Kredit Macet di Sektor UKM Masih Tinggi
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong seluruh perusahaan
asuransi baik jiwa maupun umum untuk membentuk Lembaga Penjamin Polis (LPP).
Lembaga ini berfungsi menjamin nasabah asuransi apabila merasa dirugikan.
Deputi Komisioner OJK Pengawasan Industri Keuangan Non Bank
(IKNB) Ngalim Sawega mengatakan, lembaga ini dibentuk sebagai perlindungan
kepada nasabah asuransi layaknya perbankan yang punya Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS).
“Lembaga Penjamin Polis (LPP) ini sedang dibahas. Paling
tidak memang perlu ada program penjaminan polis, semua perusahaan asuransi baik
jiwa maupun umum wajib ikut di situ. Ide besarnya hampir mirip dengan LPS,"
kata Ngalim saat acara media briefing terkait Perkembangan Industri Keuangan
Non Bank, di Gedung Soemitro OJK, Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (21/8).
Menurut dia, pembentukan lembaga ini untuk memberikan
perlindungan kepada para nasabah terhadap potensi kerugian ke depan. "Jadi
memberikan perlindungan kepada konsumen. Kalau perusahaan asuransi ditutup akan
ada jaminannya," kata Ngalim.
Ngalim mengungkapkan, pembentukan lembaga tersebut masih
dibahas bersama-sama dengan LPS dan DPR melalui Rancangan Undang-Undang (RUU).
Nantinya, lembaga ini akan berada di bawah LPS.
Lembaga ini, kata Ngalim, sudah lebih dulu diterapkan di
negara-negara lain seperti Singapura, Malaysia, Kanada, Korea Selatan, dan
Jepang. Di sana, perlindungan nasabah asuransi sudah cukup tinggi.
“Kita tentu ingin seperti negara lain juga sudah menerapkan
seperti Singapura, Malaysia, Kanada, Korea, Jepang," ujarnya.
Naik Jadi 4,13%
Sementara OJK juga mencatat kenaikan kredit macet atau NPL
di sektor Usaha Menengah, Kecil, dan Mikro (UMKM) di bulan Juni 2014 menjadi
4,13%.
Berdasarkan data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) OJK
dalam situs resminya tercatat total baki debet UMKM di bulan Mei 2014 mencapai
sebesar Rp 635,43 triliun dengan total NPL sebesar Rp 25,25 triliun. Dengan
angka tersebut, artinya NPL UMKM bulan Mei 2014 mencapai sekitar 3,97%.
“NPL UMKM Juni 2014 naik, 4,13%. Perbankan perlu mewaspadai,
peningkatan NPL di UMKM cukup besar," kata Deputi Komisioner Manajemen
Strategis IB OJK Lucky FA Hadibrata saat konferensi pers di Gedung OJK, Jakarta.
Dia menjelaskan, kenaikan kredit macet ini disebabkan karena
bisnis di sektor UMKM tertekan. Suku bunga kredit UMKM dinilainya masih stabil
di kisaran 12-13%.
“Suku bunga kredit UMKM bulan Juni 12,62%. Kredit konsumsi
13,26%, kredit investasi 12,10%, kredit modal kerja 12,51%, jadi rata-rata
masih 12-13%," jelas dia.
Lucky menyebutkan, penyaluran kredit UMKM hingga bulan Juni
2014 mencapai Rp 711,45 triliun atau tumbuh 17,25% secara year on year (yoy).
Pertumbuhan ini lebih lambat dari pertumbuhan bulan Mei secara yoy sebesar
19,25%.
Dia mengungkapkan, pihaknya mengimbau kepada seluruh
perbankan untuk mengantisipasi kenaikan kredit macet khususnya di sektor UMKM.
“Pengawas minta ke seluruh perbankan untuk bisa
menyelesaikan dengan sebaiknya. Pengawasan memberikan rekomendasi langkah
bank-bank untuk mulai bagaimana cara penanganan kredit UMKM. Kalau sudah
mencapai 4% semua sibuk. Bagaimana mereka recovery jangan sampai lebih dari 5%,
pengawas tidak diam untuk melakukan langkah-langkah pencegahan, pengawas
melakukan monitoring," pungkasnya.
Kondisi Industri Keuangan Indonesia
OJK menilai perkembangan industri jasa keuangan secara umum
dalam kondisi baik. Penilaian tersebut merupakan kesimpulan Rapat Bulanan Dewan
Komisioner OJK yang digelar rutin pada minggu kedua setiap bulan untuk
mengevaluasi perkembangan dan profil risiko di industri jasa keuangan.
“Industri jasa keuangan secara umum dalam kondisi baik. Secara
global pemulihan ekonomi pada negara maju tetap berlanjut namun melambat,"
ujar Lucky.
Dia mengatakan, kondisi lembaga keuangan secara umum dan
risiko likuiditas menunjukkan bahwa alat likuid perbankan cukup memadai untuk
mengantisipasi potensi penarikan Dana Pihak Ketiga (DPK). Selain itu gearing
ratio atau rasio utang terhadap modal perusahaan pembiayaan meningkat.
Dari sisi risiko kredit, jumlah kredit yang berkualitas
rendah dan konsentrasi kredit pada debitur inti perbankan tergolong tinggi. Sementara
NPL perbankan dan NPF perusahaan pembiayaan meningkat, namun masih di bawah
treshold.
Risiko pasar relatif rendah. Nilai investasi asuransi, dana
pensiun, dan reksa dana meningkat seiring penguatan pasar.
Membaiknya industri keuangan juga terlihat dari beberapa
indikator pada bulan Juli meliputi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), nilai
tukar rupiah, dan yield SBN yang mengalami kenaikan secara month to month
(mtm).
Dia menyebutkan, IHSG menguat 4,31%, penguatan
dilatarbelakangi sentimen positif global dan regional. Sementara itu, rupiah
mengalami apreasiasi 2,33% ditopang pekembangan politik seiring perbaikan
persepsi rasio. Yield SBN mengalami penurunan rata-rata 20 bps.
Net buy asing Juli tercatat Rp 13,07 triliun atau mengalami peningkatan Rp 3,57
triliun dibanding bulan sebelumnya. SBN net asing sebesar Rp 14,67 triliun
meningkat sebesar Rp 8,24 triliun dari bulan Juni.
“Perkembangan sektor jasa keuangan secara umum menunjukan
kondisi yang baik, permodalan perbankan tergolong tinggi dengan level CAR
19,46%," kata dia.
Kondisi pasar modal menguat pada bulan Juli diikuti
peningkatan NAB reksa dana yang tercatat sebesar Rp 212,79 triliun, meningkat
sebesar Rp 2,81 triliun atau sebanyak 1,34%.
Sementara, untuk industri asuransi tercatat aset sebesar Rp
621,57 triliun pada triwulan I dengan nilai investasi mencapai Rp 505 triiliun.
“Pertumbuhan piutang perusahaan pembiayaan mengalami
perlambatan walaupun tetap meningkat," pungkasnya.(dtk/lee)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar