Bukti bahwa pilot Sukhoi Superjet 100 (SSJ 100), Alexander
Yablontsev (Foto bawah) terlalu pede dalam melakukan manuver-manuvernya saat
penerbangan gembira (joyflight) makin kuat. Gerakan pilot senior yang
disebut sebagai Godfather-nya Sukhoi Superjet itu dianggap berbahaya.
Hal itu diungkapkan oleh Presiden Federasi Pilot Indonesia, Manotar
Napitupulu yang menilai banyak kejanggalan dalam penerbangan yang
dipiloti mantan kosmonot itu. Dia mengaku heran mendengar pilot
menurunkan ketinggian dengan cepat dari 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki.
“Sangat tidak lazim dalam joyflight menurunkan ketinggian setajam itu
dalam sekali gerakan. Itu kan cuma butuh 40-45 detik,” ujarnya.
Biasanya dalam penerbangan gembira, pilot akan berusaha membuat
penumpang senyaman mungkin. Bahkan diusahakan penumpang bisa makan minum
dengan tenang tanpa ada goncangan. Dalam joyflight Rabu lalu (9/5),
Yablontsev nampaknya ingin mendekati Landasan Udara Atang Sanjaya. “Tapi
kalau turunnya drastis, penumpang belakang bisa mual, tidak nyaman,”
katanya.
Keputusan itu juga dianggap janggal oleh pilot Indonesia. Pasalnya
sudah umum bahwa 25 mil kearah selatan Bandara Halim Perdanakusumah,
pilot Indonesia akan menghindari terbang rendah. Para pilot Indonesia
menyebutnya dengan istilah MSA (Minimum Safety Altitude) atau Ketinggian
Aman Minimal. “Kearah selatan itu kita (pilot lokal) MSA-nya dibawah
6900 kaki, dibawah itu cuaca unpredictable (tidak bisa diprediksi),”
ungkapnya.
Oleh karena itu Manotar meminta KNKT (Komite Nasional Keselamatan
Transportasi) untuk menyelidiki lebih lanjut mengapa pilot tiba-tiba
memutuskan untuk turun begitu drastis, apakah karena obstacle (hambatan)
atau memang ingin menikmati pemandangan di pegunungan Salak. “ATC (Air
Trafic Control) memberi izin karena memang kawasan udara di Atang
Sanjaya sudah steril, tidak akan ada pesawat lain,” lanjutnya.
Yang cukup mengherankan, ketika berada 6.000 kaki diatas Lanud Atang
Sanjaya, pilot meminta izin orbit (memutar) kearah kanan.
Permasalahannya, apakah belok ke kanan itu masih di atas Lanud Atang
Sanjaya? Ternyata tidak, pesawat malah menuju arah pegunungan Salak.
“Antara Lanud Atang Sanjaya ke Gunung Salak itu memang cukup dekat hanya
tujuh mil, kalau pakai Sukhoi paling satu menit,” tandasnya.
Manotar menilai Yablontsev sengaja membawa penumpang ke atas
pegunungan menunjukkan kelincahan manuver pesawat buatan Rusia itu.
Keputusan itu dinilai berisiko karena cuaca pegunungan dikabarkan sedang
diselimuti kabut tebal.
Kemungkinan, kata Manotar, pilot Yablontsev sengaja ingin menikmati
pemandangan di pegunungan Salak terlebih dahulu. Oleh karena itu dia
meminta KNKT untuk menyelidiki apakah pesawat itu sengaja keluar dari
zona aman diatas Lanud Atang Sanjaya? “Kemungkinan pilot itu terlalu
pede, pengen bermanuver, padahal tidak mengenal medan. Apalagi saat itu
tidak didampingi pilot lokal,” tandasnya.
Deputi Manager Senior Angkasa Pura II, Mulya Abdi mengakui bahwa
selama penerbangan joyflight kedua itu, pilot tiga kali melakukan
komunikasi dengan ATC (Air Trafic Control). Pertama saat melakukan take
off dari bandara Halim Perdana Kusuma. Kedua, saat meminta izin turun
dari ketinggian 10 ribu kaki ke 6 ribu kaki, dan Ketiga saat meminta
orbit (memutar) ke kanan,”ATC mengizinkan karena masih di area aman
penerbangan,” tandasnya.
Pilot senior Jeffrey Adrian menambahkan, semua pihak harus belajar banyak dari peristiwa kecelakaan SSJ 100. Salah satu yang harus menjadi pelajaran adalah jangan sampai pilot asing yang belum mengerti medan dan kondisi penerbangan di tanah air dibebaskan untuk melakukan berbagai manuver penerbangan.
“Kedepan, seharusnya pilot asing harus didampingi co-pilot lokal yang
mengerti benar kondisi wilayah dan penerbangan di sini (Indonesia),”
kata Jeffrey dalam sebuah diskusi di Jakarta kemarin.
Pria yang sudah 15 tahun berpengalaman sebagai pilot Garuda Indonesia
itu menduga pilot Alexander belum memahami medan dengan baik. Meksi
begitu, kata dia Alexander sudah berusaha semaksimal mungkin untuk
mengikuti aturan yang berlaku.
Jeffery mengaku dirinya banyak memiliki pengalaman terbang di
sela-sela pegunungan dengan ketinggian dibawah 6 ribu kaki. Terutama
saat terbang di pegunungan Jaya Wijaya Papua. Dia berhasil melintasi
pegunungan tersebut karena hafal dan paham benar dengan medan.
Sementara itu pengamat penerbangan Samudra Sukardi mengatakan,
mayoritas teknologi ATC di bandara-bandara Indonesia sudah usang.
Menurutnya, teknologi ATC sudah jauh tertinggal dengan teknologi pesawat
yang kecanggihannya tidak bisa dibendung. “Jangankan di bandara daerah,
di bandara ibukota seperti (Bandara) Soekarno Hatta saja teknologinya
harus segera diperbaharui,” katanya.
Selain masalah teknologi, Samudra juga menyorot soal jumlah sumber
daya manusia (SDM) yang bertugas di ATC kurang. Kata dia, kekurangan
jumlah sumber daya manusia mengakibatkan para petugas yang ada harus
bekerja melebihi waktu yang seharusnya. Akhirnya mereka kelelahan dan
tidak berkonsentrasi. Padahal untuk mengatur lalu lintas penerbangan,
petugas ATC harus memiliki konsentrasi tinggi. (hariansumutpos.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar