Halaman

Minggu, 13 Mei 2012

Terlalu Pede, Pilot Manuver Berbahaya

TERBANG: Sejumlah prajurit Paskhas TNI AU berlari menuju Helikopter Basarnas untuk mengangkat kantong yang berisi jenazah korban kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 menuju mobil ambulans di Lanud Halim Perdanakusuma. Sabtu (12/5).
Iwan Tri wahyudi/ Indopos/JPNN
TERBANG: Sejumlah prajurit Paskhas TNI AU berlari menuju Helikopter Basarnas untuk mengangkat kantong yang berisi jenazah korban kecelakaan pesawat Sukhoi Super Jet 100 menuju mobil ambulans di Lanud Halim Perdanakusuma. Sabtu (12/5).
Bukti bahwa pilot Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100), Alexander Yablontsev (Foto bawah) terlalu pede dalam melakukan manuver-manuvernya saat penerbangan gembira (joyflight) makin kuat. Gerakan pilot senior yang disebut sebagai Godfather-nya Sukhoi Superjet itu dianggap berbahaya.

Hal itu diungkapkan oleh Presiden Federasi Pilot Indonesia, Manotar Napitupulu yang menilai banyak kejanggalan dalam penerbangan yang dipiloti mantan kosmonot itu. Dia mengaku heran mendengar pilot menurunkan ketinggian dengan cepat dari 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki. “Sangat tidak lazim dalam joyflight menurunkan ketinggian setajam itu dalam sekali gerakan. Itu kan cuma butuh 40-45 detik,” ujarnya.

Biasanya dalam penerbangan gembira, pilot akan berusaha membuat penumpang senyaman mungkin. Bahkan diusahakan penumpang bisa makan minum dengan tenang tanpa ada goncangan. Dalam joyflight Rabu lalu (9/5), Yablontsev nampaknya ingin mendekati Landasan Udara Atang Sanjaya. “Tapi kalau turunnya drastis, penumpang belakang bisa mual, tidak nyaman,” katanya.

Keputusan itu juga dianggap janggal oleh pilot Indonesia. Pasalnya sudah umum bahwa 25 mil kearah selatan Bandara Halim Perdanakusumah, pilot Indonesia akan menghindari terbang rendah. Para pilot Indonesia menyebutnya dengan istilah MSA (Minimum Safety Altitude) atau Ketinggian Aman Minimal. “Kearah selatan itu kita (pilot lokal) MSA-nya dibawah 6900 kaki, dibawah itu cuaca unpredictable (tidak bisa diprediksi),” ungkapnya.

Oleh karena itu Manotar meminta KNKT (Komite Nasional Keselamatan Transportasi) untuk menyelidiki lebih lanjut mengapa pilot tiba-tiba memutuskan untuk turun begitu drastis, apakah karena obstacle (hambatan) atau memang ingin menikmati pemandangan di pegunungan Salak. “ATC (Air Trafic Control) memberi izin karena memang kawasan udara di Atang Sanjaya sudah steril, tidak akan ada pesawat lain,” lanjutnya.

Yang cukup mengherankan, ketika berada 6.000 kaki diatas Lanud Atang Sanjaya, pilot meminta izin orbit (memutar) kearah kanan. Permasalahannya, apakah belok ke kanan itu masih di atas Lanud Atang Sanjaya? Ternyata tidak, pesawat malah menuju arah pegunungan Salak. “Antara Lanud Atang Sanjaya ke Gunung Salak itu memang cukup dekat hanya tujuh mil, kalau pakai Sukhoi paling satu menit,” tandasnya.

Manotar menilai Yablontsev sengaja membawa penumpang ke atas pegunungan menunjukkan kelincahan manuver pesawat buatan Rusia itu. Keputusan itu dinilai berisiko karena cuaca pegunungan dikabarkan sedang diselimuti kabut tebal.

Kemungkinan, kata Manotar, pilot Yablontsev sengaja ingin menikmati pemandangan di pegunungan Salak terlebih dahulu. Oleh karena itu dia meminta KNKT untuk menyelidiki apakah pesawat itu sengaja keluar dari zona aman diatas Lanud Atang Sanjaya? “Kemungkinan pilot itu terlalu pede, pengen bermanuver, padahal tidak mengenal medan. Apalagi saat itu tidak didampingi pilot lokal,” tandasnya.

Deputi Manager Senior Angkasa Pura II, Mulya Abdi mengakui bahwa selama penerbangan joyflight kedua itu, pilot tiga kali melakukan komunikasi dengan ATC (Air Trafic Control). Pertama saat melakukan take off dari bandara Halim Perdana Kusuma. Kedua, saat meminta izin turun dari ketinggian 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki, dan Ketiga saat meminta orbit (memutar) ke kanan,”ATC mengizinkan karena masih di area aman penerbangan,” tandasnya.

Pilot senior Jeffrey Adrian menambahkan, semua pihak harus belajar banyak dari peristiwa kecelakaan SSJ 100. Salah satu yang harus menjadi pelajaran adalah jangan sampai pilot asing yang belum mengerti medan dan kondisi penerbangan di tanah air dibebaskan untuk melakukan berbagai manuver penerbangan.
“Kedepan, seharusnya pilot asing harus didampingi co-pilot lokal yang mengerti benar kondisi wilayah dan penerbangan di sini (Indonesia),” kata Jeffrey dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin.

Pria yang sudah 15 tahun berpengalaman sebagai pilot Garuda Indonesia itu menduga pilot Alexander belum memahami medan dengan baik. Meksi begitu, kata dia Alexander sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti aturan yang berlaku.

Jeffery mengaku dirinya banyak memiliki pengalaman terbang di sela-sela pegunungan dengan ketinggian dibawah 6 ribu kaki. Terutama saat terbang di pegunungan Jaya Wijaya Papua. Dia berhasil melintasi pegunungan tersebut karena hafal dan paham benar dengan medan.

Sementara itu pengamat penerbangan Samudra Sukardi mengatakan, mayoritas teknologi ATC di bandara-bandara Indonesia sudah usang. Menurutnya, teknologi ATC sudah jauh tertinggal dengan teknologi pesawat yang kecanggihannya tidak bisa dibendung. “Jangankan di bandara daerah, di bandara ibukota seperti (Bandara) Soekarno Hatta saja teknologinya harus segera diperbaharui,” katanya.

Selain masalah teknologi, Samudra juga menyorot soal jumlah sumber daya manusia (SDM) yang bertugas di ATC kurang. Kata dia, kekurangan jumlah sumber daya manusia mengakibatkan para petugas yang ada harus bekerja melebihi waktu yang seharusnya. Akhirnya mereka kelelahan dan tidak berkonsentrasi. Padahal untuk mengatur lalu lintas penerbangan, petugas ATC harus memiliki konsentrasi tinggi. (hariansumutpos.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar