mirza.
Kementerian Keuangan, lanjut Mirza, secara umum sudah menyetujui wacana ini. "Keuangan setuju bukan lagi 10%, tapi di bawah itu. Diusahakan di bawah 10%. Itu membuat orang bisa memilih, mau bayar cash atau e-money," katanya.


Indonesia, tambah Mirza, membutuhkan pengembangan transaksi non tunai. Selain untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan, transaksi non tunai juga merupakan prasyarat untuk menuju sebuah negara maju.
“Pak Menko (Menko Perekonomian Chairul Tanjung) bilang salah satu syarat negara maju adalah transaksi non tunainya harus lebih besar. Tunai risikonya besar," kata Mirza.

Saat ini, Mirza menyebutkan penggunaan transaksi non tunai baru di bawah 20%. "Kita masih kecil. Negara-negara maju sudah di atas 50% untuk non tunai," tuturnya.

Tunai Harus Makin Kecil

Sementara itu Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Chairul Tanjung mengatakan,  salah satu syarat agar Indonesia bisa menjadi negara maju adalah dengan mengurangi transaksi tunai.

“Salah satu syarat untuk menjadi negara maju, transaksi tunainya semakin lama harus semakin kecil. Tidak ada negara maju transaksi tunainya semakin lama semakin besar," kata CT, sapaan Chairul Tanjung, dalam sambutannya pada acara Gerakan Nasional Non Tunai di Atrium Mangga Dua, Jakarta baru-baru ini.

Transaksi tunai, demikian CT, rentan terhadap risiko penyalahgunaan. Transaksi tunai kerap kali tidak tercatat sehingga kurang transparan.

“Kalau transaksi tunai masih tinggi, itu bisa menyebabkan implikasi negatif. Transaksi tunai tidak tercatat, akibatnya bisa digunakan untuk hal negatif, tidak transparan, seperti penipuan dan korupsi," jelas CT.

Untuk itu, transaksi non tunai menjadi hal yang harus dikembangkan. Menurut CT, langkah yang harus dilakukan adalah dengan meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa perbankan.

“Kalau kita ingin transaksi tunai makin kecil, tentu harus diciptakan kondisi yang bagaimana banyak orang Indonesia dapat dengan mudah mengakses bank. Makanya saya mengapresiasi seluruh pemangku kepentingan yang ada berkomitmen untuk mengurangi transaksi tunai yang ada di pemerintah maupun masyarakat," terangnya.


Sedangkan Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo melanjutkan, saat ini uang beredar di Indonesia dalam bentuk tunai jumlahnya mencapai sekitar Rp 500 triliun. Jumlah itu meningkat hingga menjadi Rp 550 triliun saat Ramadan.

“Kalau uang itu bisa diringkaskan dalam bentuk non tunai, tentu keuangan negara akan semakin efisien. Banyak uang beredar biayanya sangat mahal. Harus cetak, harus distribusi, dan lainnya," ucapnya.


Oleh karena itu, lanjut Agus, BI dan pemerintah akan terus mendorong pengembangan transaksi non tunai. "Seperti orang bayar kereta dan Trans Jakarta menggunakan kartu e-money. Atau juga masuk tol bayarnya dengan e-toll card. Itu yang kita inginkan. Tidak ada lagi yang bayar dengan uang cash," katanya.(dtk/lee)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar